Senin, 24 Oktober 2016

Sumber Hukum Islam








Berbicara tentang sumber hukum berarti kita membicarakan kevaliditasan hukum. Sebagaimana Gurvitch mengatakan “The Question of the source of law study only one aspect of the general study of the validity of law”. Berarti dari sumber hukum dapat dijadikan sebagai tolak ukur untuk melihat kevaliditasan suatu hukum.
Hukum Islam dan Barat mempunyai validitas yang berbeda-beda. Hukum Islam yang bercorak Theosentris mempunyai kevaliditasan tersendiri kalau dikembalikan kepada sumbernya, demikian pula dengan Hukum Barat yang bercorak Antophosentris cenderung untuk menghindari kalam Tuhan dalam hukumnya juga punya validitas sendiri.
Suatu hukum tidak akan mengikat masyarakat dan tidak dapat dikatakan tidak layak bila berasal dari sumber yang tidak kuat. Nilai philosophinya hukum tidak akan tercipta dan keadilan tidak akan terwujud bila sumber hukum tidak ada.
Telah menjadi suatu kesepakatan akademik bahwa sumber hukum Islam yang pokok adalah Al-Qur’an, Hadist, Ijma’ dan Qiyas.



Sumber Pokok dan Dasar Hukum Islam
1.    Al-Qur’an
Al-Qur’an berkedudukan sebagai sumber yang pertama dan utama hukum dalam Islam. Kedudukan ini mengharuskan umat Islam memahami pesan-pesan yang dikandungnya untuk dilaksanakannya dalam kehidupan.
Allah SWT. Menurunkan Al-Qur’an itu, gunanya untuk dijadikan dasar hukum, dan disampaikan kepada ummat manusia untuk diamalkan segala perintahnya dan ditinggalkan segala larangannya, sebagaimana firman Allah :
فاستمسك بالذي أوحى اليك ( الزخرف : 43)      
Artinya :
“maka berpeganglah kepada apa diwahyukan kepadamu”. (QS. Az-Zukhruf : 43)
Argumentasi yang menyatakan bahwa Al-qur’an sebagai sumber dan dalil pertama dan utama ditemukan penjelasan Al-qur’an dalam sejumlah ayatnya. Lebih dari tiga puluh kaki ditemukan perintah mematuhi Allah dan Al-qur’an. Mamatuhi Allah berarti mengikuti hukum-hukum yang dikandung Al-qur’an. Bahkan meninggalkan hukum-hukum Al-qur’an membawa akibat kepada peningkatan iman dalam melakukan kezaliman.
Penetapan hukum dalam A-qur’an menggunakan tiga media :
1.    Al-qur’an menggunakan kalimat perintah (amar) secara tegas.
2.    Al-qur’an mengaitkan suatu perintah dengan janji baik dan buruk. Pahala dan dosa, pujian dan celaan baik yang berbentuk fisik maupun non fisik. Seperti pujian kepada orang yang taat akan memperoleh nikmat surga dan ancaman bagi orang yang melakukan kejahatan sperti pencurian dengan potong tangan.
3.    Ibarat pada media ketiga ini dapat mengandung kepada keharusan seperti pada saat menunggu istri yang diceraikan sperti kebolehan melakukan Ijma’ pada malam ramadhan.
Hukum yang djelaskan di dalam Al-qur’an secara keseluruhan dapat dikelompokkan kepada persoalan ibadah dan mu’amalah. Ibadah yang dimaksud disini adalah ibadah yang bersifat khusus, yaitu hubungan yang berhubungan dengan Tuhan seperti sholat, puasa dan ibadah-ibadah pokok. Penggunaan kata khusus disini untuk membedakannya dengan ibadah dalam arti umum yaitu seluruh aktivitas yang dilakukan mendapat ridho Allah SWT.[3]
Dasar-dasar Al-qur’an dalam membuat hukum :
a.    Tidak memberatkan, Sebagaimana firman Allah :
لا يكلّف الله نفسا الا وسعها ( البقرة : 286)       
Artinya :
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”. (QS. Al-Baqoroh : 286)
Dengan dasar-dasar itulah, kita boleh :
1.    Mengqoshor shalat dan menjama’.
2.    Boleh tidak berpuasa apabila dalam bepergian.
3.    Boleh bertayamum sebagai ganti wudhu.
4.    Boleh memakan makanan yang diharamkan, jika dalam keadaan memaksa.

b.     Berangsur-angsur, Al-Qur’an telah membuat hukum-hukum dengan berangsur-angsur. Hal ini dapat diketahui sebagai berikut :
1.          Mengharamkan sesuatu secara berangsur-angsur, seperti larangan minum minuman keras dan perjudian, sebagaimana firman Allah :
يسئلونك عن الخمر والميسر قل فيهما اثم كبير ومنافع للناس واثمها اكبر من نفعهما. (البقرة :219)

Arinya :
“Mereka bertanya kepadamu tentang minuman yang memabukkan dan tentang perjudian. Katakanlah olehmu, bahwa minuman yang memabukkan dan perjudian itu dosa besar dan ada manfaatnya bagi manusia, tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya”. (QS. Al-Baqoroh : 219)
Lalu datanglah fase yang kedua dari fase mengharamkan khamar itu, yaitu dengan jalan mengharamkannya sesaat sebelum shalat dan bahwa bekas-bekasnya harus lenyap sebelum shalat, yaitu dengan firman Allah :
ياايها الذين امنوا لاتقربوا الصلاة وانتم سكرى. (النساء : 43)          
Artinya :
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah mendekati shalat di kala kamu sedang mabuk”. (QS. An-Nisa’ : 43)
Kemudian datanglah fase terakhir yaitu larangan keras terhadap arak dan judi, setelah banyak orang-orang yang telah meninggalkan kebiasaan itu dan sesudah turun ayat yang pertama dan yang kedua. Yaitu firman Allah SWT :
ياايها الذين امنوا انما الخمر والميسر والانصاب والازلام رجس من عمل الشيطان فاجتنبوه لعلكم تفلحون. (المائدة : 90)
Artinya :
”Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya arak, judi, berhala dan bertenung adalah pekerjaan yang keji termasuk perbuatan syetan, maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu, agar kamu memperoleh kebahagiaan”. (QS. Al-Maidah : 90)
Demikian Allah membuat larangan secara berangsur-angsur dan sebaliknya dalam pembinaan hukumpun secara berangsur-angsur pula.

2.        SUNNAH
Bahwa Sunnah nabi memiliki otoritas sebagai sebagai sumber syari’ah kedua produk akhir abad kedua Islam (Hijriah). Sepanjang abad pertama Islam menggunakan istilah Sunnah yang mengacu pada Sunnah nabi mapun sunnah dalam pengertian tradisi individual seseorang muslim maupun masyarakat umumnya.[4].
Ada ulama yang menerangkan makna asal secara bahasa bahwa: Sunnah itu untuk perbuatan dan taqrir, adapun hadits untuk ucapan. Akan tetapi ulama sudah banyak melupakan makna asal bahasa dan memakai istilah yang sudah lazim digunakan, yaitu bahwa As-Sunnah muradif (sinonim) dengan hadits.
Dalil Keabsahan As-Sunnah sebagai sumber hukum yaitu sebagai berikut:
            Artinya :
            Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul (Nya) dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul (Sunnahnya). Jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa: 59)
Pembagian Sunnah sebagai berikut :
a.      Sunnah Qauliyah
Sunnah Qouliyah yaitu perkataan Nabi SAW yang menerangkan hukum-hukum agama dan maksud isi Al-Qur’an serta berisi peradaban, hikmah, ilmu pengetahuan dan juga menganjurkan akhlaq yang mulia. Sunnah qouliyah (ucapan) dinamakan juga hadits nabi saw. Sunnah Qouliyah juga disebut “khabar”. Jadi sunnah qouliyah itu boleh dikatakan sunnah, hadits dan khabar. Khabar pada umumnya dapat dibagi tiga :
a.       Yang pasti benarnya,seperti apa yang datang dari Allah,RasulNya dan khabar yang dibeikan dengan jalan mutawatir.
b.      Yang pasti tidak benarnya, yaitu pemberitaan tentang hal-hal yang tidak mungkin dibenarkan oleh akal, seperti khabar mati dan hidup dapat berkumpul.
c.        Khabar yang tidak dapat dipastikan benar bohongnya seperti khabar-khabar yang samar,karena kadang-kadang tidak dapat ditentukan mana yang kuat, benarnya atau bohongnya.

b.      Sunnah Fi’liyah
Sunnah fi’liyah adalah perbuatan nabi yang berdasarkan tuntunan rabbani untuk ditiru dan diteladani yang kemudian dinukilkan oleh para sahabat.  Seperti :
صلواكمارأيتمونى اصلى.
Artinya :
“Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat”.

                     Dan
خذوا مناسككم.
Artinya :
“Ambillah dari padaku hal-hal (pelakuan) ibadah hajjimu”.
c.       Sunnah Taqriyah
Sunnah taqririyah merupakan pengakuan nabi  dengan tidak mengingkari sesuatu yang diperbuat oleh seorang sahabat ( orang tunduk dan mengikuti syara ) ketika dihadapan nabi atau diberitakan kepada beliau, lalu nabi sendiri tidak menyanggah, tidak menyalahkan atau juga tidak menunjukkan bahwa beliau meridhainya.
Perkataan atau perbuatan yang didiamkan itu hukumnya sama dengan perkataan dan perbuatan Nabi SAW sendiri yaitu dapat dijadikan hujjah ( ketetapan hukum), seperti ketika sahabat melakukan shalat dibani Quraidhah, Nabi bersabda :
لايصلين احدكم الافى بنى قريظه
Artinya : “Janganlah melaksanakan shalat seseorang diantara kalian kecuali di Bani Quraidhah”.
Pemaknaan hadits ini oleh kalangan sahabat dimaknai beragam, ada sahabat yang tidak shalat ashar kecuali setelah mereka sampai di Bani Quraidhah, sebagian lagi memahami hadits tersebut mengharuskan segera shalat ashar, agar setelah shalat segera sampai di bani Quraidhah.

Contoh As-Sunnah :
Ibnu Umar r.a berkata bahwa Nabi SAW, melewati (melihat) seorang lelaki dari kaum Anshar yang sedang menasehati saudaranya karena malu, maka Nabi SAW. bersabda : “Biarkanlah ia karena sesungguhnya malu itu sebahagian dari iman”.[5]
3.      IJMA’
Ijma’ menurut bahasa, artinya : sepakat, setuju, atau sependapat. Sedangkan menurut istilah, ialah :
اتّفاق مجتهدى امّة محمّد صلى الله عليه وسلّم بعد وفاته فى عصر من الاعصار على امر من الامور.
Artinya :
“Kesamaan pendapat para mujtahid umat Nabi Muhammad saw. setelah beliau wafat, pada masa tertentu tentang masalah tertentu”.
Dalil penetapan ijma' sebagai sumber hukum islam
Antara lain adalah : Firman Allah dalam surat An-Nisa' ayat 59 :
يايهاالذين امنوا اطيعوا الله واطيعوا الرسول واولى الأمر منكم ( النساء : 59)
Artinya :
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan rasul-Nya dan Ulil Amri diantara kamu".

            Yang dimaksud "ulil amri" ialah orang-orang yang memerintah dan para ulama. Menurut hadits:
لاتجتمع أمّتى على الضّلالة
Artinya:
"Ummatku tidak bersepakat atas kesesatan".

Ijma' ini menempati tingkat ketiga sebagai hukum syar'iy, yaitu setelah Al-Qur'an dan as-Sunnah.
Dari pemahaman seperti ini, pada dasarnya ijma' dapat dijadikan alternatif dalam menetapkan hukum sesuatu peristiwa yang di dalam Al-Qu'an atau as-Sunnah tidak ada atau kurang jelas hukumnya.
Contoh Ijma’ :
Contoh ijma’ yang dilandaskan atas Quran adalah kesepakatan para ulama atas keharaman menikahi nenek dan cucu perempuan , walau tidak disebut tegas dalam QS. Al-Nisa`: 23. Para ulama sepakat bahwa kata ummahat (para ibu) mencakup ibu kandung dan nenek, dan kata banat (anak-anak perempuan) mencakup anak dan juga cucu perempuan.
4.      QIYAS
Qiyas menurut bahasa berarti mengukur, memperbandingkan, atau mempersamakan sesuatu dengan lainnya dikarenakan adanya persamaan. Sedang menurut istilah qiyas ialah menetapkan hukum sesuatu yang belum ada ketentuan hukumnya dalam nash dengan mempersamakan sesuatu yang telah ada status hukumnya dalam nash.
Dalil Kedudukan Qiyas sebagai sumber hukum Islam
Qiyas menurut para ulama adalah hujjah syar'iyah yang keempat sesudah Al-Qur'an, Hadits dan Ijma'. Mereka berpendapat demikian dengan alasan:
Firman Allah SWT :
فاعتبروا يااولى الابصار. ( الحسر : 2)
Artinya:
"Hendaklah kamu mengambil i'tibar (ibarat = pelajaran) hai orang-orang yang berfikiran". (QS. Al-Hasyr ayat 2)
Karena i'tibar artinya "qiyasusysyai-i bisysyai-i : membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lain".
Contoh Qiyas :
Narkotik adalah suatu perbuatan yang perlu diterapkan hukumnya, sedang tidak satu nashpun yang dapat dijadikan sebagai dasar hukumnya. Untuk menetapkan hukumnya dapat ditempuh dengan cara qiyas yaitu mencari perbuatan yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash, yaitu perbuatan minum khamr, yang diharamkan berdasar firman Allah SWT QS. Al maidah ayat: 90.
Diatas telah diuraikan sumber pokok Hukum Islam, terdapat juga Dalil Hukum Islam yang dapat dijadikan rujukan untuk menetapkan suatu hukum atau disebut Dalil Hukum Islam (Adilat Al-Syar’iyyah). Dalil secara etimologis adalah sesuatu yang dapat menunjuki. Lebih jauh tentang dalil Syara’ Asy-Syatibi mengungkapkan prinsip dalil sebagai berikut :
1.      Dalil syara’ tidak bertentangan dengan tuntutan akal.
2.      Tujuan pembentukan dalil adalah menempatkan perbuatan manusia mukallaf dalam perhitungannya.
3.      Setiap dalil bersifat Kulli.
4.      Dalil Syara’ terbagi kepada Qat’iy dan Zhanny.
5.      Dalil Syara’ terdiri dari Dalil Naqli dan Aqli.
Dalil-dalil syara’ yang tidak disepakati yaitu :
1.      Istihsan.
Menurut bahasa, istihsan berarti menganggap baik. Sedang menurut istilah Ahli Ushul yang dimaksud istihsan ialah berpindahnya seorang mujtahid dari hukum yang dikehendaki oleh qiyas jaly (jelas) kepada hukum yang dikehendaki oleh qiyas khafy (samar-samar), atau dari hukum kully (umum) kepada hukum yang bersifat istisna'y (pengecualian), karena ada dalil syara' yang menghendaki perpindahan itu. Dari pengertian di atas jelas bahwa istihsan itu ada dua, yaitu :
a.       Menguatkan qiyas khafy atas qiyas jaly dengan dalil. Misalnya menurut ulama Hanafiyah bahwa wanita yang sedang haid boleh membaca Al-Qur'an berdasarkan istihsan tetapi haram menurut qiyas.
Qiyas : Wanita yang sedang haid itu diqiyaskan kepada orang junub dengan illat sama-sama tidak suci. Orang junub haram membaca Al-Qur'an, maka orang yang haid juga haram membaca Al-Qu'an.
Istihsan : Haid berbeda dengan junub, karena haid waktunya lama. Karena itu, wanita yang sedang haid diperbolehkan membaca Al-Qur'an, sebab bila tidak, maka haid yang panjang itu wanita tidak memperoleh pahala ibadah apa pun, sedang laki-laki dapat beribadah setiap saat.
b.      Pengecualian sebagian hukum kully dengan dalil. Misalnya jual beli salam (pesanan) berdasarkan Istihsan diperbolehkan. Menurut dalil kully, syara' melarang jual beli yang barangnya tidak ada pada waktu akad. Alasan istihsan ialah manusia berhajat kepada akad seperti itu dan sudah menjadi kebiasaan mereka.
2.      Maslahat Mursalah.
Mashalih bentuk jama' dari mashlahah, artinya kemaslahatan, kepentingan. Mursalah berarti terlepas. Dengan demikian mashalihul mursalah berarti kemaslahatan yang terlepas. Maksudnya ialah penetapan hukum berdasarkan kepada kemaslahatan, yaitu manfaat bagi manusia atau menolak kemadharatan atas mereka.
Contoh Maslahat Mursalah ialah Islam membolehkan jual beli pesanan (istishna’) dan jual beli salam (jual beli di mana barang yang di beli tidak langsung ketika pembayaran dilakukan, melainkan kemudian nya, sebab barang yang di beli itu tidak berada di tempat ketika transaksi di lakukan).
3.      Istishab.
Istishab ialah melanjutkan berlakunya hukum yang telah tetap di masa lalu, diteruskan sampai yang akan datang, selama tidak terdapat hukum yang mengubahnya.
Contoh Istishab ialah Sebagian ulama mengatakan bahwa orang yang sholat dengan tayammum kemudian dalam mengerjakan sholat itu dia melihat air maka shalatnya tidak batal,dengan alasan istishab kepada ijma syahnya sholat dengan tayammum sebelum melihat air,hukum ini terus berlaku sampai ada dalil,bahwa melihat air membatalkan sholat.
4.      ‘Urf
‘Urf ialah segala sesuatu yang sudah saling dikenal dan dijalankan oleh suatu masyarakat dan sudah menjadi adat istiadat, baik berupa perkataan, perbuatan maupun meninggalkan. Menurut ahli syara' urf bermakna adat, atau antara urf dan adat itu tidak ada perbedaanya. Contoh urf amali ialah jual beli yang dilakukan berdasarkan saling pengertian dengan tidak mengucapkan shighat.
Contah urf Qouly ialah orang telah mengetahui bahwa kata ar-rajul itu untuk laki-laki, bukan untuk perempuan.
5.      Syara’ man Qoblana.
Syara’ man Qoblana ialah Syari’at sebelum kita yaitu syari’at hukum dan ajaran-ajaran yang berlaku pada para Nabi AS sebelum nabi Muhammad SAW. Diutus menjadi rasul seperti syari’at nabi Ibrahim, nabi Daud, nabi Musa, dan nabi Isa. 
Contoh Syara’ man Qoblana ialah “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. 

                   IMAM ABU HANIFAH
Dalam menetapkan sebuah hukum islam, Imam Hanafi menggunakan metode ra’yu dan lebih berhati-hati menerima hadits, karena pada masanya saat itu banyak sekali bertebaran hadits-hadits palsu.
Thaha Jabir membagi cara ijtihad Abu Hnaifah, yaitu cara ijtihad yang pokok dan cara ijtihad yang tambahan. Adapun sumber hukum ijtihad yang pokok Abu Hanifah yaitu :
a.       Apabila tidak terdapat dalam Alquran, ia merujuk kepada :
b.      Sunnah rasul dan atsar yang shahih yang diriwayatkan oleh orang orang yang tsiqah.
c.       Dan bila tidak mendapatkan pada keduanya, maka ia akan merujuk pada qaul sahabat. 
d.      Dan apabila sahabat ikhtilaf, maka ia akan mengambil pendapat dari sahabat manapun yang ia  kehendaki.
e.       Adapun sumber hukum  ijtihad Abu Hanifah yang bersifat tambahan yaitu :
a.       ia mendahulukan qiyas jali atas khabar ahad yang dipertentangkan.
b.      Dan ia akan menggunakan istihsan sebagai salah satu  sumber hukum tambahan.

IMAM MALIK BIN ANAS
Beliau terkenal dengan ahl al-hadits  dalam mengistinbathkan hukum islam. Kitab pegangannya yang popular adalah al-muwatha. Adapun sumber hukum Imam malik dalam berijtihad selain menggunakan alquran, sunnah, ijma , dan qiyas, beliau juga menggunakan dalil amal ahlul madinah, qaul shahabi , khabar ahad, istihsan dan maslahah mursalah sebagai landasannya.
a.       Alquran
Dalam berpegangan pada al-qur’an, beliau melakukan pengambilan hukum berdasarkan atas zhahir nash al-qur’an atau keumumannnya, meliputi mafhum al mukhalafah dan mafhum al aula dengan memperhatikan illatnya.
b.      Sunnah
Dalam berpegang kepada sunnah sebagai dasar hukum, Imam Malik mengikuti cara yang sama ketika berpegang kepada al-Qur’an. Apabila dalil syar’i menghendaki adanya pentakwilan, maka yang dijadikan pegangan adalah arti takwil tersebut. Apabila terdapat pertentangan antara makna zhahir Qur’an dengan makna yang terkandung dalam sunnah, maka yang dipegang adalah makna zhahir al-Qur’an. Tetapi apabila makna yang terkandung dalam sunnah tersebut dikuatkan oleh ijmak ahl madinah maka ia lebih mengutamakan makna yang terkandung dalam sunnah daripada zhahir al- Qur’an.
c.       Ijma’ ahl madinah
Ijma’ ahl madinah ada beberapa macam yaitu :
1.      Ijma’ ahl madinah yang asalnya dari al naql, hasil dari mencontoh rasulullah, bukan hasil ijtihad ahl almadinah. Seperti penentuan tempat mimbar nabi Muhammad. Ijmak semacam ini dijadikan hujjah oleh Imam Malik.
2.      Amalan al madinah sebelum terbunuhnya Utsman bin Affan. Ijmak ini dijadikan hujjah oleh imam malik, karena hal ini didasarkan bahwa belum pernah diketahui pada masa itu yang bertentangan dengan sunnah Rasullullah SAW.
3.      Amalan ahl madinah yang dijadikan pendukung atau pentarjih atas dua dalil yang saling bertentangan. Artinya apabila ada dua dalil yang bertentangan maka untuk mentarjih salah satu dari kedua dalil ,ahl madinah itulah yang dijadikan sebagai hujjah.
4.      Amalan ahl madinah sesudah masa keutamaaan yang menyaksikan amalan Nabi SAW. Amalan ahl madinah seperti ini bukan hujjah menurut mazhab maliki.
d.      Qaul Shahabi
Yang dimaksud sahabat disini ialah sahabat besar yang pengetahuan mereka terhadap suatu masalah itu didasarkan pada naql. Ini berarti bahwa yang dimaksud dengan qaul shahabi berwujud hadits-hadits yang wajib diamalkan. Menurut Imam Malik, para sahabat besar tersebut tidak akan memberi fatwa kecuali atas dasar yang dipahami dari rasulullah.
e.       Khabar Ahad
Dalam menggunakan khabar Ahad, Imam Malik tidak konsisten. Sebab terkadang ia lebih mendahulukan qiyas daripada khabar ahad. Misalnya, bila khabar ahad tersebut tidak dikenal oleh kalangan masyarakat Madinah, ini berarti khabar ahad itu tidak benar dari Rasulullah SAW. Maka, khabar ahad itu tidak digunakan sebagai dasar hukum, tetapi beliau akan menggunakan qiyas dan maslahah.
f.       Al- Istishan
Menurut mazhab Maliki Al- Istishan adalah menurut hukum dengan mengambil maslahah yang merupakan bagian dalam dalil yang bersifat kully(menyeluruh). Dalam istilah lain, Istishan adalah beralih dari satu qiyas ke qiyas lain yang dianggap lebih kuat dilihat dari tujuan syari’at diturunkannya. Tegasnya, istishan selalu melihat dampak suatu ketentuan hukum, yakni jangan sampai suatu ketentuan hukum membawa dampak merugikan. Dampak suatu hukum harus mendatangkan manfaat dan menghindarkan mudharat.
Menurut mazhab Maliki, istishan bukan berarti meninggalkan dalil dan bukan berarti menetapkan hukum atas dasar ra’yu semata, melainkan berpindah dari suatu dalil ke dalil lain yang lebih kuat. Dalam kaidah fiqiyah disebut raf’ul al- Haraj wa al-Masyaqah (menghindarkan kesempitan yang telah diakui syari’at kebenarannya).
g.      Maslahah Al-Mursalah
Maslahah al-Mursalah adalah maslahah yang tidak ada ketentuannya, baik secara tersurat atau sama sekali tidak disinggung oleh nash. Dengan demikian, maka berarti Maslahah al- Mursalah kembali pada memelihara tujuan syari’at yang diturunkan. Adapun tujuan syari’at diturunkan dapat diketahui melalui al-qur’an dan sunnah.

IMAM SYAFI’I
Pada awalnya Imam Syafi’i mengikuti ra’yu dalam berijtihad, tetapi kemudian beliau berpindah pada metode ahl al-hadits sebagaimana dalam perkataannya  “Apabila hadis itu shahih maka itulah pendapatku”.
Adapun sumber hukum yang digunakannnya untuk berijtihad adalah :
a.       Al-qur’an,
b.      Sunnah,
c.       Ijma’
d.      Dan Qiyas.
Beliau menolak istishan sebagaimana dengan panjang lebar ia menguraikan pendapatnya bahwa jika seseorang diperbolehkan menggunakan istishan dalam agama maka setiap orang akan dapat membuat syari’at sendiri. Imam Syafi’i menolak istishan yang tidak memiliki sandaran sama sekali.
Dalam istinbath hukum , Imam Syafi’i menempuh cara bahwa apabila di dalam al-qur’an tidak ditemukan dalil yang dicari maka ia menggunakan hadist mutawatir, jika tidak ditemukan maka ia menggunakan khabar ahad. Dan jika tidak ditemukan dalam semua itu, ia mencarinya berdasarkan zahir al-qur’an dan sunnah yang shahih secara berturut. Dan jika tidak ditemukan pula, maka ia mencari pada ijma’para ulama sahabat. Adapun syarat penggunaan khabar ahad menurutnya ialah perawi tersebut haruslah terpercaya, berakal, dhabit, benar-benar mendengar sendiri hadis tersebut dan tidak menyalahi para ahli ilmu yang juga meriwayatkan hadis tersebut. Ijma’ yang dipakai Imam Syafi’i sebagai dalil hukum ialah ijma’ sharih.
Imam Syafi’i menjadikan qiyas sebagai hujjah dan dalil keempat setelah al-Qur’an, sunnah dan ijma’ dalam menetapkan hukum. Beliau menetapkan metode dalam melakukan qiyas. Sebagai dalil penggunaan qiyas, beliau merujuk pada firman Allah surat An-Nisa ayat : 59 yang artinya “……..kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalilah ia kepada Allah (al-qur’an) dan kepada Rasul (sunnah)…”, maksudnya, qiyaskanlah kepada salah satu dari Al-qur’an atau sunnah. Menurut imam Syafi’I, ashl tidak boleh  diqyAKn kepada ashl. Keduanya hanya dipertanyakan kepada cabang. Maka qyas akan menjadi hujjah jika pengqyasannya benar.

IMAM AHMAD BIN HANBAL
Imam Ahmad bin Hanbal menggunakan metode ahl hadits dalam beristinbath. Adapun sumber hukum yang dijadikannya sebagai landasan yaitu al-Qur’an, sunnah, qaul sahabi yang tidak bertentangan, hadis mursal, hadis dhaif, qiyas dan sadz al dzar’i.
Imam Hanbal lebih mengutamakan hadis mursal atau hadis dhaif daripada qiyas. Sebab, ia tidak akan menggunakan qiyas kecuali dalam keadaan sangat terpaksa. Demikian juga halnya dengan qaul sahabat, beliau tidak menyukai fatwa bila tanpa didasarkan pada atsar.
Apabila dalam nash qur’an dan sunnah tidak didapati dalil yang dicari maka beliau menggunakan fatwa para sahabat Nabi yang tidak ada perselisihan diantara mereka. Namun jika tidak ditemui dalam fatwa tersebut, maka beliau mengunakan hadis mursal dan dhaif. Bila masih tidak ditemukan juga, maka barulah beliau mengqiyaskannya.
Sebab Perbedaan Istinbath Para Imam Mazhab :
1.      Faktor kemanusiaan. Manusia dicipta dengan kebolehan yang berbeda-beda, sama ada secara fizikal atau mental. Perbedaan mental lebih tepat diertikan sebagai perbedaan seseorang itu menafsir sesuatu dalil al-Qur’an dan al-Sunnah untuk mengeluarkan sebuah hukum. Ini hanya berlaku terhadap dalil yang bersifat umum sehingga memungkinkan pemahaman yang berbeda.
2.      Faktor sejarah. Pada zaman para imam mazhab, tidak terdapat suasana yang memudahkan mereka untuk memperolehi hadis-hadis atau duduk bersama membicarakan sesuatu hal agama. Para imam mazhab terpaksa berhijrah ke sana sini di seluruh dunia Islam untuk mencari hadis-hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Suasana ini ada hubung-kaitnya dengan hukum yang dikeluarkan oleh seseorang imam mazhab itu di mana setiap daripada mereka akan mengeluarkan pendapat berdasarkan hadis-hadis yang sempat mereka terima saja.

            Sebab Perbedaan penetapan hukum Mazhab Syafi’i dan Hanafi di tinjau dari Tinjauan Sejarah yakni :
a.       Mazhab Hanafi
Abu Hanifah belajar fiqih kepada ulama aliran irak (ra’yu). Imam Abu Hanifah mengajak kepada kebebasan berfikir dalam memecahkan masalah-masalah baru yang belum terdapat dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Ia banyak mengandalkan qiyas (analogi) dalam menentukan hukum.
b.      Mazhab Syafi’i
As-Syafi’i mulai melakukan kajian hukum dan mengeluarkan fatwa-fatwa fiqih bahkan menyusun metodologi kajian hukum yang cenderung memperkuat posisi tradisional serta mengkritik rasional, baik aliran Madinah maupun Kuffah.

            Contoh Kasus Istinbat Hukum Para Imam Mazhab :
1.      Mazhab Syafi’i
Ji’alah hukumnya Jaiz (boleh) dari dua arah, yaitu arah orang yang merangsang dan yang dirangsang dengan pemberian.[6]
2.      Mazhab Hanafi
Berpendapat bahwa Ju’alah itu tidak boleh dengan alasan bahwa pengupahan tersebut terdapat unsur penipuan (Gharar), karena disamakan dengan sewa menyewa yang lain.[7]
3.      Mazhab Maliki
Pengupahan (pemberian hadiah) itu dibolehkan pada sesuatu yang ringan dengan dua syarat : tidak ditentukan masanya dan upahnya itu jelas dan diketahui.[8]

Penulis dapat menyimpulkan uraian-uraian diatas adalah sebagai berikut :
1.      Sumber Pokok dan Dasar Hukum Islam yaitu :
a.       Al-Qur’an
b.      Sunnah
c.       Ijma’
d.      Qiyas
2.      Terdapat pula sumber pendukung yang dapat dijadikan rujukan dalam menetapkan hukum yang disebut Al-Adillat Al- Syar’iyah tetapi dalil syara’ tersebut tidak disepakati, yaitu sebagai berikut :
a.       Istihsan
b.      Maslahat Mursalah
c.       Istishab
d.      ‘Urf
e.       Syara’ man Qoblana
3.      Terdapat Sumber hukum yang digunakan oleh setiap imam mazhab yang mempunyai urtan berbeda-beda :
1.      Imam Hanafi :
a.       Alquran
b.      Sunnah rasul dan atsar yang shahih yang diriwayatkan oleh orang orang yang tsiqah.
c.       Qaul sahabat. 
d.      Apabila sahabat ikhtilaf, maka ia akan mengambil pendapat dari sahabat manapun yang ia  kehendaki.
Adapun sumber hukum  ijtihad Abu Hanifah yang bersifat tambahan yaitu :
a.       Qiyas jali atas khabar ahad yang dipertentangkan.
b.      Istihsan sebagai salah satu  sumber hukum tambahan.
2.      Imam Malik :
a.       Al-qur’an
b.      Sunnah
c.       Ijma’
d.      Qaul Shahabi
e.       Khabar Ahad
f.       Istihsan
g.      Maslahah Mursalah
3.      Imam Syafi’i :
a.       Al-qur’an
b.      Sunnah
c.       Ijma’
d.      Qiyas
4.      Imam Hanbali :
a.       Al-qur’an
b.      Sunnah
c.       Qaul Shahabi yang tidak bertentangan
d.      Hadist Mursal
e.       Hadist Dh’if
f.       Qiyas
g.      Sadz Al-Dzar’iyah





DAFTAR PUSTAKA

Arfa, Faisar Ananda, Filsafat Hukum Islam, Bandung : Citapustaka, 2007.
Ilmy, Bahrul, Pendidikan Agama Islam, Jakarta : Grafindo Media Pratama, 2006.
An-Na’im, Abdullah Ahmad, Dekonstruksi Syari’ah, Yogyakarta : LkiS, 1990.
Syafe’i, Rachmat,  Al-Hadis Aqidah, Akhlaq, Sosial dan Hukum, Bandung : Pustaka Setia, 2000.
Amar, Imron Abu, Fat-Hul Qarib, Kudus : Menara, 1982.
Rusyd, Ibnu, Bidayatul Mujtahid Analisa Fiqh Para Mujtahid, Jakarta : Pustaka Amani, 2007.



[1] Faisar Ananda Arfa, Filsafat Hukum Islam (Bandung : Citapustaka,2007), hlm. 76-77.

[2] Bahrul Ilmy, Pendidikan Agama Islam (Jakarta : Grafindo Media Pratama, 2006), hlm.58.
[3] Faisar Ananda Arfa, Op.Cit, hlm. 81-86.
[4] Abdullah Ahmad An-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah (Yogyakarta : LkiS, 1990), hlm.36.
[5] Rachmat Syafe’i, Al-Hadis Aqidah, Akhlaq, Sosial dan Hukum (Bandung : Pustaka Setia, 2000), hlm. 28.
[6] Imron Abu Amar, Fat-Hul Qarib (Kudus : Menara, 1982), hlm. 303.
[7] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Analisa Fiqh Para Mujtahid (Jakarta : Pustaka Amani, 2007), hlm. 101 dan 102.
[8] Ibid, hlm. 101.