Kamis, 29 Desember 2016

Sekilas Mengenai Peradilan Agama


Pengadilan Agama merupakan pengadilan tingkat pertama yang melaksanakan kekuasaan kehakiman. Pengadilan Agama di bentuk dengan Keputusan Presiden. Namun seiring berjalannya waktu dan perkembangan yang terjadi di era globalisasi ini menyebabkan banyak pemikiran-pemikiran yang berkembang serta mengkonstruksi setiap perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat. Mari kita simak perubahan yang terjadi dengan Peradilan Agama Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama sebagai berikut:
UU Nomor 7
Tahun 1989
UU Nomor 3
Tahun 2006
UU Nomor
50 Tahun 2009
Pasal 2:
Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi
rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang
diatur dalam Undang-undang ini.
Pasal 2:
Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.
Tidak Ada Perubahan
Pasal 49 ayat 1:
Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang Islam di bidang:
a.      Perkawinan
b. Kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam
c.       Wakaf dan shadaqah
Pasal 49:
Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang Islam di bidang:
a.      Perkawinan;
b.      Waris;
c.       Wasiat;
d.      Hibah;
e.      Wakaf;
f.        Zakat;
g.      Infaq;
h.      Shadaqah, dan
i.      Ekonomi syari’ah.
Tidak Ada Perubahan
Dapat disimpulkan bahwa dari kedua pasal yang berubah dan sangat menjadi perhatian bahwa kekhususan Peradilan Agama yang diperuntukkan secara spesial bagi orang-orang yang beragama Islam, menjadi bersifat universal dan dapat digaris bawahi bahwa perubahan tersebut tidak menutup kemungkinan bagi orang yang bukan beragama Islam dapat beracara di Pengadilan Agama, hal tersebut ditandai dengan adanya penambahan perkara Ekonomi Syari’ah yang menjadi wewenang Pengadilan Agama.
Adapun kewenangan mengadili dalam Pengadilan Agama yaitu:
Wewenang Mutlak (Kompetensi Absolute) dimana Kompetensi Absolute adalah tugas pokok dari pengadilan, untuk menyelenggarakan kekuasaan kehakiman yaitu menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dapat dikatakan bahwa kompetensi absolute merupakan wewenang pengadilan untuk mengadili jenis perkara, ada pun jenis perkara yang menjadi wewenang Pengadilan Agama tercantum dalam pasal 49 UU Nomor 7 Tahun 1989 yang kemudian di revisi menjadi UU Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama. Misalnya: Perkara perceraian bagi orang-orang yang beragama Islam, maka yang menjadi wewenang untuk mengadili, memeriksa serta memutus perkara tersebut adalah Pengadilan Agama.
Wewenang Nisbi (Kompetensi Relatif) dimana Kompetensi Relatif adalah wilayah hukum pengadilan yang bergantung letak objek perkaranya atau tempat Tergugat tinggal atau domisili yang berwenang memeriksa gugatan pihak yang berperkara. Misalnya: Penggugat/ Termohon berdomisili di Kota Binjai, maka harus mengajukan perkara di Pengadilan Agama Binjai atau Penggugat bertempat tinggal di Kota Binjai namun Tergugat berdomisili di Kota Pematangsiantar maka Penggugat dapat mengajukan perkara di Pengadilan Agama Binjai mohon bantuan panggilan Tergugat kepada Pengadilan Agama Pematangsiantar.





Rabu, 28 Desember 2016

Ju'alah



1.   Pengertian Ju’alah
الجعالة أو الجعل أو الجعلية لغة : هي ما يجعل لللإنسان على فعل شيء أو مايعطاه الإنسان على أمر يفعله[1].  
Ju’alah atau Ju’la atau Ju’liyah menurut bahasa adalah memberikan upah kepada seseorang atas suatu pekerjaan atau upah yang diberikan oleh seseorang atas perintah yang dikerjakan orang lain.
الجعالة وهي أن يشترط على رد ضالته عوضا معلومافإذا ردها استحق ذللك العوض المشروط.[2]
Ja’alah adalah seseorang yang membuat satu ketetapan sebagai imbalan (upah) yang jelas atas penemuan barang yang hilang, kemudian apabila telah ditemukan oleh seseorang tersebut, maka dia berhak meminta imbalan (upah) yang sudah ditentukan itu.
وشرعا : التزام عوض معلوم على عمل معين, أو مجهول, عسر علمه[3]
            Menurut Syari’at Islam adalah penetapan upah yang jelas atas pekerjaan yang ditentukan atau tidak menjelaskan atas kesukaran pekerjaannya.
Dengan demikian, konsep Ju’alah berarti memberikan upah kepada seseorang terhadap suatu perbuatan yang telah diumumkan atau diberitahukan oleh orang yang membuat pengumuman atau pemberitahuan tersebut tentang adanya upah bagi yang mampu melaksanakan tugas atau suruhan dari pihak Ja’il tersebut.
            Menurut Imam Hanbali :
الجعالة و هي أن يجعل جعلاً لمن يعمل له عملاً من رد آبق أو ضالة، أو بناء، أو خياطة، وسائر ما يستأجر عليه من الأعمال فيجوز ذلك[4]
            Ju’alah adalah seseorang yang membuat suatu pekerjaan untuk seseorang yang akan mengerjakan pekerjaannya, seperti menyerahkan budak yang lari, binatang yang tersesat, bangunan, jahitan dan seluruh pekerjaan yang boleh diupahkan.  
Menurut pemahaman penulis ju’alah adalah suatu pemberian upah/imbalan kepada orang yang telah berhasil melaksanakan suatu pekerjaan, akan tetapi apabila suatu pekerjaan yang dikerjakan tersebut tidak berhasil maka tidak akan mendapatkan upah/imbalan. Ju’alah dapat dilaksanakan apabila orang tersebut telah mendengarkan pengumuman ju’alah tersebut. Apabila ju’alah tersebut tidak terdengar maka seseorang tidak dapat melakukan pekerjaan tersebut.
2.   Dasar Hukum Ju’alah
Dalam surah yusuf ayat : 72
قالوا نفقد صواع الملك ولمن جاء به حمل بعير وأنا به زعيم[5]
Artinya : Penyeru-penyeru itu berkata: Kami kehilangan piala Raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya.
Dan selanjutnya dalam hadist yang di riwayat oleh Imam Bukhari, sebagai berikut :
عن أبي سعيد الخدري : انطلق نفر من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم في سفرة سافروها حتى نزلوا على حي من احياء العرب فاستضافوهم فابوا ان يضيفو هم، فلدغ سيد ذلك الحي فسعوا له بكل شئ، لا ينفعه شئ، فقال بعضهم: لو أتيتم هؤلاء الرهط الذين نزلوا لعله ان يكون عند بعضهم شئ، فاتو هم فقالوا: يا ايها الر هط,  إن سيدنا لدغ, وسعينا له بكل شئ لا ينفعه, فهل عند احد منكم من شئ؟ فقال بعضهم :نعم, والله إنى لا رقى لكن والله لقد استضفناكم فلم تضيفونا, فما انا براق لكم حتى تجعلوا لنا جعلا، فصالحوهم على قطيع من غنم, فانطلق يتفل عليه، ويقرأ : الحمد لله رب العالمين، فكأنما نشط من عقال، فانطلق يمشى وما به قلبة، قال فاوفواهم جعلهم الذى صالحوهم عليه، فقال بعضهم : اقتسموا، فقال الذى رقى: لا تفعلوا حتى نأتى النبي صلى الله عليه وسلم فنذكر له الذي كان، فننظر ما يأمرنا، فقدموا على النبي صلى الله عليه واسلم فذكروا له ذلك فقال: وما يدريك أنها رقية, ثم قال: قد اصبتم اقسموا, واضربوا إلى معكم سهما، فضحك النبي صلى الله عليه وسلم
Dari Sa’id r.a. dia berkata : sekelompok sahabat-sahabat Nabi SAW berangkat musafir. Dalam perjalanan yang mereka tempuh, mereka mampir ke suatu desa dari desa-desa arab. Kemudian mereka minta di jamu oleh penduduk desa tersebut tapi penduduk desa tersebut menolak. Kemudian kepala desa tersebut di patuk ular, setelah berusaha mengobatinya dengan berbagai macam cara dan obat tetapi tidak sembuh juga, diantara mereka berbicara :”Datangilah rombongan yang mampir tadi, siapa tahu mereka bisa mengobatinya”. Kemudian datanglah penduduk desa kepada rombongan itu dan berkata :”Wahai para rombongan, sesungguhnya kepala desa kami di patuk ular dan kami sudah berusahauntuk mengobatinya tapi belum sembuh juga, adakah diantara kalian yang mampu mengobatinya?”, mereka (rombongan) menjawab :”Iya (ada) demi Allah sesungguhnya kami bisa mengobatinyatapi karena kalian tidak mau menjamu kami, maka kami pun tidak mau mengobatinya, sehingga kalian mau membayar kepada kami sebagai upah”. Maka sepakatlah mereka dengan upah lebih kurang 100 ekor kambing. Kemudian berangkatlah seseorang kepada kepala desa lalu meludahi dan membaca Al-hamdulillahirabbil’alamin. Maka seolah-olah laksana melepaskan sebuah tali, kemudian bangkit si kepala desa, berjalan dan tidak kambuh lagi seraya berkata : “bayarlah upah mereka yang sudah disepakati”. Dan upah tersebut diterima oleh rombongan, kemudian berkata diantara mereka : “Bagilah”, maka berkata orang yang mengobati : “Jangan kalian lakukan sebelum kita datang kepada Nabi dan menceritakan apa yang sudah terjadi dan kita tunggu apa tindakannya. Maka merekapun menghadap Rasullullah dan menceritakannya. Kemudian Nabi bersabda : “Kalian benar, bagilah dan masukkanlah aku dalam pembagian kalian beberapa ekor kambing” dan Nabi SAW pun tertawa.
Ayat dan hadist tersebut menyatakan bahwa pelaksanaan ju’alah bersifat tolong menolong, dimana seseorang yang membutuhkan pertolongan dan mengumumkan kepada orang lain agar dapat membantunya dalam suatu pekerjaan dan dalam hal itu terdapat upah/imbalan bagi seseorang yang mampu untuk menyelesaikan suatu pekerjaan tersebut. Dengan demikian, telaksanalah akad ju’alah tersebut.
Menurut Imam Syafi’i :
يجوز عقد الجعالة وهو ان يبذل الجعل لمن عمل له عملا[6]         
Akad ju’alah boleh, yaitu seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain yang telah mengerjakan pekerjaannya.
3.   Rukun Dan Syarat Ju’alah
Adapun rukun dan syarat ju’alah sebagai berikut :
a.    Akad
Lafaz akad dalam ju’alah merupakan suatu ketetapan dengan sebab adanya sesuatu keinginan (kehendak) maka tidak ada ju’alah kecuali adanya lafaz dari seseorang yang sudah tertera dalam ketetapan, seumpamanya lafaz atas keizinan suatu pekerjaan dengan upah yang jelas.
Akad dalam berju’alah tidaklah disyaratkan harus dengan lafaz tertentu. Keadaan ‘urf masyarakat bisa dijadikan pedoman untuk menetapkan bagaimana lafaz yang boleh di pergunakan dalam pelaksanaan ju’alah, sepanjang ‘urf itu tidak bertentangan dengan ketentuan agama.[7]
Apabila seseorang mengerjakan suatu pekerjaan tanpa izin atau perintah, maka tidak ada haknya untuk menuntut upah atau ganti yang sesuai karena pekerjaan yang dilakukan tanpa izin tersebut dapat digolongkan kepada pekerjaan yang suka rela.
            Dan apabila ju’alah itu mubham (tidak ditentukan) kepada seseorang, cukuplah pemberitahuannya dengan seruan.
            Imam Mawardhi berkata apabila ada seseorang yang berkata : “Siapa yang mendatangkan budakku yang lari, maka untuknya satu dinar”. Maka siapapun yang mendapatkannya baik laki-laki ataukah perempuan, anak-anak ataukah budak, berakal ataukah gila, berhak menuntut upah, karena mendengar seruan atau mengetahui adanya seruan itu. Karena dalam lafaz “Siapa yang mendatangkan” memberi pengertian umum termasuklah mereka.[8]
b.   Ja’il
Ja’il (Orang yang menjanjikan upah/ pelaksana yang memberikan tugas). Orang yang menjanjikan upah/hadiah haruslah orang yang cakap untuk melakukan tindakan hukum yaitu : baligh, berakal, dan cerdas. Jika orang tersebut kanak-kanak, orang gila, atau orang yang berada dalam pengampuan, maka ju’alah tersebut tidak sah.
Pihak ja’il bisa perorang yang mempunyai suatu hubungan langsung dengan obyek yang di ju’alahkan, seperti seseorang yang kehilangan suatu benda, dan bisa pula pihak lain yang tidak punya hubungan pemilikan terhadap sesuatu obyek yang diju’alahkan. Di samping itu, ja’il bisa pula berbentuk lembaga, seperti yang banyak terjadi pada masa sekarang. Dengan demikian, hadiah yang diberikan dalam kegiatan ju’alah ini bisa diberikan oleh pihak pelaksana sendiri ataupun pihak lain.
Pihak yang melakukan ju’alah, yakni orang-orang yang aktif sebagai peserta, disesuaikan dengan kondisi yang ada. Untuk masa sekarang banyak pula kegiatan sayembara yang di peruntukkan bagi anak-anak, seperti dalam perlombaan untuk tingkat anak-anak, sebagaimana banyak pula kegiatan sayembara untuk orang yang sudah dewasa.
Syafi’iyah menambahkan bahwa tidak sah ju’alah itu dilakukan oleh anak kecil, orang gila, safih dan apabila pelaksanaan ju’alah itu ditentukan, menurut Imam Subki maka harus orang yang mahir bekerja (professional) termasuklah budak, anak-anak yang ahli tanpa izin majikannya.[9]Namun, pelaksanaan ju’alah untuk masa sekarang, banyak berbagai perlombaan ditujukan kepada anak-anak, seperti dalam pelaksanaan MTQ terdapat cabang tilawah Qur’an golongan anak-anak.
c.    Jenis Pekerjaan
Pekerjaan yang dilaksanakan harus mengandung manfaat yang jelas. Jika perbuatan yang dilaksanakan merupakan perbuatan yang haram seperti perbuatan yang erotis, maka ju’alah tidak sah, sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S Al-Maidah : 2 :
ولا تعاونوا على الإثم والعدوان[10]
“Jangan kamu tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”. (Al-Maidah :2)
Obyek ju’alah mestilah berupa perbuatan yang mubah, seperti mencari barang yang hilang, dan tidak dibolehkan melakukan ju’alah pada lapangan yang tidak boleh dilakukan oleh agama.
d.   Imbalan/Upah
Untuk sahnya ju’alah harus upah yang jelas. Maka apabila ada upah yang tidak jelas, maka akadnya batal di karenakan tidak ada suatu pengganti.
Upah dalam berju’alah bagi pihak yang menang haruslah berbentuk materi ataupun jasa. Dalam ju’alah upah akan diberikan setelah pekerjaannya selesai dan hasilnya sudah dapat dilihat.
4.   Hal-Hal Yang Membatalkan Ju’alah
Adapun hal-hal yang dapat membatalkan Ju’alah adalah sebagai berikut :
a.      Salah satu pihak membatalkan akad sebelum menyempurnakan pekerjaan.
b.      Pekerja meninggalkan pekerjaannya tanpa ada alasan yang pasti, maka gugur ia mendapatkan haknya.
c.       Pihak ja’il membatalkan ju’alahnya, maka pekerja yang belum bekerja tidak mengharuskan pihak ja’il memberikan upah.[11]
d.      Meninggalnya pihak ja’il, karena tidak ada sesuatu (upah) bagi pekerja atas apa yang dikerjakannya apabila meninggalnya pihak ja’il.[12]
5.   Hikmah Di Syari’atkannya Ju’alah
Ju’alah merupakan akad yang sangat manusiawi dan banyak hikmah yang dapat diambil dari Ju’alah tersebut. Adapun hikmah di syari’atkannya Jua’alah adalah sebagai berikut :
1.      Membantu mengembalikan sesuatu yang berharga. Baik itu berupa materi (barang yang hilang) atau mengembalikan kesehatan atau membantu seseorang menghafal Al-Qur’an.
Firman Allah SWT sebagai berikut dalam Al-Qur’an Surah Al-Maidah (5) ayat 2 :
و تعاو نوا على البر و التقوى صلى ولا تعاونوا على الاثم والعدوان  واتقوا الله  ان الله شديد العقاب
"Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya".(Q.S. Al-Maidah : 2)
2.      Dapat memperkuat persaudaraan dan persahabatan, menanamkan sikap saling menghargai dan akhirnya tercipta sebuah komunitas yang saling tolong-menolong dan bahu-membahu.
3.      Akan terbangun suatu semangat dalam melakukan sesuatu bagi para pekerja.
4.      Suatu pekerjaan yang baik, Islam mengajarkan bahwa Allah selalu menjanjikan balasan berupa surga bagi mereka yang mau melaksanakan perintahnya, seseorang akan memperoleh pahala dari pekerjaan yang baik yang ia kerjakan.
Firman Allah SWT dalam Surat Al-Zalzalah ayat 7 :                     
فمن يعمل مثقال ذرة خيرا يره [13]
Artinya :
“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan) nya.” (Al-Zalzalah : 7)
5.      Memacu prestasi dalam suatu bidang yang disayembarakan (dilombakan).
6.      Adanya penghargaan terhadap suatu prestasi dari pekerjaan yang dilaksanakan.











[1]Wahbah Zuhaili, Fiqh al-Islamiy Wa Adilatuhu, Juz V, h. 3864.
[2]Taqiyuddin Abi Bakri Bin Muhammad Husaini Khusni Dimasqi as-Syafii, Kifayatul Akhyar, Juz I (Beirut : Darul Khoir, 1417 H), h. 357.
[3]Syamsuddin Muhammad Bin Ahmad al Khatib as Syarbaini, Mugni Muhtaj, Juz II (Beirut : Darul Fikri, 1430 H), h. 582.
[4]Abi Muhammad  Muawafiquddin Abdullah Bin Qudamah al-Miqdisi, Al-Kafi Fi Fiqhul Imamul Habbali Ibnu Hanbali, Juz II (Tanpa Tempat : Maktabah Islami, t.t), h. 186.
[5]Depertemen Agama R.I, Al Quran Dan Terjemahannya (Bandung : Sygma Examedia Arkanleema, 2009), h. 244.
[6]Imam Abi Ishaq Ibrahim As Syairazi, Al Muhazzab Fi Fiqh Imam Syafii, Juz II (Beirut : Darul Marifah), h. 437.
[7]Helmi Karim, Fiqh Muamalah (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2002), h. 47-48.
[8]Syamsuddin Muhammad Bin Ahmad Al Khatib As Syarbaini, Al Mugni Al Muhtaj, h. 583.
[9] Ibid. 583.
[10]Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin as-Suyuthi, Tafsir Jalalin Berikut Asbaabun Nuzuul Ayat Surat Al-Fatihah s.d. Surat Al-An’am, Jilid I (Bandung :Sinar Baru Algensindo, 1996), h. 446.
[11]Imam Abi Zakariya Mahyuddin Bin Syaraf an-Nawawi, Al Majmu Syarah Al Muhazzab, Juz XV (Beirut : Darul Fikri, 1421 H), h. 459.
[12]Mahyuddin Yahya Bin Syaraf Abi Zakariya an-Nawawi, Roudhah At Thalibin, Juz IV (Beirut : Darul Fikri, 1426 H), h. 438
[13]Departemen Agama RI, Mushaf Al-Quran Al-Karim, h. 599.