1.
Pengertian Ju’alah
الجعالة أو الجعل أو
الجعلية لغة : هي ما يجعل لللإنسان
على فعل شيء أو مايعطاه الإنسان على أمر يفعله.
Ju’alah
atau Ju’la atau Ju’liyah menurut bahasa adalah memberikan upah kepada seseorang
atas suatu pekerjaan atau upah yang diberikan oleh seseorang atas perintah yang
dikerjakan orang lain.
الجعالة وهي أن يشترط على رد ضالته
عوضا معلومافإذا ردها استحق ذللك العوض المشروط.
Ja’alah adalah seseorang yang membuat satu ketetapan sebagai
imbalan (upah) yang jelas atas penemuan barang yang hilang, kemudian apabila
telah ditemukan oleh seseorang tersebut, maka dia berhak meminta imbalan (upah)
yang sudah ditentukan itu.
وشرعا : التزام عوض معلوم على عمل
معين, أو مجهول, عسر علمه
Menurut Syari’at Islam adalah penetapan
upah yang jelas atas pekerjaan yang ditentukan atau tidak menjelaskan atas
kesukaran pekerjaannya.
Dengan demikian, konsep Ju’alah berarti memberikan upah
kepada seseorang terhadap suatu perbuatan yang telah diumumkan atau
diberitahukan oleh orang yang membuat pengumuman atau pemberitahuan tersebut
tentang adanya upah bagi yang mampu melaksanakan tugas atau suruhan dari pihak
Ja’il tersebut.
Menurut Imam Hanbali
:
الجعالة و هي أن يجعل
جعلاً لمن يعمل له عملاً من رد آبق أو ضالة، أو بناء، أو خياطة، وسائر ما يستأجر
عليه من الأعمال فيجوز ذلك
Ju’alah adalah seseorang yang membuat
suatu pekerjaan untuk seseorang yang akan mengerjakan pekerjaannya, seperti
menyerahkan budak yang lari, binatang yang tersesat, bangunan, jahitan dan
seluruh pekerjaan yang boleh diupahkan.
Menurut
pemahaman penulis ju’alah adalah suatu pemberian upah/imbalan kepada orang yang
telah berhasil melaksanakan suatu pekerjaan, akan tetapi apabila suatu
pekerjaan yang dikerjakan tersebut tidak berhasil maka tidak akan mendapatkan
upah/imbalan. Ju’alah dapat dilaksanakan apabila orang tersebut telah
mendengarkan pengumuman ju’alah tersebut. Apabila ju’alah tersebut tidak terdengar
maka seseorang tidak dapat melakukan pekerjaan tersebut.
2.
Dasar
Hukum
Ju’alah
Dalam surah yusuf ayat : 72
قالوا نفقد صواع الملك ولمن جاء به حمل
بعير وأنا به زعيم
Artinya : Penyeru-penyeru itu berkata: Kami kehilangan piala
Raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan
(seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya.
Dan selanjutnya dalam hadist yang di riwayat oleh Imam
Bukhari, sebagai berikut :
عن
أبي سعيد الخدري : انطلق
نفر من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم في سفرة سافروها حتى نزلوا على حي من احياء
العرب فاستضافوهم فابوا ان يضيفو هم، فلدغ سيد ذلك الحي فسعوا له بكل شئ، لا ينفعه
شئ، فقال بعضهم: لو أتيتم هؤلاء الرهط الذين نزلوا لعله ان يكون عند بعضهم شئ،
فاتو هم فقالوا: يا ايها الر هط, إن سيدنا
لدغ, وسعينا له بكل شئ لا ينفعه, فهل عند احد منكم من شئ؟ فقال بعضهم :نعم, والله
إنى لا رقى لكن والله لقد استضفناكم فلم تضيفونا, فما انا براق لكم حتى تجعلوا لنا
جعلا، فصالحوهم على قطيع من غنم, فانطلق يتفل عليه، ويقرأ : الحمد لله رب العالمين،
فكأنما نشط من عقال، فانطلق يمشى وما به قلبة، قال فاوفواهم جعلهم الذى صالحوهم
عليه، فقال بعضهم : اقتسموا، فقال الذى رقى: لا تفعلوا حتى نأتى النبي صلى الله
عليه وسلم فنذكر له الذي كان، فننظر ما يأمرنا، فقدموا على النبي صلى الله عليه
واسلم فذكروا له ذلك فقال: وما يدريك أنها رقية, ثم قال: قد اصبتم اقسموا, واضربوا
إلى معكم سهما، فضحك النبي صلى الله عليه وسلم
Dari
Sa’id r.a. dia berkata : sekelompok sahabat-sahabat Nabi SAW berangkat musafir.
Dalam perjalanan yang mereka tempuh, mereka mampir ke suatu desa dari desa-desa
arab. Kemudian mereka minta di jamu oleh penduduk desa tersebut tapi penduduk
desa tersebut menolak. Kemudian kepala desa tersebut di patuk ular, setelah
berusaha mengobatinya dengan berbagai macam cara dan obat tetapi tidak sembuh
juga, diantara mereka berbicara :”Datangilah rombongan yang mampir tadi, siapa
tahu mereka bisa mengobatinya”. Kemudian datanglah penduduk desa kepada
rombongan itu dan berkata :”Wahai para rombongan, sesungguhnya kepala desa kami
di patuk ular dan kami sudah berusahauntuk mengobatinya tapi belum sembuh juga,
adakah diantara kalian yang mampu mengobatinya?”, mereka (rombongan) menjawab
:”Iya (ada) demi Allah sesungguhnya kami bisa mengobatinyatapi karena kalian
tidak mau menjamu kami, maka kami pun tidak mau mengobatinya, sehingga kalian
mau membayar kepada kami sebagai upah”. Maka sepakatlah mereka dengan upah
lebih kurang 100 ekor kambing. Kemudian berangkatlah seseorang kepada kepala
desa lalu meludahi dan membaca Al-hamdulillahirabbil’alamin. Maka seolah-olah
laksana melepaskan sebuah tali, kemudian bangkit si kepala desa, berjalan dan
tidak kambuh lagi seraya berkata : “bayarlah upah mereka yang sudah
disepakati”. Dan upah tersebut diterima oleh rombongan, kemudian berkata
diantara mereka : “Bagilah”, maka berkata orang yang mengobati : “Jangan kalian
lakukan sebelum kita datang kepada Nabi dan menceritakan apa yang sudah terjadi
dan kita tunggu apa tindakannya. Maka merekapun menghadap Rasullullah dan
menceritakannya. Kemudian Nabi bersabda : “Kalian benar, bagilah dan
masukkanlah aku dalam pembagian kalian beberapa ekor kambing” dan Nabi SAW pun
tertawa.
Ayat
dan hadist tersebut menyatakan bahwa pelaksanaan ju’alah bersifat tolong
menolong, dimana seseorang yang membutuhkan pertolongan dan mengumumkan kepada
orang lain agar dapat membantunya dalam suatu pekerjaan dan dalam hal itu
terdapat upah/imbalan bagi seseorang yang mampu untuk menyelesaikan suatu
pekerjaan tersebut. Dengan demikian, telaksanalah akad ju’alah tersebut.
Menurut
Imam Syafi’i :
يجوز
عقد الجعالة وهو ان يبذل الجعل لمن عمل له عملا
Akad
ju’alah boleh, yaitu seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain yang telah
mengerjakan pekerjaannya.
3.
Rukun Dan Syarat Ju’alah
Adapun rukun dan syarat ju’alah sebagai berikut :
a.
Akad
Lafaz akad dalam ju’alah merupakan suatu ketetapan dengan
sebab adanya sesuatu keinginan (kehendak) maka tidak ada ju’alah kecuali adanya
lafaz dari seseorang yang sudah tertera dalam ketetapan, seumpamanya lafaz atas
keizinan suatu pekerjaan dengan upah yang jelas.
Akad dalam berju’alah tidaklah
disyaratkan harus dengan lafaz tertentu. Keadaan ‘urf masyarakat bisa dijadikan
pedoman untuk menetapkan bagaimana lafaz yang boleh di pergunakan dalam
pelaksanaan ju’alah, sepanjang ‘urf itu tidak bertentangan dengan ketentuan
agama.
Apabila seseorang mengerjakan suatu
pekerjaan tanpa izin atau perintah, maka tidak ada haknya untuk menuntut upah
atau ganti yang sesuai karena pekerjaan yang dilakukan tanpa izin tersebut
dapat digolongkan kepada pekerjaan yang suka rela.
Dan
apabila ju’alah itu mubham (tidak ditentukan) kepada seseorang, cukuplah
pemberitahuannya dengan seruan.
Imam
Mawardhi berkata apabila ada seseorang yang berkata : “Siapa yang mendatangkan
budakku yang lari, maka untuknya satu dinar”. Maka siapapun yang mendapatkannya
baik laki-laki ataukah perempuan, anak-anak ataukah budak, berakal ataukah
gila, berhak menuntut upah, karena mendengar seruan atau mengetahui adanya
seruan itu. Karena dalam lafaz “Siapa yang mendatangkan” memberi pengertian umum
termasuklah mereka.
b.
Ja’il
Ja’il (Orang yang menjanjikan upah/ pelaksana yang
memberikan tugas). Orang yang menjanjikan upah/hadiah haruslah orang yang cakap
untuk melakukan tindakan hukum yaitu : baligh, berakal, dan cerdas. Jika orang
tersebut kanak-kanak, orang gila, atau orang yang berada dalam pengampuan, maka
ju’alah tersebut tidak sah.
Pihak
ja’il bisa perorang yang mempunyai suatu hubungan langsung dengan obyek yang di
ju’alahkan, seperti seseorang yang kehilangan suatu benda, dan bisa pula pihak lain
yang tidak punya hubungan pemilikan terhadap sesuatu obyek yang diju’alahkan.
Di samping itu, ja’il bisa pula berbentuk lembaga, seperti yang banyak
terjadi pada masa sekarang. Dengan demikian, hadiah yang diberikan dalam
kegiatan ju’alah ini bisa diberikan oleh pihak pelaksana sendiri ataupun pihak
lain.
Pihak
yang melakukan ju’alah, yakni orang-orang yang aktif sebagai peserta,
disesuaikan dengan kondisi yang ada. Untuk masa sekarang banyak pula kegiatan
sayembara yang di peruntukkan bagi anak-anak, seperti dalam perlombaan untuk
tingkat anak-anak, sebagaimana banyak pula kegiatan sayembara untuk orang yang
sudah dewasa.
Syafi’iyah
menambahkan bahwa tidak sah ju’alah itu dilakukan oleh anak kecil, orang gila,
safih dan apabila pelaksanaan ju’alah itu ditentukan, menurut Imam Subki maka
harus orang yang mahir bekerja (professional) termasuklah budak, anak-anak yang
ahli tanpa izin majikannya.Namun,
pelaksanaan ju’alah untuk masa sekarang, banyak berbagai perlombaan ditujukan
kepada anak-anak, seperti dalam pelaksanaan MTQ terdapat cabang tilawah Qur’an
golongan anak-anak.
c.
Jenis Pekerjaan
Pekerjaan yang dilaksanakan harus mengandung manfaat yang
jelas. Jika perbuatan yang dilaksanakan merupakan perbuatan yang haram seperti
perbuatan yang erotis, maka ju’alah tidak sah, sebagaimana firman Allah SWT
dalam Q.S Al-Maidah : 2 :
ولا تعاونوا على الإثم والعدوان
“Jangan kamu tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran”. (Al-Maidah :2)
Obyek
ju’alah mestilah berupa perbuatan yang mubah, seperti mencari barang yang
hilang, dan tidak dibolehkan melakukan ju’alah pada lapangan yang tidak boleh
dilakukan oleh agama.
d.
Imbalan/Upah
Untuk sahnya ju’alah harus upah yang jelas. Maka apabila ada
upah yang tidak jelas, maka akadnya batal di karenakan tidak ada suatu
pengganti.
Upah dalam berju’alah bagi pihak yang
menang haruslah berbentuk materi ataupun jasa. Dalam ju’alah upah akan diberikan setelah pekerjaannya
selesai dan hasilnya sudah dapat dilihat.
4.
Hal-Hal Yang Membatalkan Ju’alah
Adapun hal-hal yang dapat membatalkan Ju’alah adalah sebagai
berikut :
a.
Salah satu pihak membatalkan akad
sebelum menyempurnakan pekerjaan.
b.
Pekerja meninggalkan pekerjaannya tanpa
ada alasan yang pasti, maka gugur ia mendapatkan haknya.
c.
Pihak ja’il membatalkan ju’alahnya,
maka pekerja yang belum bekerja tidak mengharuskan pihak ja’il memberikan upah.
d.
Meninggalnya pihak ja’il, karena tidak
ada sesuatu (upah) bagi pekerja atas apa yang dikerjakannya apabila
meninggalnya pihak ja’il.
5.
Hikmah Di Syari’atkannya Ju’alah
Ju’alah merupakan akad yang sangat manusiawi dan banyak
hikmah yang dapat diambil dari Ju’alah tersebut. Adapun hikmah di
syari’atkannya Jua’alah adalah sebagai berikut :
1.
Membantu
mengembalikan sesuatu yang berharga. Baik itu berupa materi (barang yang
hilang) atau mengembalikan kesehatan atau membantu seseorang menghafal Al-Qur’an.
Firman Allah SWT
sebagai berikut dalam Al-Qur’an Surah Al-Maidah (5) ayat 2 :
و
تعاو نوا على البر و التقوى صلى
ولا تعاونوا على الاثم والعدوان واتقوا الله ان
الله شديد العقاب
"Dan tolong-menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat
dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah
Amat berat siksa-Nya".(Q.S. Al-Maidah : 2)
2.
Dapat
memperkuat persaudaraan dan persahabatan, menanamkan sikap saling menghargai
dan akhirnya tercipta sebuah komunitas yang saling tolong-menolong dan
bahu-membahu.
3.
Akan
terbangun suatu semangat dalam melakukan sesuatu bagi para pekerja.
4.
Suatu
pekerjaan yang baik, Islam mengajarkan bahwa Allah selalu menjanjikan balasan
berupa surga bagi mereka yang mau melaksanakan perintahnya, seseorang akan
memperoleh pahala dari pekerjaan yang baik yang ia kerjakan.
Firman
Allah SWT dalam Surat Al-Zalzalah ayat 7 :
فمن يعمل مثقال ذرة خيرا يره
Artinya :
“Barangsiapa yang
mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)
nya.” (Al-Zalzalah : 7)
5.
Memacu prestasi dalam
suatu bidang yang disayembarakan (dilombakan).
6.
Adanya penghargaan
terhadap suatu prestasi dari pekerjaan yang dilaksanakan.