Rabu, 28 Desember 2016

Pembukuan Al-Qur'an Pada Masa Nabi, Sahabat dan Setelah Sahabat



BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Al-qur’an adalah suatu kitab suci, sumbernya berasal dari zat yang Maha Tinggi, Maha Tahu, Maha Hakim, Maha Berkuasa dan Maha Bijaksana, yaitu Allah SWT. Al-qur’an diturunkan kepada nabi Muhammad SAW dengan perantaraan malaikat-Nya Jibril. Susunan ayat-ayatnya begitu harmonis, dirangkaikan dalam sastra Arab yang menakjubkan manusia yang berpredikat sastrawan. Kerapian susunan ayat-ayat al-Qur’an tidak dapat dibandingkan dengan tulisan apapun, meskipun dengan karangan pujangga-pujangga kenamaan.
Adapun yang dimaksud dengan turun (dalam Bahasa Arab disebut nuzul), menurut bahasa Arab artinya berpindah tempat dari atas ke bawah. Apabila kata “nuzul” dirangkaikan dengan al-Qur’an sehingga menjadi nuzul al-Qur’an (turunnya al-Qur’an), sedangkan al-Qur’an adalah kalam al-qadim yang berdiri pada zat Allah SWT, maka akan menimbulkan pemahaman yang keliru bagi semnetara orang. Kekelituan ini adalah menempatkan Allah pada suatu tempat dan manusi di tempat yang lain.
Adapun cara malaikat menerima lafadz al-Qur’an dan menurunkannya terdapat perbedaan pendapat para ulama. Dalam hal ini ada keterangan yang menyebutkannya, boleh jadi malaikat menurunkan al-Qur’an kepada Nabi Muhammad SAW, menerimanya dari Allah SWT dengan cara yang tertentu yang kita tidak dapat menggambarkannya atau malaikat itu menghafalnya dari Lauh al-Mahfuz di atas langit yang ketujuh. Dan sesudah dihafal di Lauh al-Mahfuz itu malaikat pun menurunkannya, kemudian menghujamkan ke dalam jiwa Nabi SAW. Demikian kata al-Thibi sebagaimana dikutip Hasbi al-Shaddiqy.[1]
Allah SWT telah menurunkan al-Qur’an sampai kepada Nabi Muhammad SAW melalui 3 periode, yaitu:
1.      Al-Qur’an diturunkan ke langit dunia (sama’ al-dunya) pada malam al-qadr sekaligus. Setelah itu diturunkan berangsur-angsur dalam waktu 20 tahun atau 23 tahun atau 25 tahun. Berdasarkan kepada perbedaan pendapat tentang berapa lama Nabi SAW bermukim di Makkah setelah beliau diangkat menjadi Rasul.
2.      Al-Qur’an diturunkan ke langit dunia dalam 20 kali lailatul qadar dalam 20 tahun atau 23 kali lailatul qadar dalam 23 tahun atau dalam 25 kali lailatul qadar dalam 25 tahun.
Pada tiap-tiap malam diturunkan ke langit dunia sekedar yang hendak diturunkan dalam tahun itu kepada Nabi Muhammad SAW dengan cara berangsur-angsur.
Permulaan turun al-Qur’an ialah di malam lailatul qadar, kemudian diturunkan sesudah itu dengan berangsur-angsur dalam berbagai-bagai waktu.[2] Hikmah atau rahasia al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur sebagai berikut:
1.      Untuk memudahkan Nabi Muhammad SAW beserta para sahabatnya untuk menghafalnya, karena al-Qur’an diturunkan kepada nabi yang ummi, yaitu yang tidak dapat membaca dan tidak dapat menulis. Pentahapan ini merupakan kemudahan bagi nabi untuk menghafalnya dan juga bagi para sahabatnya.
Dalam Surah al-Furqan/25 ayat 32:
وقال الذين كفروا لولا نزل عليه القرء ن جملة وحدة ج كذ للك لنثبت به فؤادك صلى ورتلنه ترتيلا

Dalam kaitannya dengan keterangan diatas, al-Zarkasyi mengatakan bahwa yang dimaksud dengan linussabita bihi fuadaka, yaitu untuk memudahkan Nabi Muhammad SAW menghafalnya.
2.      Untuk disesuaikan dengan situasi dan kondisi dengan kemantapan dan keberhasilan tugas Rasul dalam mengubah kebiasaan Jahiliyah yang buruk. Dalam hal ini, termasuklah seperti suatu ayat yang diturunkan untuk menjawab pertanyaan atau membantah suatu pendapat.[3]

B.       Rumusan Masalah
Dari uraian diatas penulis dapat merumuskan masalah sebagai berikut:
a.       Bagaimana Penulisan/ Pembukuan Al-Qur’an Pada Masa Nabi Muhammad SAW?
b.      Bagaimana Penulisan/ Pembukuan Al-Qur’an Pada Masa Sahabat?
c.       Bagaimana Penulisan/ Pembukuan Al-Qur’an Pada Masa Setelah Sahabat?

C.      Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
a.       Untuk Mengetahui Penulisan/ Pembukuan Al-Qur’an Pada Masa Nabi Muhammad SAW.
b.      Untuk Mengetahui Penulisan/ Pembukuan Al-Qur’an Pada Masa Sahabat.
c.       Untuk Mengetahui Penulisan/ Pembukuan Al-Qur’an Pada Masa Setelah Sahabat.

BAB II
PEMBAHASAN
A.      Penulisan/ Pembukuan Al-Qur’an Pada Masa Nabi Muhammad SAW
Ayat-ayat al-Qur’an diturunkan kepada Nabi, kemudian beliau menghafalnya dan membacakannya kepada sahabat serta menyuruh mereka menghafalnya dan menyuruh para penulis wahyu untuk dapat menuliskannya. Pada tiap kali turun ayat, Nabi menerangkan tempat meletakkan ayat itu. Dalam hal ini Nabi katakan umpamanya, “Letakkan ayat ini sesudah ayat itu”. Kemudian kalau ayat al-Qur’an yang diturunkan itu telah cukup satu surat, maka Nabi SAW memberikan nama kepada surat itu. Sejarah mencatat bahwa pada masa awal-awal kehadiran agama Islam, bangsa arab tergolong kepada bangsa yang buta aksara. Kalaupun ada yang bisa baca dan tulis, itu hanya beberapa orang saja yang dapat dihitung dengan jari tangan. Kebutaaksaraan bangsa Arab dan keummian Nabi Muhammad SAW tegas-tegas diakui dalam ayat dibawah ini:
هوالذين بعث الأمين رسول منهم يتلوا عليهم ءايته ويزكيهم ويعلمهم الكتب والحكمة وإن كانوا من قبلوا لفى ضلل مبين
Dia-lah (Allah) yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang rasul dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Qur’an) dan hikmah. Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar (berada) dalam kesesatan yang nyata. (QS. Al-Jumu’ah(62): 2).[4]
Selanjutnya dapat dijelaskan bahwa di kalangan para sahabat terdapat banyak yang menghafal al-Qur’an, di antara mereka banyak pula yang menulisnya. Ketika Rasul masih hidup, al-Qur’an belum dikumpulkan di dalam mushaf (sebuah buku yang berjilid) yang kita lihat sekarang. Hal ini adalah disebabkan karena kertas pada waktu itu belum ada. Para sahabat di masa Nabi SAW menulis al-Qur’an pada kepingan-kepingan tulang, pelepah-pelepah kurma dan pada batu-batu.[5]
1)      Penulisan Al-Qur’an Pada Masa Rasulullah
Suatu kebiasaan Rasulullah ketika al-Qur’an diturunkan, maka yang pertama beliau lakukan adalah mengumpulkan para sahabatnya. Kedua mencari sahabat yang mampu menulis di kalangan mereka dan menugaskannya menulis ayat yang disampaikan itu untuk disimpan di rumah Rasul SAW. Sahabat yang tidak ditugaskan Rasul SAW, menulis wahyu untuk beliau tetapi merasa mampu menulis, maka mereka menulis wahyu untuk diri mereka pribadi. Sahabat yang tidak pandai menulis memadakan hafalannya.
Beliau memerintahkan para sahabat yang dipercayainya sebagai penulis wahyu untuk menuliskan wahyu yang turun kepada Rasullulah di atas pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit kayu, dan tulang belulang hewan. Semua ayat yang turun ditulis teratur seperti yang Allah wahyukan, tetapi semua wahyu tersebut belum terhimpun dalam satu mushaf. [6]
Para penulis yang ditunjuk Rasul saw disebut Kuttab al-Wahyi. Tulisan pada setiap wahyu yang disampaikan Rasul saw terbagi ke dalam 3 kelompok, yaitu:
a.         Tulisan yang disimpan dirumah Rasul saw
b.         Catatan Kuttab al-Wahyi yang disimpan dirumah masing-masing
c.         Catatan yang ditulis oleh sahabAt yang tidak digolongkan sebagai Kuttab al-Wahyi yang juga disimpan dirumah masing-masing.
Kuttab al-Wahyi yang ditunjuk oleh Rasul SAW yang terpopuler adalah:
1.         Abu Bakar As-Shiddiq (w. 13 H)
2.         Umar bin Khattab (w. 23 H)
3.         Usman bin Affan (w. 35 H)
4.         Ali bin Abi Thalib (w. 40 H)
5.         Zaid bin Tsabit (w. 45 H): Paling banyak menulis wahyu untuk Rasul.
6.         Ubai bin Ka’ab (w. 30 H): Suku Anshar di Kota Madinah
7.         Mu’awiyah bin Abi Sufyan (w. 60 H): Paling banyak menulis untuk Rasul
8.         Khalid Ibn al-Walid (w. 21 H)
9.         Aban bin Sa’id (w. 13 H)
10.     Sabit bin Qais (w. 12 H)
Di dalam Kitab as-Sirah yang ditulis al-‘Iraqi jumlah penulis itu empat puluh dua orang. Diantara mereka ada yang bernama Abdullah bin Sa’ad bin Sarh al-‘Amiri. Ia adalah orang yang pertama kali menjadi penulis dari kalangan suku Quraisy di kota Makkah.[7]
Untuk menjaga orisinalitas Al-Qur’an, Rasulullah memerintahkan para sahabat untuk tidak menuliskan sesuatu pun yang berasal dari mulut beliau kecuali Al-Qur’an. Hal ini sangat wajar dan tepat karena tidak ada yang bisa menjamin bahwa Hadits dan Al-Qur’an tidak bercampur aduk satu sama lainnya sehingga untuk mencegah hal ini maka Rasullulah dengan petunjuk Allah melarang penulisan apapun dari Rasulullah kecuali Al-Qur’an.[8]

B.       Penulisan/ Pembukuan Al-Qur’an Pada Masa Sahabat
a.      Masa Abu Bakar As-Shiddiq dan Umar bin Khattab
Setelah Rasulullah SAW wafat yaitu pada 12 Rabiul Awal tahun 10 Hijriah dalam usia 63 tahun. Pemerintah dipegang oleh Abu Bakar r.a. Pada tahun pertama kepemimpinanny, bergeraklah Musailamah al-Kazzab (si pendusta) di daerah Yamamah mengatakan dirinya sebagai Nabi. Setelah Abu Bakar mengetahui tindakan Musailamah itu, Abu Bakar segera mengambil tindakan untuk memeranginya dengan menyiapkan pasukan tentara yang terdiri dari 1000 pengendara kuda yang dipimpin oleh Khalid ibn Walid. Dalam peperangan Yamamah tersebut, telah mati syahid sebanyak 700 penghafal Al-qur’an (para qurra’). Kecuali itu, Musailamah juga mati terbunuh dalam peperangan itu.
Memperhatikan keadaan para sahabat penghafal al-Qur’an banyak yang mati terbunuh dalam peperangan Yamamah, maka timbullah gagasan Umar ibn Khattab dan mengusulkan kepada khalifah Abu Bakar supaya Al-qur’an yang masih bertaburan itu supaya dikumpulkan dan ditulis karena khawatir kalau pembunuhan seperti ini kian meluas meliputi para qari’ pada peperangan lainnya, akan hilanglah al-Quran kalau hanya dihafal saja.
Permintaan Umar ibn Khatab tersebut disetujui Abu Bakar. Selanjutnya khalifah Abu Bakar memrintahkan kepada Zaid ibn Tsabit untuk memeriksa al-Qur’an dan mengumpulkan kepingan-kepingan yang ada tulisan al-Qur’an. Karena sebab-sebab tersebut, Abu Bakar memerintahkan Zaid untuk menyusun Al-Qur’an atas pertimbangan bahwa ia adalah penghafal Al-Qur’an dan sekretaris Rasulullah SAW. Pengumpulan dilakukan dengan bersumber pada catatan-catatan dan hafalan, dengan dikuatkan oleh dua saksi.[9]
Pada mulanya Zaid pun tidak mau melakukan tugas pengumpulan naskah-naskah al-Qur’an itu karena hal itu belum pernah dilakukan oleh Rasulullah. Malah Zaid bin Tsabit mengatakan andaikata ia disuruh memindahkan bukit, maka tidaklah lebih berat daripada tugas mengumpulkan naskah-naskah al-Qur’an yang berserakan di rumah para sahabat. Namun karena alasan demi kelestarian al-Qur’an itu sendiri yang diberikan oleh khalifah dan Umar bin Khattab akhirnya Zaid bin Tsabit menerima tugas itu.[10]
Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan pengumpulan (kompilasi) ayat-ayat al-Qur’an itu, khalifah Abu Bakar mengumumkan bahwa “Barangsiapa yang menyimpan atau memiliki teks ayat al-Qur’an yang ditulis di hadapan Nabi supaya membawanya ke Masjid dan menyerahkannya kepada Zaid bin Tsabit”.
Abu Bakar Berkata:
اقعد على باب المسجد فمن جاء كما بشاهدين على شئ من كاتب الله فاكتباه[11]
Duduklah kalian di pintu masjid siapa yang datang kepada kalian membawa catatan al-Qur’an dengan dua saksi, maka catatlah”.
Begitu juga Umar bin Khattab berdiri di depan masjid menyeru orang yang lewat untuk menyerahkan teks-teks itu kepada Zaid bin Tsabit. Di samping itu, ada beberapa sahabt yang berkeliling Madinah menyerukan maksud yang sama. Kemudian Zaid ibn Tsabit dalam rangka pemenuhan tugas ini berusaha mendatangi orang-orang yang menghafal al-Qur’an.
Sekalipun sejumlah riwayat memberikan pujian dan kebajikan ter­hadap Zaid, terdapat satu riwayat yang cenderung mengurangi kebaikannya. Dikatakan bahwa ‘Abdullah Ibn Mas’ud marah kepada Zaid, kemu­dian ia berkata:
والله,لقد اسلمت وانه لفى صلب رجل كفر
Demi Allah, sesungguhnya aku sudah menjadi seorang Muslim sementara dia masih berada di dalam sulbi seorang laki-laki kafir!
Kemudian Ibn Mas’ud menegaskan bahwa Zaid tidak memiliki peranan dalam pengumpulan Al-Qur’an di masa Abu Bakar dan Usman. Akan tetapi ada pula yang membela serangan tersebut. Menurut pendukung Zaid, betul Ibn Mas’ud lebih dulu masuk Islam dibanding Zaid, tetapi Zaid lebih dulu hafal Al-Qur’an daripada Ibn Mas’ud. Zaid telah hafal Al-Qur’an ketika Rasulullah SAW masih hidup, sedangkan ketika itu Ibn Mas’ud baru hafal sekitar 70 surat, dan sisasanya dihafal setelah Rasullah SAW wafat. Bahkan menurut sebagian imam, Ibn Mas’ud tidak hafal seluruh ayat Al-Qur’an hingga wafat. Hal ini, menurut al-Qurtubi, masih diperselisihkan.[12]
Dalam pengumpulan ayat-ayat al-Qur’an ini khalifah Abu Bakar memberi arahan agar yang diterima adalah hanya yang ditulis atau dicatat di hadapan Nabi saja. Bukan yang salinan. Begitupun sebuah teks ayat al-Qur’an, untuk menjaga keasliannya harus disertai dengan dua orang saksi. Demikian pula, meskipun Zaid bin Tsabit hafal seluruh al-Qur’an seutuhnya, dia dilarang oleh khalifah untuk menuliskan teks baru dari hafalannya, melainkan harus berdasarkan teks tertulis.
Dari usaha tersebut terkumpullah al-Qur’an, yaitu pengumpulan ayat-ayat yang tertulis diatas tulang, pelepah dan kepingan batu, kemudian disalin diatas kulit yang telah dimasak, serta disimpan dalam arsip kenegaraan di bawah pengawasan Khalifah Abu Bakar. Kompilasi hasil pekerjaan Zaid bin Tsabit ini belum dapat disebut mushaf karena baru beberapa lembaran-lembaran kertas kulit yang ukurannya pun tidak sama, Cuma ditumbuk, diikat belum dijilid dan tidak tersusun rapi. Namun, sudah lengkap dan susunan ayat dan surahnya sudah seperti yang ditunjukkan oleh Rasulullah SAW. Sebelum meninggal Abu Bakar berpesan dan mmepercayakan mushaf al-Qur’an yang disimpan sebagai arsip kenegaraan kepada Umar bin Khattab, yang kemudian menggantikannya menjadi khalifah.[13]Zaid ibn Tsabit menyempurnakan pentajwidan shuhuf dimasa Abu Bakar.
Lembaran-lembaran yang dikumpulkan dalam satu mushaf pada masa Abu Bakar memililki beberapa keistimewaan yang terpenting:
1.      Diperoleh dari hasil penelitian yang sangat mendetail dan kemantapan yang sempurna.
2.      Yang tercatat dalam mushaf hanyalah bacaan yang pasti, tidak ada nasakh bacaannya.
3.      Ijma’ umat terhadap mushaf tersebut secara mutawatir bahwa yang tercatat adalah ayat-ayat Al-Qur’an.
4.      Mushaf mencakup qiraat sab’ah yang dinukil berdasarkan riwayat yang benar-benar sahih.
Ali berkata, “Orang yang paling berjasa dalam hal Al-Qur’an ialah Abu Bakar r.a. Ia adalah orang yang pertama kali mengumpulkan Al-Qur’an.[14]
Setelah Abu Bakar wafat, shuhuf-shuhuf tesebut dipegang oleh Khalifah Umar dan dia menyuruh menyalin al-Qur’an dari shuhuf-shuhuf itu pada suatu shahifah (lembaran). Umar bukan hanya menyimpan dan menjaga dengan baik naskah al-Qur’an yang dipercayakan kepadanya, tetapi juga menggiatkan pengajaran al-Qur’an, hingga melewati batas jazirah ke negeri-negeri sekitar yang telah beriman, mengikuti ajaran Rasulullah. Beliau mengutus 10 orang ke Basra untuk mengajarkan al-Qur’an. Begitu juga Ibnu Mas’ud seorang sahabat yang hafal al-Qur’an untuk mengajar ke Kufah. Para sahabat yang diutus ini diberi pesan agar mengajarkan al-Qur’an bukan berdasarkan hafalan, tetaoi berdasar  teks-teks tertulis agar terhindar dari kealpaan terhadap hafalan.
Pada kesempatan berikutnya khalifah Umar bin Khattab juga mengirim sejumlah sahabat untuk mengajarkan al-Qur’an ke Suriah, Palestina, dan Damaskus. Di tempat-tempat ini orang mengikuti pengajaran mencapai jumlah ribuan orang. Demikian juga di tempat-tempat lain tempat-tempat yang baru dikuasai pada zaman itu.
Di ibu kota sendiri, Madinah, Umar bin Khattab menugasi beberapa sahabat untuk mengajarkan al-Qur’an kepada anak-anak. Para guru ini diberi gaji perbulan 15 dirham. Kiranya inilah juga salah satu upaya khalifah Umar bin Khattab untuk menjaga keaslian al-Qur’an.
Setelah Umar wafat, karena ditikam oleh seorang budak Kristen dari Persia pada akhir 23 H, naskah al-Qur’an disimpan pada Hafsah. Setidaknya ada dua alasan mengapa naskah itu tidak diserahkan kepada Usman Khalifah ketiga, yaitu pertama karena Hafsah putri Umar dan kedua karena hafsah adalah juga istri Rasulullah saw.[15]
b.      Masa Usman bin Affan
Selanjutnya pada masa khalifah Utsman ibn Affan, yaitu setelah beberapa tahun berjalannya pemerintahan dilakukan usaha untuk menggerakkan para sahabat guna peninjauan kembali shuhuf-shuhuf yang ditulis oleh Zaid ibn Tsabit. Ide ini timbul karena melihat hebatnya perselisihan masalah qira’at pada daerah-daerah Islam yang baru dapat dikuasai. Ummat Islam perlu diselamatkan sebelum mereka berselisih dalam al-Qur’an.
Kemudian Utsman ibn Affan segera meminta kepada Hafsah istri Nabi agar dapat memberikan shuhuf-shuhuf yang ada padanya untuk disalin ke dalam beberapa mushaf dan setelah itu akan dikembalikan lagi shuhuf-shuhuf itu kepada hafsah. Khalifah Utsman bin Affan menyuruh Zaid bin Tsabit, Abdullah Ibn Zubair, Zaid Ibn Ash dan Abdurrahman Ibn Haris Ibn Hisyam menyalin dari shuhuf-shuhuf itu beberapa mushaf. Tindakan Utsman mengumpulkan kembali mushaf adalah atas usul Ali bin Abi Thalib. Selanjutnya Utsman menyampaikan bahwa apabila terjadi perselisihan qira’at antara mereka, hendaklah ditulis menurut qira’at orang Quraisy kerena al-Qur’an diturunkan dengan bahasa mereka.
Setelah mereka selesai melaksanakan pekerjaan tersebut, shuhuf-shuhuf Hafsah pun dikembalikan oleh Utsman kepada Hafsah dan selain mushaf yang telah ditulis oleh badan yang terdiri dari dari empat orang itu yaitu Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin Ash dan Abdurrahman bin Harits bin Hisyam, diperintahkan oleh Utsman supaya dibakar. Di masa Abu Bakar dan Umar masing-masing penulis mushaf memegang tulisannya.
Tujuan Khalifah Utsman dari penulisan kembali ke dalam mushaf serta membakar yang lain-lain hanyalah untuk menyatukan umat terhadap qira’at-qira’at yang diterima dari Nabi SAW serta membatalkan yang lainnya. Kecuali itu, Utsman juga bermaksud supaya umat memegangi mushaf yang telah tersusun sempurna buat menolak kerusuhan-kerusuhan yang timbul diakibatkan karena perbedaan qira’at.[16]
Khalifah Usman menetapkan bila terjadi perbedaan pendapat di antara lajnah (qira’at), maka yang dipedomani adalah pendapat anggota yang berasal dari suku Quraisy. Menurut sejarah mereka tidak ada berbeda pendapat kecuali hanya pada satu kata      التا بوت
وقال لهم نبيهم إن ءاية ملكم أن يأ تيكم التا بوت[17]
Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja, ialah datangnya tabut kepadamu

c.         Penulisan/ Pembukuan Al-Qur’an Pada Masa Setelah Sahabat
Mushaf Usmani yang tidak dilengkapi dengan tanda harakat dan titik untuk membedakan bunyi konsonan yang hurufnya sama, pada mulanya tidak bermasalah. Namun, setelah banyaknya orang ajam (bukan orang Arab) dan tidak berbahasa Arab yang memeluk agama Islam, maslah kesalahan dan kesulitan membacatimbul kembali karena mereka tidak memahami makna kata dan kalimat dalam al-Qur’an itu. Hal ini berlangsung hampir 40 tahun lamanya, sampai pada suatu saaat Khalifah Muawiyah bin Abu Sofyan terkejut mengetahui Ubaidillah (putra Ziyad bin Abihi, gubernur Basrah) yang banyak sekali melakukan kesalahan dalam membaca. Maka khalifah meminta kepada Ziyad untuk menugasi Abul Aswad Ad-Duali (w. 69 H), seorang pakar tata bahasa Arab untuk mengatasi masalah ini. Ziyad langsung menyurati Abul Aswad Ad-Duali dan mengatakan: “Orang-orang muslim non-Arab telah semakin banyak dan telah merusak bahasa Arab, maka cobalah anda menuliskan sesuatu yang dapat memperbaiki bahasa orang-orang itu, dan dapat membuat mereka membaca al-Qur’an dengan benar”.
Abul Aswad Ad-Duali sendiri pada mulanya tidak mau melakukan tugas itu karena terpengaruh oleh fatwa “Abdullah bin Mas’ud, sahabat Rasulullah saw, dan sekaligus pakar terkemuka al-Qur’anyang mengatakan: “Murnikan al-Qur’an, jangan dicampuri sesuatu apapun”. Sampai pada suatu waktu Abul Aswad Ad-Duali mendengar seorang melafalkan kata rosuluhu dengan lafal rosulihi yang terdapat pada ayat 3 surat at-Taubah (9):
“……Annallaha bari-un minal musyrikin wa rosuluhu……
Abul Aswad Ad-Duali sangat terkejut kalau kata rosuluhu pada ayat itu di baca rosulihi makna ayat itu menjadi:
Sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang musyrik dan rasulnya”.
Padahal kalau kata itu dibaca dengan benar yaitu rosuluhi, maka makna ayat itu adalah:
Bahwa sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas dari orang-orang musyrikin”.
Bacaan yang salah membuat Abul Aswad Ad-Duali merasa kaget dan terpukul dan berseru: “Maha Mulia Allah tidak mungkin berlepas diri dari Rasul-Nya”.
Dengan kejadian itu Abul Aswad Ad-Duali membunyikan huruf-huruf itu dengan memberi tanda dengan satu titik (.) diatas untuk bunyi vocal (a), satu titik dibawah untuk vocal (i) dan satu titik di depan untuk vocal (u) dan dua titik untuk (tasydid).
Yang di buat Abul Aswad Ad-Duali ini belumlah selesai karena orang belum dapat membedakan huruf ب ت ث  dan ن juga tidak dapat membedakan  ج ح خ atau huruf ص ض
Masalah ini kemudian di tangani oleh Khalifah Abdul Malik bin Marwan (65-86 H) oleh Yahya bin Ya’mar dan Nashu bin ‘Ashim al-Laitsi, murid Abul Aswad sendiri, yaitu dengan memberi tanda titik pada huruf-huruf itu agar bisa dibedakan oleh orang non-Arab.
Selanjutnya tahun 162 H Imam al-Halil bin Ahmad al-Farhadi memperbaiki tanda yang sudah ada pada mushaf yang direvisi oleh Abul Aswad Ad-Duali dan Yahya bin Ya’mar dengan cara mengganti titik satu untuk bunyi (a) menjadi alif telentang diatas huruf.
1)      Pencetakan Al-Qur’an
Pada Tahun 1440 M Johannes Gutenberg di Mainz, Jerman menemukan dan membuat mesin cetak. Dan al-Qur’an pertama kali di cetak di Hanburg, Jerman pada abad 17 M.[18]
Penyalinan secara rasional di Indonesi berlangsung sampai akhir abad ke 19 atau awal abad ke-20 di segala tempat di seluruh Indonesia. Lalu sejak permulaan abad ke-20 rintisan usaha pencetakan al-Qur’an sudah dimulai. Namun, pencetakan al-Qur’an di Indonesia dimulai sekitar tahun 1950 M. sejak saat itu banyak al-Qur’an di cetak di Indonesia baik oleh pemerintah maupun swasta.
Dalam hal ini yang mengawasi pencetakan al-Qur’an di Indonesia adalah Lajnah Pantashih Al-Qur’an yang dibentuk berdasarkan surat keputusan Menteri Agama RI nomor 1 Tahun 1957 tanggal 5 Februari 1957.[19]


BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Dari uraian-uraian di atas maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:
Ayat-ayat al-Qur’an diturunkan kepada Nabi, kemudian beliau menghafalnya dan membacakannya kepada sahabat serta menyuruh mereka menghafalnya dan menyuruh para penulis wahyu untuk dapat menuliskannya. Pada masa sahabat, Abu Bakar mengumpulkan al-Qur’an kembali dengan menyeru kepada siapa saja yang menulis al-Qur’an di hadapan Nabi untuk segera mengantarkan tulisannya ke mesjid dengan didampingi oleh 2 orang saksi. Usaha Abu Bakar ini dibant oleh Umar bin Khattab dan Zaid bin Tsabit dengan alasan banyaknya para penghafal al-Qur’an yang mati syahid dalam peperangan Yamamah. Kemudian di Masa Usman bin Affan al-Qur’an di bukukan dan al-Qur’an di Indonesia adalah Lajnah Pantashih Al-Qur’an yang dibentuk berdasarkan surat keputusan Menteri Agama RI nomor 1 Tahun 1957 tanggal 5 Februari 1957.


DAFTAR PUSTAKA
Mansur Nasution, Hasan, Lebih Dekat Al-Qur’an, Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2009.

Muhammad Amin Suma, Muhammad, Ulumul Qur’an, Jakarta: Rajawali Pers, 2013.
Rosihan Anwar, Rosihan, Ulum Al-Qur’an, Bandung: Pustaka Setia, 2010.
Jami’ Daulay, Nasrun, Ulum Al-Qur’an (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2010.
Abu Anwar, Abu, Ulumul Qur’an Sebuah Pengantar, Pekanbaru: Amzah, 2002.
Nawir Yuslem, Nawir, Ulumul Qur’an, Bandung: Cipta Pustaka Media Perintis, 2011.

Abdul Chaer, Abdul, Perkenalan Awal Dengan Al-Qur’an, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2014.
Adnan Amal, Taufik, Rekonstruksi Sejarah Al-Quran, Yogyakarta: Forum Kajian Budaya dan Agama, 2001.

Muhammmad Ali Ash-Shabuni, Muhammad, terj. Aminuddin, Studi Ilmu Al-Qur’an, Bandung: Pustaka Setia, 1998.

Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Tafsir Jalalain, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1996.



[1] Hasan Mansur Nasution, Lebih Dekat Al-Qur’an (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2009), h. 9.
[2] Hasan Mansur Nasution, Lebih Dekat Al-Qur’an, h. 10.
[3] Hasan Mansur Nasution, Lebih Dekat Al-Qur’an, h. 12.
[4] Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h. 46-47.
[5] Hasan Mansur Nasution, Lebih Dekat Al-Qur’an, h. 13.
[6] Rosihan Anwar, Ulum Al-Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h. 38.
[7] Nasrun Jami’ Daulay, Ulum Al-Qur’an (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2010), h. 45-46.
[8] Abu Anwar, Ulumul Qur’an Sebuah Pengantar, (Pekanbaru: Amzah, 2002), h. 24-25.
[9] Nawir Yuslem, Ulumul Qur’an (Bandung: Cipta Pustaka Media Perintis, 2011), h. 10.
[10] Abdul Chaer, Perkenalan Awal Dengan Al-Qur’an (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2014), h. 99.
[11] Rosihan Anwar, Ulum Al-Qur’an, h. 41.
[12] Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Quran, (Yogyakarta: Forum Kajian Budaya dan Agama, 2001), h. 45.
[13] Abdul Chaer, Perkenalan Awal Dengan Al-Qur’an, h. 100.
[14] Muhammmad Ali Ash-Shabuni, terj. Aminuddin, Studi Ilmu Al-Qur’an (Bandung: Pustaka Setia, 1998), h. 105.
[15] Abdul Chaer, Perkenalan Awal Dengan Al-Qur’an, h. 101.
[16] Hasan Mansur Nasution, Lebih Dekat Al-Qur’an, h. 13-16
[17] Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Tafsir Jalalain (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1996), h. 140.
[18]Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, h. 56.
[19] Abdul Chaer, Perkenalan Awal Dengan Al-Qur’an, h. 112.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar