Berbicara tentang sumber hukum
berarti kita membicarakan kevaliditasan hukum. Sebagaimana Gurvitch mengatakan
“The Question of the source of law study
only one aspect of the general study of the validity of law”. Berarti dari
sumber hukum dapat dijadikan sebagai tolak ukur untuk melihat kevaliditasan
suatu hukum.
Hukum Islam dan Barat mempunyai
validitas yang berbeda-beda. Hukum Islam yang bercorak Theosentris mempunyai
kevaliditasan tersendiri kalau dikembalikan kepada sumbernya, demikian pula
dengan Hukum Barat yang bercorak Antophosentris cenderung untuk menghindari
kalam Tuhan dalam hukumnya juga punya validitas sendiri.
Suatu hukum tidak akan mengikat
masyarakat dan tidak dapat dikatakan tidak layak bila berasal dari sumber yang
tidak kuat. Nilai philosophinya hukum tidak akan tercipta dan keadilan tidak
akan terwujud bila sumber hukum tidak ada.
Telah menjadi suatu kesepakatan
akademik bahwa sumber hukum Islam yang pokok adalah Al-Qur’an, Hadist, Ijma’
dan Qiyas.
Sumber Pokok dan Dasar Hukum Islam
1.
Al-Qur’an
Al-Qur’an berkedudukan sebagai
sumber yang pertama dan utama hukum dalam Islam. Kedudukan ini mengharuskan
umat Islam memahami pesan-pesan yang dikandungnya untuk dilaksanakannya dalam
kehidupan.
Allah SWT. Menurunkan Al-Qur’an itu, gunanya untuk
dijadikan dasar hukum, dan disampaikan kepada ummat manusia untuk diamalkan
segala perintahnya dan ditinggalkan segala larangannya, sebagaimana firman Allah
:
فاستمسك بالذي أوحى اليك (
الزخرف : 43)
Artinya :
“maka berpeganglah kepada apa
diwahyukan kepadamu”. (QS. Az-Zukhruf : 43)
Argumentasi yang menyatakan bahwa
Al-qur’an sebagai sumber dan dalil pertama dan utama ditemukan penjelasan
Al-qur’an dalam sejumlah ayatnya. Lebih dari tiga puluh kaki ditemukan perintah
mematuhi Allah dan Al-qur’an. Mamatuhi Allah berarti mengikuti hukum-hukum yang
dikandung Al-qur’an. Bahkan meninggalkan hukum-hukum Al-qur’an membawa akibat
kepada peningkatan iman dalam melakukan kezaliman.
Penetapan hukum dalam A-qur’an
menggunakan tiga media :
1. Al-qur’an menggunakan kalimat perintah
(amar) secara tegas.
2. Al-qur’an mengaitkan suatu perintah
dengan janji baik dan buruk. Pahala dan dosa, pujian dan celaan baik yang
berbentuk fisik maupun non fisik. Seperti pujian kepada orang yang taat akan
memperoleh nikmat surga dan ancaman bagi orang yang melakukan kejahatan sperti
pencurian dengan potong tangan.
3. Ibarat pada media ketiga ini dapat
mengandung kepada keharusan seperti pada saat menunggu istri yang diceraikan
sperti kebolehan melakukan Ijma’ pada malam ramadhan.
Hukum yang djelaskan di dalam
Al-qur’an secara keseluruhan dapat dikelompokkan kepada persoalan ibadah dan
mu’amalah. Ibadah yang dimaksud disini adalah ibadah yang bersifat khusus,
yaitu hubungan yang berhubungan dengan Tuhan seperti sholat, puasa dan
ibadah-ibadah pokok. Penggunaan kata khusus disini untuk membedakannya dengan
ibadah dalam arti umum yaitu seluruh aktivitas yang dilakukan mendapat ridho
Allah SWT.[3]
Dasar-dasar
Al-qur’an dalam membuat hukum :
a. Tidak memberatkan, Sebagaimana firman Allah :
لا يكلّف الله نفسا الا وسعها (
البقرة : 286)
Artinya :
“Allah tidak membebani seseorang
melainkan sesuai dengan kesanggupannya”. (QS. Al-Baqoroh : 286)
Dengan dasar-dasar itulah, kita
boleh :
1. Mengqoshor shalat dan menjama’.
2. Boleh tidak berpuasa apabila dalam bepergian.
3. Boleh bertayamum sebagai ganti wudhu.
4. Boleh memakan makanan yang diharamkan, jika dalam
keadaan memaksa.
b. Berangsur-angsur, Al-Qur’an
telah membuat hukum-hukum dengan berangsur-angsur. Hal ini dapat diketahui sebagai berikut :
1.
Mengharamkan sesuatu secara berangsur-angsur, seperti
larangan minum minuman keras dan perjudian, sebagaimana firman Allah
:
يسئلونك عن الخمر والميسر قل فيهما
اثم كبير ومنافع للناس واثمها اكبر من نفعهما. (البقرة :219)
Arinya :
“Mereka bertanya kepadamu tentang
minuman yang memabukkan dan tentang perjudian.
Katakanlah olehmu, bahwa minuman yang memabukkan dan perjudian itu dosa besar
dan ada manfaatnya bagi manusia, tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya”.
(QS. Al-Baqoroh : 219)
Lalu datanglah fase yang kedua dari
fase mengharamkan khamar itu, yaitu dengan jalan mengharamkannya
sesaat sebelum shalat dan bahwa bekas-bekasnya harus lenyap sebelum shalat,
yaitu dengan firman Allah :
ياايها الذين امنوا لاتقربوا الصلاة
وانتم سكرى. (النساء : 43)
Artinya :
“Wahai orang-orang yang beriman,
janganlah mendekati shalat di kala kamu sedang mabuk”. (QS.
An-Nisa’ : 43)
Kemudian datanglah fase terakhir
yaitu larangan keras terhadap arak dan judi, setelah banyak orang-orang
yang telah meninggalkan kebiasaan itu dan sesudah turun ayat yang pertama dan yang kedua.
Yaitu firman Allah SWT :
ياايها الذين امنوا انما الخمر
والميسر والانصاب والازلام رجس من عمل الشيطان فاجتنبوه لعلكم
تفلحون. (المائدة : 90)
Artinya :
”Wahai orang-orang yang beriman,
sesungguhnya arak, judi, berhala dan bertenung adalah
pekerjaan yang keji termasuk perbuatan syetan, maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu, agar kamu memperoleh kebahagiaan”. (QS. Al-Maidah : 90)
Demikian Allah membuat larangan
secara berangsur-angsur dan sebaliknya dalam pembinaan hukumpun
secara berangsur-angsur pula.
2.
SUNNAH
Bahwa Sunnah nabi memiliki otoritas
sebagai sebagai sumber syari’ah kedua produk akhir abad kedua Islam (Hijriah).
Sepanjang abad pertama Islam menggunakan istilah Sunnah yang mengacu pada
Sunnah nabi mapun sunnah dalam pengertian tradisi individual seseorang muslim
maupun masyarakat umumnya.[4].
Ada ulama yang menerangkan makna asal secara bahasa bahwa:
Sunnah itu untuk perbuatan dan taqrir, adapun hadits untuk ucapan. Akan tetapi
ulama sudah banyak melupakan makna asal bahasa dan memakai istilah yang sudah
lazim digunakan, yaitu bahwa As-Sunnah muradif (sinonim) dengan hadits.
Dalil Keabsahan As-Sunnah sebagai sumber hukum yaitu sebagai
berikut:
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul (Nya) dan
ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul (Sunnahnya). Jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa: 59)
Pembagian Sunnah sebagai berikut :
a.
Sunnah Qauliyah
Sunnah Qouliyah yaitu perkataan Nabi SAW yang
menerangkan hukum-hukum agama dan maksud isi Al-Qur’an serta berisi peradaban,
hikmah, ilmu pengetahuan dan juga menganjurkan akhlaq yang mulia. Sunnah
qouliyah (ucapan) dinamakan juga hadits nabi saw. Sunnah Qouliyah juga disebut
“khabar”. Jadi sunnah qouliyah itu boleh dikatakan sunnah, hadits dan khabar.
Khabar pada umumnya dapat dibagi tiga :
a.
Yang pasti
benarnya,seperti apa yang datang dari Allah,RasulNya dan khabar yang dibeikan
dengan jalan mutawatir.
b.
Yang pasti
tidak benarnya, yaitu pemberitaan tentang hal-hal yang tidak mungkin dibenarkan
oleh akal, seperti khabar mati dan hidup dapat berkumpul.
c.
Khabar yang tidak dapat dipastikan benar bohongnya
seperti khabar-khabar yang samar,karena kadang-kadang tidak dapat ditentukan
mana yang kuat, benarnya atau bohongnya.
b. Sunnah
Fi’liyah
Sunnah fi’liyah adalah perbuatan nabi yang berdasarkan
tuntunan rabbani untuk ditiru dan diteladani yang kemudian dinukilkan oleh para
sahabat. Seperti :
صلواكمارأيتمونى
اصلى.
Artinya :
“Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat
aku shalat”.
Dan
خذوا مناسككم.
Artinya :
“Ambillah dari padaku hal-hal
(pelakuan) ibadah hajjimu”.
c. Sunnah
Taqriyah
Sunnah taqririyah merupakan pengakuan nabi dengan tidak
mengingkari sesuatu yang diperbuat oleh seorang sahabat ( orang tunduk dan
mengikuti syara ) ketika dihadapan nabi atau diberitakan kepada beliau, lalu
nabi sendiri tidak menyanggah, tidak menyalahkan atau juga tidak menunjukkan
bahwa beliau meridhainya.
Perkataan atau perbuatan yang didiamkan itu hukumnya sama dengan
perkataan dan perbuatan Nabi SAW sendiri yaitu dapat dijadikan hujjah (
ketetapan hukum), seperti ketika sahabat melakukan shalat dibani Quraidhah,
Nabi bersabda :
لايصلين احدكم الافى بنى قريظه
Artinya : “Janganlah
melaksanakan shalat seseorang diantara kalian kecuali di Bani Quraidhah”.
Pemaknaan hadits ini oleh kalangan sahabat dimaknai beragam, ada
sahabat yang tidak shalat ashar kecuali setelah mereka sampai di Bani
Quraidhah, sebagian lagi memahami hadits tersebut mengharuskan segera shalat
ashar, agar setelah shalat segera sampai di bani Quraidhah.
Contoh As-Sunnah :
Ibnu Umar r.a berkata bahwa
Nabi SAW, melewati (melihat) seorang lelaki dari kaum Anshar yang sedang
menasehati saudaranya karena malu, maka Nabi SAW. bersabda : “Biarkanlah ia
karena sesungguhnya malu itu sebahagian dari iman”.[5]
3. IJMA’
Ijma’ menurut bahasa, artinya :
sepakat, setuju, atau sependapat. Sedangkan menurut istilah, ialah :
اتّفاق
مجتهدى امّة محمّد صلى الله عليه وسلّم بعد وفاته فى عصر من الاعصار على امر من الامور.
Artinya :
“Kesamaan pendapat para mujtahid
umat Nabi Muhammad saw. setelah beliau wafat, pada masa tertentu tentang
masalah tertentu”.
Dalil penetapan ijma' sebagai sumber hukum islam
Antara lain adalah : Firman Allah dalam surat
An-Nisa' ayat 59 :
يايهاالذين
امنوا اطيعوا الله واطيعوا الرسول واولى الأمر منكم ( النساء :
59)
Artinya :
"Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan rasul-Nya dan Ulil Amri diantara kamu".
Yang dimaksud "ulil amri"
ialah orang-orang yang memerintah dan para ulama. Menurut
hadits:
لاتجتمع
أمّتى على الضّلالة
Artinya:
"Ummatku tidak bersepakat atas
kesesatan".
Ijma' ini menempati tingkat ketiga
sebagai hukum syar'iy, yaitu setelah Al-Qur'an dan as-Sunnah.
Dari pemahaman seperti ini, pada
dasarnya ijma' dapat dijadikan alternatif dalam menetapkan hukum sesuatu
peristiwa yang di dalam Al-Qu'an atau as-Sunnah tidak ada atau kurang jelas
hukumnya.
Contoh Ijma’ :
Contoh ijma’ yang dilandaskan atas Quran adalah kesepakatan para ulama atas
keharaman menikahi nenek dan cucu perempuan , walau tidak disebut tegas dalam
QS. Al-Nisa`: 23. Para ulama sepakat
bahwa kata ummahat (para ibu) mencakup ibu kandung dan nenek, dan kata banat
(anak-anak perempuan) mencakup anak dan juga cucu perempuan.
4. QIYAS
Qiyas menurut bahasa
berarti mengukur, memperbandingkan, atau mempersamakan sesuatu dengan lainnya
dikarenakan adanya persamaan. Sedang menurut istilah qiyas ialah menetapkan
hukum sesuatu yang belum ada ketentuan hukumnya dalam nash dengan mempersamakan
sesuatu yang telah ada status hukumnya dalam nash.
Dalil Kedudukan Qiyas
sebagai sumber hukum Islam
Qiyas menurut para
ulama adalah hujjah syar'iyah yang keempat sesudah Al-Qur'an, Hadits dan Ijma'.
Mereka berpendapat demikian dengan alasan:
Firman Allah SWT :
فاعتبروا يااولى الابصار. ( الحسر : 2)
Artinya:
"Hendaklah kamu
mengambil i'tibar (ibarat = pelajaran) hai orang-orang yang berfikiran". (QS.
Al-Hasyr ayat 2)
Karena i'tibar artinya "qiyasusysyai-i
bisysyai-i : membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lain".
Contoh Qiyas :
Narkotik
adalah suatu perbuatan yang perlu diterapkan hukumnya, sedang tidak satu
nashpun yang dapat dijadikan sebagai dasar hukumnya. Untuk menetapkan hukumnya
dapat ditempuh dengan cara qiyas yaitu mencari perbuatan yang lain yang telah
ditetapkan hukumnya berdasar nash, yaitu perbuatan minum khamr, yang diharamkan
berdasar firman Allah SWT QS. Al maidah ayat: 90.
Diatas telah diuraikan sumber pokok
Hukum Islam, terdapat juga Dalil Hukum Islam yang dapat dijadikan rujukan untuk
menetapkan suatu hukum atau disebut Dalil Hukum Islam (Adilat Al-Syar’iyyah). Dalil secara etimologis adalah sesuatu yang
dapat menunjuki. Lebih jauh tentang dalil Syara’ Asy-Syatibi mengungkapkan
prinsip dalil sebagai berikut :
1. Dalil syara’ tidak bertentangan dengan tuntutan akal.
2. Tujuan pembentukan dalil adalah menempatkan perbuatan
manusia mukallaf dalam perhitungannya.
3. Setiap dalil bersifat Kulli.
4. Dalil Syara’ terbagi kepada Qat’iy dan Zhanny.
5. Dalil Syara’ terdiri dari Dalil Naqli dan Aqli.
Dalil-dalil
syara’ yang tidak disepakati yaitu :
1.
Istihsan.
Menurut bahasa, istihsan berarti
menganggap baik. Sedang menurut istilah Ahli Ushul yang dimaksud istihsan ialah
berpindahnya seorang mujtahid dari hukum yang dikehendaki oleh qiyas jaly
(jelas) kepada hukum yang dikehendaki oleh qiyas khafy (samar-samar), atau dari
hukum kully (umum) kepada hukum yang bersifat istisna'y (pengecualian), karena
ada dalil syara' yang menghendaki perpindahan itu. Dari pengertian di atas
jelas bahwa istihsan itu ada dua, yaitu :
a. Menguatkan qiyas khafy atas qiyas jaly dengan dalil.
Misalnya menurut ulama Hanafiyah bahwa wanita yang sedang haid boleh membaca
Al-Qur'an berdasarkan istihsan tetapi haram menurut qiyas.
Qiyas :
Wanita yang sedang haid itu diqiyaskan kepada orang junub dengan illat
sama-sama tidak suci. Orang junub haram membaca Al-Qur'an, maka orang yang haid
juga haram membaca Al-Qu'an.
Istihsan : Haid
berbeda dengan junub, karena haid waktunya lama. Karena itu, wanita yang sedang
haid diperbolehkan membaca Al-Qur'an, sebab bila tidak, maka haid yang panjang
itu wanita tidak memperoleh pahala ibadah apa pun, sedang laki-laki dapat
beribadah setiap saat.
b. Pengecualian sebagian hukum kully dengan dalil.
Misalnya jual beli salam (pesanan) berdasarkan Istihsan diperbolehkan. Menurut
dalil kully, syara' melarang jual beli yang barangnya tidak ada pada waktu
akad. Alasan istihsan ialah manusia berhajat kepada akad seperti itu dan sudah
menjadi kebiasaan mereka.
2.
Maslahat Mursalah.
Mashalih bentuk jama' dari
mashlahah, artinya kemaslahatan, kepentingan. Mursalah berarti terlepas. Dengan
demikian mashalihul mursalah berarti kemaslahatan yang terlepas. Maksudnya
ialah penetapan hukum berdasarkan kepada kemaslahatan, yaitu manfaat bagi
manusia atau menolak kemadharatan atas mereka.
Contoh Maslahat Mursalah ialah Islam membolehkan jual beli pesanan
(istishna’) dan jual beli salam (jual beli di mana barang yang
di beli tidak langsung ketika pembayaran dilakukan, melainkan kemudian nya,
sebab barang yang di beli itu tidak berada di tempat ketika transaksi di
lakukan).
3.
Istishab.
Istishab ialah melanjutkan
berlakunya hukum yang telah tetap di masa lalu, diteruskan sampai yang akan
datang, selama tidak terdapat hukum yang mengubahnya.
Contoh Istishab ialah Sebagian
ulama mengatakan bahwa orang yang sholat dengan tayammum kemudian dalam
mengerjakan sholat itu dia melihat air maka shalatnya tidak batal,dengan alasan
istishab kepada ijma syahnya sholat dengan tayammum sebelum melihat air,hukum
ini terus berlaku sampai ada dalil,bahwa melihat air membatalkan sholat.
4.
‘Urf
‘Urf ialah segala sesuatu yang sudah
saling dikenal dan dijalankan oleh suatu masyarakat dan sudah menjadi adat
istiadat, baik berupa perkataan, perbuatan maupun meninggalkan. Menurut ahli
syara' urf bermakna adat, atau antara urf dan adat itu tidak ada perbedaanya. Contoh
urf amali ialah jual beli yang dilakukan berdasarkan saling pengertian
dengan tidak mengucapkan shighat.
Contah urf Qouly ialah orang
telah mengetahui bahwa kata ar-rajul itu untuk laki-laki, bukan untuk
perempuan.
5. Syara’ man Qoblana.
Syara’
man Qoblana ialah Syari’at sebelum kita yaitu syari’at hukum dan ajaran-ajaran
yang berlaku pada para Nabi AS sebelum nabi Muhammad SAW. Diutus menjadi rasul
seperti syari’at nabi Ibrahim, nabi Daud, nabi Musa, dan nabi Isa.
Contoh Syara’ man Qoblana ialah “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu
berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertakwa”.
IMAM ABU
HANIFAH
Dalam menetapkan sebuah hukum islam, Imam Hanafi
menggunakan metode ra’yu dan lebih berhati-hati menerima hadits,
karena pada masanya saat itu banyak sekali bertebaran hadits-hadits palsu.
Thaha Jabir membagi cara ijtihad Abu Hnaifah, yaitu
cara ijtihad yang pokok dan cara ijtihad yang tambahan. Adapun sumber hukum
ijtihad yang pokok Abu Hanifah yaitu :
a.
Apabila
tidak terdapat dalam Alquran, ia merujuk kepada :
b.
Sunnah rasul
dan atsar yang shahih yang diriwayatkan oleh orang orang yang tsiqah.
c.
Dan bila
tidak mendapatkan pada keduanya, maka ia akan merujuk pada qaul sahabat.
d.
Dan apabila
sahabat ikhtilaf, maka ia akan mengambil pendapat dari sahabat manapun yang
ia kehendaki.
e.
Adapun
sumber hukum ijtihad Abu Hanifah yang bersifat tambahan yaitu :
a.
ia
mendahulukan qiyas jali atas khabar ahad yang dipertentangkan.
b.
Dan ia akan
menggunakan istihsan sebagai salah satu sumber hukum tambahan.
IMAM MALIK BIN ANAS
Beliau terkenal dengan ahl al-hadits dalam
mengistinbathkan hukum islam. Kitab pegangannya yang popular adalah al-muwatha.
Adapun sumber hukum Imam malik dalam berijtihad selain menggunakan alquran,
sunnah, ijma , dan qiyas, beliau juga menggunakan dalil amal ahlul madinah,
qaul shahabi , khabar ahad, istihsan dan maslahah mursalah sebagai landasannya.
a.
Alquran
Dalam berpegangan pada al-qur’an, beliau melakukan
pengambilan hukum berdasarkan atas zhahir nash al-qur’an atau keumumannnya,
meliputi mafhum al mukhalafah dan mafhum al aula dengan memperhatikan illatnya.
b.
Sunnah
Dalam berpegang kepada sunnah sebagai dasar hukum,
Imam Malik mengikuti cara yang sama ketika berpegang kepada al-Qur’an. Apabila
dalil syar’i menghendaki adanya pentakwilan, maka yang dijadikan pegangan
adalah arti takwil tersebut. Apabila terdapat pertentangan antara makna zhahir
Qur’an dengan makna yang terkandung dalam sunnah, maka yang dipegang adalah
makna zhahir al-Qur’an. Tetapi apabila makna yang terkandung dalam sunnah
tersebut dikuatkan oleh ijmak ahl madinah maka ia lebih mengutamakan makna yang
terkandung dalam sunnah daripada zhahir al- Qur’an.
c.
Ijma’ ahl
madinah
Ijma’ ahl madinah ada beberapa macam yaitu :
1.
Ijma’ ahl
madinah yang asalnya dari al naql, hasil dari mencontoh rasulullah, bukan hasil
ijtihad ahl almadinah. Seperti penentuan tempat mimbar nabi Muhammad. Ijmak
semacam ini dijadikan hujjah oleh Imam Malik.
2.
Amalan al
madinah sebelum terbunuhnya Utsman bin Affan. Ijmak ini dijadikan hujjah oleh
imam malik, karena hal ini didasarkan bahwa belum pernah diketahui pada masa
itu yang bertentangan dengan sunnah Rasullullah SAW.
3.
Amalan ahl
madinah yang dijadikan pendukung atau pentarjih atas dua dalil yang saling bertentangan.
Artinya apabila ada dua dalil yang bertentangan maka untuk mentarjih salah
satu dari kedua dalil ,ahl madinah itulah yang dijadikan sebagai hujjah.
4.
Amalan ahl
madinah sesudah masa keutamaaan yang menyaksikan amalan Nabi SAW. Amalan ahl
madinah seperti ini bukan hujjah menurut mazhab maliki.
d.
Qaul Shahabi
Yang dimaksud sahabat disini ialah sahabat besar yang
pengetahuan mereka terhadap suatu masalah itu didasarkan pada naql. Ini berarti
bahwa yang dimaksud dengan qaul shahabi berwujud hadits-hadits yang wajib
diamalkan. Menurut Imam Malik, para sahabat besar tersebut tidak akan memberi
fatwa kecuali atas dasar yang dipahami dari rasulullah.
e.
Khabar Ahad
Dalam menggunakan khabar Ahad, Imam Malik tidak
konsisten. Sebab terkadang ia lebih mendahulukan qiyas daripada khabar ahad.
Misalnya, bila khabar ahad tersebut tidak dikenal oleh kalangan masyarakat
Madinah, ini berarti khabar ahad itu tidak benar dari Rasulullah SAW. Maka,
khabar ahad itu tidak digunakan sebagai dasar hukum, tetapi beliau akan
menggunakan qiyas dan maslahah.
f.
Al- Istishan
Menurut mazhab Maliki Al- Istishan adalah menurut
hukum dengan mengambil maslahah yang merupakan bagian dalam dalil yang bersifat
kully(menyeluruh). Dalam istilah lain, Istishan adalah beralih dari satu qiyas
ke qiyas lain yang dianggap lebih kuat dilihat dari tujuan syari’at
diturunkannya. Tegasnya, istishan selalu melihat dampak suatu ketentuan hukum,
yakni jangan sampai suatu ketentuan hukum membawa dampak merugikan. Dampak
suatu hukum harus mendatangkan manfaat dan menghindarkan mudharat.
Menurut mazhab Maliki, istishan bukan berarti
meninggalkan dalil dan bukan berarti menetapkan hukum atas dasar ra’yu semata,
melainkan berpindah dari suatu dalil ke dalil lain yang lebih kuat. Dalam
kaidah fiqiyah disebut raf’ul al- Haraj wa al-Masyaqah (menghindarkan
kesempitan yang telah diakui syari’at kebenarannya).
g.
Maslahah Al-Mursalah
Maslahah al-Mursalah adalah maslahah yang tidak ada
ketentuannya, baik secara tersurat atau sama sekali tidak disinggung oleh nash.
Dengan demikian, maka berarti Maslahah al- Mursalah kembali pada memelihara
tujuan syari’at yang diturunkan. Adapun tujuan syari’at diturunkan dapat
diketahui melalui al-qur’an dan sunnah.
IMAM
SYAFI’I
Pada awalnya Imam Syafi’i mengikuti ra’yu dalam
berijtihad, tetapi kemudian beliau berpindah pada metode ahl al-hadits
sebagaimana dalam perkataannya “Apabila hadis itu shahih maka itulah
pendapatku”.
Adapun sumber hukum yang digunakannnya untuk berijtihad
adalah :
a.
Al-qur’an,
b.
Sunnah,
c.
Ijma’
d.
Dan Qiyas.
Beliau menolak istishan sebagaimana dengan panjang
lebar ia menguraikan pendapatnya bahwa jika seseorang diperbolehkan menggunakan
istishan dalam agama maka setiap orang akan dapat membuat syari’at sendiri.
Imam Syafi’i menolak istishan yang tidak memiliki sandaran sama sekali.
Dalam istinbath hukum , Imam Syafi’i menempuh cara
bahwa apabila di dalam al-qur’an tidak ditemukan dalil yang dicari maka ia
menggunakan hadist mutawatir, jika tidak ditemukan maka ia menggunakan khabar
ahad. Dan jika tidak ditemukan dalam semua itu, ia mencarinya berdasarkan zahir
al-qur’an dan sunnah yang shahih secara berturut. Dan jika tidak ditemukan
pula, maka ia mencari pada ijma’para ulama sahabat. Adapun syarat penggunaan
khabar ahad menurutnya ialah perawi tersebut haruslah terpercaya, berakal,
dhabit, benar-benar mendengar sendiri hadis tersebut dan tidak menyalahi para
ahli ilmu yang juga meriwayatkan hadis tersebut. Ijma’ yang dipakai Imam
Syafi’i sebagai dalil hukum ialah ijma’ sharih.
Imam Syafi’i menjadikan qiyas sebagai hujjah dan dalil
keempat setelah al-Qur’an, sunnah dan ijma’ dalam menetapkan hukum. Beliau
menetapkan metode dalam melakukan qiyas. Sebagai dalil penggunaan qiyas, beliau
merujuk pada firman Allah surat An-Nisa ayat : 59 yang artinya “……..kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalilah ia kepada Allah (al-qur’an) dan kepada Rasul
(sunnah)…”, maksudnya, qiyaskanlah kepada salah satu dari Al-qur’an
atau sunnah. Menurut imam Syafi’I, ashl tidak boleh diqyAKn
kepada ashl. Keduanya hanya dipertanyakan kepada cabang. Maka qyas akan menjadi
hujjah jika pengqyasannya benar.
IMAM
AHMAD BIN HANBAL
Imam Ahmad bin Hanbal menggunakan metode ahl hadits
dalam beristinbath. Adapun sumber hukum yang dijadikannya sebagai landasan
yaitu al-Qur’an, sunnah, qaul sahabi yang tidak bertentangan, hadis mursal,
hadis dhaif, qiyas dan sadz al dzar’i.
Imam Hanbal lebih mengutamakan hadis mursal atau hadis
dhaif daripada qiyas. Sebab, ia tidak akan menggunakan qiyas kecuali dalam
keadaan sangat terpaksa. Demikian juga halnya dengan qaul sahabat, beliau tidak
menyukai fatwa bila tanpa didasarkan pada atsar.
Apabila dalam nash qur’an dan sunnah tidak didapati
dalil yang dicari maka beliau menggunakan fatwa para sahabat Nabi yang tidak
ada perselisihan diantara mereka. Namun jika tidak ditemui dalam fatwa
tersebut, maka beliau mengunakan hadis mursal dan dhaif. Bila masih tidak
ditemukan juga, maka barulah beliau mengqiyaskannya.
Sebab Perbedaan Istinbath Para Imam Mazhab :
1. Faktor
kemanusiaan. Manusia dicipta dengan kebolehan yang berbeda-beda, sama ada
secara fizikal atau mental. Perbedaan mental lebih tepat diertikan sebagai
perbedaan seseorang itu menafsir sesuatu dalil al-Qur’an dan al-Sunnah untuk
mengeluarkan sebuah hukum. Ini hanya berlaku terhadap dalil yang bersifat umum
sehingga memungkinkan pemahaman yang berbeda.
2. Faktor sejarah.
Pada zaman para imam mazhab, tidak terdapat suasana yang memudahkan mereka
untuk memperolehi hadis-hadis atau duduk bersama membicarakan sesuatu hal
agama. Para imam mazhab terpaksa berhijrah ke sana sini di seluruh dunia Islam
untuk mencari hadis-hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Suasana ini
ada hubung-kaitnya dengan hukum yang dikeluarkan oleh seseorang imam mazhab itu
di mana setiap daripada mereka akan mengeluarkan pendapat berdasarkan
hadis-hadis yang sempat mereka terima saja.
Sebab Perbedaan penetapan
hukum Mazhab Syafi’i dan Hanafi di tinjau dari Tinjauan Sejarah yakni :
a.
Mazhab Hanafi
Abu
Hanifah belajar fiqih kepada ulama aliran irak (ra’yu). Imam Abu Hanifah
mengajak kepada kebebasan berfikir dalam memecahkan masalah-masalah baru yang
belum terdapat dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Ia banyak mengandalkan qiyas
(analogi) dalam menentukan hukum.
b.
Mazhab
Syafi’i
As-Syafi’i mulai melakukan kajian hukum
dan mengeluarkan fatwa-fatwa fiqih bahkan menyusun metodologi kajian hukum yang
cenderung memperkuat posisi tradisional serta mengkritik rasional, baik aliran
Madinah maupun Kuffah.
Contoh Kasus Istinbat Hukum Para Imam Mazhab :
1.
Mazhab
Syafi’i
Ji’alah hukumnya Jaiz (boleh) dari
dua arah, yaitu arah orang yang merangsang dan yang dirangsang dengan
pemberian.[6]
2. Mazhab Hanafi
Berpendapat bahwa Ju’alah itu tidak
boleh dengan alasan bahwa pengupahan tersebut terdapat unsur penipuan (Gharar),
karena disamakan dengan sewa menyewa yang lain.[7]
3. Mazhab Maliki
Pengupahan (pemberian hadiah) itu
dibolehkan pada sesuatu yang ringan dengan dua syarat : tidak ditentukan
masanya dan upahnya itu jelas dan diketahui.[8]
Penulis
dapat menyimpulkan uraian-uraian diatas adalah sebagai berikut :
1. Sumber Pokok dan Dasar Hukum Islam yaitu
:
a. Al-Qur’an
b. Sunnah
c. Ijma’
d. Qiyas
2. Terdapat pula sumber pendukung yang
dapat dijadikan rujukan dalam menetapkan hukum yang disebut Al-Adillat Al-
Syar’iyah tetapi dalil syara’ tersebut tidak disepakati, yaitu sebagai berikut
:
a. Istihsan
b. Maslahat Mursalah
c. Istishab
d. ‘Urf
e. Syara’ man Qoblana
3. Terdapat Sumber hukum yang digunakan
oleh setiap imam mazhab yang mempunyai urtan berbeda-beda :
1. Imam Hanafi :
a. Alquran
b. Sunnah rasul dan atsar yang shahih yang diriwayatkan
oleh orang orang yang tsiqah.
c. Qaul sahabat.
d. Apabila sahabat ikhtilaf, maka ia akan mengambil
pendapat dari sahabat manapun yang ia kehendaki.
Adapun
sumber hukum ijtihad Abu Hanifah yang bersifat tambahan yaitu :
a. Qiyas jali atas khabar ahad yang dipertentangkan.
b. Istihsan sebagai salah satu sumber hukum
tambahan.
2. Imam Malik :
a. Al-qur’an
b. Sunnah
c. Ijma’
d. Qaul Shahabi
e. Khabar Ahad
f. Istihsan
g. Maslahah Mursalah
3. Imam Syafi’i :
a. Al-qur’an
b. Sunnah
c. Ijma’
d. Qiyas
4. Imam Hanbali :
a. Al-qur’an
b. Sunnah
c. Qaul Shahabi yang tidak bertentangan
d. Hadist Mursal
e. Hadist Dh’if
f. Qiyas
g. Sadz Al-Dzar’iyah
DAFTAR PUSTAKA
Arfa,
Faisar Ananda, Filsafat Hukum Islam, Bandung
: Citapustaka, 2007.
Ilmy,
Bahrul, Pendidikan Agama Islam, Jakarta
: Grafindo Media Pratama, 2006.
An-Na’im,
Abdullah Ahmad, Dekonstruksi Syari’ah,
Yogyakarta : LkiS, 1990.
Syafe’i,
Rachmat, Al-Hadis Aqidah, Akhlaq, Sosial dan Hukum, Bandung : Pustaka Setia,
2000.
Amar,
Imron Abu, Fat-Hul Qarib, Kudus :
Menara, 1982.
Rusyd, Ibnu, Bidayatul Mujtahid Analisa Fiqh Para
Mujtahid, Jakarta : Pustaka Amani, 2007.
[1] Faisar Ananda Arfa, Filsafat Hukum Islam (Bandung :
Citapustaka,2007), hlm. 76-77.
[2] Bahrul Ilmy, Pendidikan Agama Islam (Jakarta :
Grafindo Media Pratama, 2006), hlm.58.
[3] Faisar Ananda Arfa, Op.Cit, hlm. 81-86.
[4] Abdullah Ahmad An-Na’im,
Dekonstruksi Syari’ah (Yogyakarta :
LkiS, 1990), hlm.36.
[5] Rachmat Syafe’i, Al-Hadis Aqidah, Akhlaq, Sosial dan Hukum
(Bandung : Pustaka Setia, 2000), hlm. 28.
[6] Imron Abu Amar, Fat-Hul Qarib (Kudus : Menara, 1982),
hlm. 303.
[7] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Analisa Fiqh Para
Mujtahid (Jakarta : Pustaka Amani, 2007), hlm. 101 dan 102.
[8] Ibid, hlm. 101.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar