BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Al-qur’an
adalah suatu kitab suci, sumbernya berasal dari zat yang Maha Tinggi, Maha
Tahu, Maha Hakim, Maha Berkuasa dan Maha Bijaksana, yaitu Allah SWT. Al-qur’an
diturunkan kepada nabi Muhammad SAW dengan perantaraan malaikat-Nya Jibril.
Susunan ayat-ayatnya begitu harmonis, dirangkaikan dalam sastra Arab yang
menakjubkan manusia yang berpredikat sastrawan. Kerapian susunan ayat-ayat
al-Qur’an tidak dapat dibandingkan dengan tulisan apapun, meskipun dengan
karangan pujangga-pujangga kenamaan.
Adapun
yang dimaksud dengan turun (dalam Bahasa Arab disebut nuzul), menurut
bahasa Arab artinya berpindah tempat dari atas ke bawah. Apabila kata “nuzul”
dirangkaikan dengan al-Qur’an sehingga menjadi nuzul al-Qur’an (turunnya
al-Qur’an), sedangkan al-Qur’an adalah kalam al-qadim yang berdiri pada
zat Allah SWT, maka akan menimbulkan pemahaman yang keliru bagi semnetara
orang. Kekelituan ini adalah menempatkan Allah pada suatu tempat dan manusi di
tempat yang lain.
Adapun
cara malaikat menerima lafadz al-Qur’an dan menurunkannya terdapat perbedaan
pendapat para ulama. Dalam hal ini ada keterangan yang menyebutkannya, boleh
jadi malaikat menurunkan al-Qur’an kepada Nabi Muhammad SAW, menerimanya dari
Allah SWT dengan cara yang tertentu yang kita tidak dapat menggambarkannya atau
malaikat itu menghafalnya dari Lauh al-Mahfuz di atas langit yang
ketujuh. Dan sesudah dihafal di Lauh al-Mahfuz itu malaikat pun
menurunkannya, kemudian menghujamkan ke dalam jiwa Nabi SAW. Demikian kata al-Thibi
sebagaimana dikutip Hasbi al-Shaddiqy.[1]
Allah
SWT telah menurunkan al-Qur’an sampai kepada Nabi Muhammad SAW melalui 3
periode, yaitu:
1.
Al-Qur’an
diturunkan ke langit dunia (sama’ al-dunya) pada malam al-qadr sekaligus.
Setelah itu diturunkan berangsur-angsur dalam waktu 20 tahun atau 23 tahun atau
25 tahun. Berdasarkan kepada perbedaan pendapat tentang berapa lama Nabi SAW
bermukim di Makkah setelah beliau diangkat menjadi Rasul.
2.
Al-Qur’an
diturunkan ke langit dunia dalam 20 kali lailatul qadar dalam 20 tahun
atau 23 kali lailatul qadar dalam 23 tahun atau dalam 25 kali lailatul
qadar dalam 25 tahun.
Pada
tiap-tiap malam diturunkan ke langit dunia sekedar yang hendak diturunkan dalam
tahun itu kepada Nabi Muhammad SAW dengan cara berangsur-angsur.
Permulaan
turun al-Qur’an ialah di malam lailatul qadar, kemudian diturunkan sesudah itu
dengan berangsur-angsur dalam berbagai-bagai waktu.[2]
Hikmah atau rahasia al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur sebagai
berikut:
1.
Untuk
memudahkan Nabi Muhammad SAW beserta para sahabatnya untuk menghafalnya, karena
al-Qur’an diturunkan kepada nabi yang ummi, yaitu yang tidak dapat
membaca dan tidak dapat menulis. Pentahapan ini merupakan kemudahan bagi nabi
untuk menghafalnya dan juga bagi para sahabatnya.
Dalam Surah al-Furqan/25 ayat 32:
وقال
الذين كفروا لولا نزل عليه القرء ن جملة وحدة ج كذ للك لنثبت به فؤادك
صلى ورتلنه ترتيلا
Dalam kaitannya
dengan keterangan diatas, al-Zarkasyi mengatakan bahwa yang dimaksud dengan linussabita
bihi fuadaka, yaitu untuk memudahkan Nabi Muhammad SAW menghafalnya.
2.
Untuk
disesuaikan dengan situasi dan kondisi dengan kemantapan dan keberhasilan tugas
Rasul dalam mengubah kebiasaan Jahiliyah yang buruk. Dalam hal ini, termasuklah
seperti suatu ayat yang diturunkan untuk menjawab pertanyaan atau membantah
suatu pendapat.[3]
B.
Rumusan Masalah
Dari
uraian diatas penulis dapat merumuskan masalah sebagai berikut:
a.
Bagaimana
Penulisan/ Pembukuan Al-Qur’an Pada Masa Nabi Muhammad SAW?
b.
Bagaimana
Penulisan/ Pembukuan Al-Qur’an Pada Masa Sahabat?
c.
Bagaimana
Penulisan/ Pembukuan Al-Qur’an Pada Masa Setelah Sahabat?
C.
Tujuan Penulisan
Adapun
tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
a.
Untuk
Mengetahui Penulisan/ Pembukuan Al-Qur’an Pada Masa Nabi Muhammad SAW.
b.
Untuk
Mengetahui Penulisan/ Pembukuan Al-Qur’an Pada Masa Sahabat.
c.
Untuk
Mengetahui Penulisan/ Pembukuan Al-Qur’an Pada Masa Setelah Sahabat.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Penulisan/ Pembukuan Al-Qur’an Pada Masa Nabi Muhammad SAW
Ayat-ayat
al-Qur’an diturunkan kepada Nabi, kemudian beliau menghafalnya dan
membacakannya kepada sahabat serta menyuruh mereka menghafalnya dan menyuruh
para penulis wahyu untuk dapat menuliskannya. Pada tiap kali turun ayat, Nabi
menerangkan tempat meletakkan ayat itu. Dalam hal ini Nabi katakan umpamanya, “Letakkan
ayat ini sesudah ayat itu”. Kemudian kalau ayat al-Qur’an yang diturunkan
itu telah cukup satu surat, maka Nabi SAW memberikan nama kepada surat itu.
Sejarah mencatat bahwa pada masa awal-awal kehadiran agama Islam, bangsa arab
tergolong kepada bangsa yang buta aksara. Kalaupun ada yang bisa baca dan
tulis, itu hanya beberapa orang saja yang dapat dihitung dengan jari tangan.
Kebutaaksaraan bangsa Arab dan keummian Nabi Muhammad SAW tegas-tegas
diakui dalam ayat dibawah ini:
هوالذين بعث الأمين رسول منهم يتلوا
عليهم ءايته ويزكيهم ويعلمهم الكتب والحكمة وإن كانوا من قبلوا لفى ضلل مبين
Dia-lah
(Allah) yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang rasul dari kalangan
mereka sendiri, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka
dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Qur’an) dan hikmah. Dan sesungguhnya
mereka sebelumnya benar-benar (berada) dalam kesesatan yang nyata. (QS.
Al-Jumu’ah(62): 2).[4]
Selanjutnya
dapat dijelaskan bahwa di kalangan para sahabat terdapat banyak yang menghafal
al-Qur’an, di antara mereka banyak pula yang menulisnya. Ketika Rasul masih
hidup, al-Qur’an belum dikumpulkan di dalam mushaf (sebuah buku yang
berjilid) yang kita lihat sekarang. Hal ini adalah disebabkan karena kertas
pada waktu itu belum ada. Para sahabat di masa Nabi SAW menulis al-Qur’an pada
kepingan-kepingan tulang, pelepah-pelepah kurma dan pada batu-batu.[5]
1)
Penulisan
Al-Qur’an Pada Masa Rasulullah
Suatu
kebiasaan Rasulullah ketika al-Qur’an diturunkan, maka yang pertama beliau
lakukan adalah mengumpulkan para sahabatnya. Kedua mencari sahabat yang mampu
menulis di kalangan mereka dan menugaskannya menulis ayat yang disampaikan itu
untuk disimpan di rumah Rasul SAW. Sahabat yang tidak ditugaskan Rasul SAW,
menulis wahyu untuk beliau tetapi merasa mampu menulis, maka mereka menulis
wahyu untuk diri mereka pribadi. Sahabat yang tidak pandai menulis memadakan
hafalannya.
Beliau memerintahkan
para sahabat yang dipercayainya sebagai penulis wahyu untuk menuliskan wahyu
yang turun kepada Rasullulah di atas pelepah kurma, lempengan batu, daun
lontar, kulit kayu, dan tulang belulang hewan. Semua ayat yang turun ditulis
teratur seperti yang Allah wahyukan, tetapi semua wahyu tersebut belum
terhimpun dalam satu mushaf. [6]
Para
penulis yang ditunjuk Rasul saw disebut Kuttab al-Wahyi. Tulisan pada
setiap wahyu yang disampaikan Rasul saw terbagi ke dalam 3 kelompok, yaitu:
a.
Tulisan
yang disimpan dirumah Rasul saw
b.
Catatan
Kuttab al-Wahyi yang disimpan dirumah masing-masing
c.
Catatan
yang ditulis oleh sahabAt yang tidak digolongkan sebagai Kuttab al-Wahyi
yang juga disimpan dirumah masing-masing.
Kuttab
al-Wahyi yang ditunjuk oleh Rasul SAW yang
terpopuler adalah:
1.
Abu Bakar
As-Shiddiq (w. 13 H)
2.
Umar
bin Khattab (w. 23 H)
3.
Usman
bin Affan (w. 35 H)
4.
Ali
bin Abi Thalib (w. 40 H)
5.
Zaid
bin Tsabit (w. 45 H): Paling banyak menulis wahyu untuk Rasul.
6.
Ubai
bin Ka’ab (w. 30 H): Suku Anshar di Kota Madinah
7.
Mu’awiyah
bin Abi Sufyan (w. 60 H): Paling banyak menulis untuk Rasul
8.
Khalid
Ibn al-Walid (w. 21 H)
9.
Aban
bin Sa’id (w. 13 H)
10.
Sabit
bin Qais (w. 12 H)
Di
dalam Kitab as-Sirah yang ditulis al-‘Iraqi jumlah penulis itu empat puluh dua
orang. Diantara mereka ada yang bernama Abdullah bin Sa’ad bin Sarh al-‘Amiri.
Ia adalah orang yang pertama kali menjadi penulis dari kalangan suku Quraisy di
kota Makkah.[7]
Untuk
menjaga orisinalitas Al-Qur’an, Rasulullah memerintahkan para sahabat untuk
tidak menuliskan sesuatu pun yang berasal dari mulut beliau kecuali
Al-Qur’an. Hal ini sangat wajar dan tepat karena tidak ada yang bisa menjamin
bahwa Hadits dan Al-Qur’an tidak bercampur aduk satu sama lainnya sehingga
untuk mencegah hal ini maka Rasullulah dengan petunjuk Allah melarang penulisan
apapun dari Rasulullah kecuali Al-Qur’an.[8]
B.
Penulisan/ Pembukuan Al-Qur’an Pada Masa Sahabat
a.
Masa Abu Bakar As-Shiddiq dan Umar bin Khattab
Setelah
Rasulullah SAW wafat yaitu pada 12 Rabiul Awal tahun 10 Hijriah dalam usia 63
tahun. Pemerintah dipegang oleh Abu Bakar r.a. Pada tahun pertama
kepemimpinanny, bergeraklah Musailamah al-Kazzab (si pendusta) di daerah
Yamamah mengatakan dirinya sebagai Nabi. Setelah Abu Bakar mengetahui tindakan
Musailamah itu, Abu Bakar segera mengambil tindakan untuk memeranginya dengan
menyiapkan pasukan tentara yang terdiri dari 1000 pengendara kuda yang dipimpin
oleh Khalid ibn Walid. Dalam peperangan Yamamah tersebut, telah mati syahid
sebanyak 700 penghafal Al-qur’an (para qurra’). Kecuali itu, Musailamah
juga mati terbunuh dalam peperangan itu.
Memperhatikan
keadaan para sahabat penghafal al-Qur’an banyak yang mati terbunuh dalam
peperangan Yamamah, maka timbullah gagasan Umar ibn Khattab dan mengusulkan
kepada khalifah Abu Bakar supaya Al-qur’an yang masih bertaburan itu supaya
dikumpulkan dan ditulis karena khawatir kalau pembunuhan seperti ini kian
meluas meliputi para qari’ pada peperangan lainnya, akan hilanglah al-Quran
kalau hanya dihafal saja.
Permintaan
Umar ibn Khatab tersebut disetujui Abu Bakar. Selanjutnya khalifah Abu Bakar
memrintahkan kepada Zaid ibn Tsabit untuk memeriksa al-Qur’an dan mengumpulkan
kepingan-kepingan yang ada tulisan al-Qur’an. Karena sebab-sebab tersebut, Abu
Bakar memerintahkan Zaid untuk menyusun Al-Qur’an atas pertimbangan bahwa ia
adalah penghafal Al-Qur’an dan sekretaris Rasulullah
SAW. Pengumpulan dilakukan dengan bersumber pada catatan-catatan dan hafalan,
dengan dikuatkan oleh dua saksi.[9]
Pada
mulanya Zaid pun tidak mau melakukan tugas pengumpulan naskah-naskah al-Qur’an
itu karena hal itu belum pernah dilakukan oleh Rasulullah. Malah Zaid bin
Tsabit mengatakan andaikata ia disuruh memindahkan bukit, maka tidaklah lebih
berat daripada tugas mengumpulkan naskah-naskah al-Qur’an yang berserakan di
rumah para sahabat. Namun karena alasan demi kelestarian al-Qur’an itu sendiri
yang diberikan oleh khalifah dan Umar bin Khattab akhirnya Zaid bin Tsabit
menerima tugas itu.[10]
Untuk
mendukung kelancaran pelaksanaan pengumpulan (kompilasi) ayat-ayat al-Qur’an
itu, khalifah Abu Bakar mengumumkan bahwa “Barangsiapa yang menyimpan atau
memiliki teks ayat al-Qur’an yang ditulis di hadapan Nabi supaya membawanya ke
Masjid dan menyerahkannya kepada Zaid bin Tsabit”.
Abu
Bakar Berkata:
اقعد على باب المسجد فمن جاء كما
بشاهدين على شئ من كاتب الله فاكتباه[11]
“Duduklah
kalian di pintu masjid siapa yang datang kepada kalian membawa catatan
al-Qur’an dengan dua saksi, maka catatlah”.
Begitu
juga Umar bin Khattab berdiri di depan masjid menyeru orang yang lewat untuk menyerahkan
teks-teks itu kepada Zaid bin Tsabit. Di samping itu, ada beberapa sahabt yang
berkeliling Madinah menyerukan maksud yang sama. Kemudian Zaid ibn Tsabit dalam
rangka pemenuhan tugas ini berusaha mendatangi orang-orang yang menghafal
al-Qur’an.
Sekalipun
sejumlah riwayat memberikan pujian dan kebajikan terhadap Zaid, terdapat satu
riwayat yang cenderung mengurangi kebaikannya. Dikatakan bahwa ‘Abdullah Ibn
Mas’ud marah kepada Zaid, kemudian ia berkata:
والله,لقد اسلمت وانه لفى صلب رجل كفر
Demi
Allah, sesungguhnya aku sudah menjadi seorang Muslim sementara dia
masih berada di dalam sulbi seorang laki-laki kafir!
Kemudian Ibn
Mas’ud menegaskan bahwa Zaid tidak memiliki peranan dalam pengumpulan Al-Qur’an
di masa Abu Bakar dan Usman. Akan tetapi ada pula yang membela serangan
tersebut. Menurut pendukung Zaid, betul Ibn Mas’ud lebih dulu masuk Islam
dibanding Zaid, tetapi Zaid lebih dulu hafal Al-Qur’an daripada Ibn Mas’ud.
Zaid telah hafal Al-Qur’an ketika Rasulullah SAW masih hidup, sedangkan ketika
itu Ibn Mas’ud baru hafal sekitar 70 surat, dan sisasanya dihafal setelah
Rasullah SAW wafat. Bahkan menurut sebagian imam, Ibn Mas’ud tidak hafal
seluruh ayat Al-Qur’an hingga wafat. Hal ini, menurut al-Qurtubi, masih
diperselisihkan.[12]
Dalam
pengumpulan ayat-ayat al-Qur’an ini khalifah Abu Bakar memberi arahan agar yang
diterima adalah hanya yang ditulis atau dicatat di hadapan Nabi saja. Bukan
yang salinan. Begitupun sebuah teks ayat al-Qur’an, untuk menjaga keasliannya
harus disertai dengan dua orang saksi. Demikian pula, meskipun Zaid bin Tsabit
hafal seluruh al-Qur’an seutuhnya, dia dilarang oleh khalifah untuk menuliskan
teks baru dari hafalannya, melainkan harus berdasarkan teks tertulis.
Dari
usaha tersebut terkumpullah al-Qur’an, yaitu pengumpulan ayat-ayat yang
tertulis diatas tulang, pelepah dan kepingan batu, kemudian disalin diatas
kulit yang telah dimasak, serta disimpan dalam arsip kenegaraan di bawah
pengawasan Khalifah Abu Bakar. Kompilasi hasil pekerjaan Zaid bin Tsabit ini
belum dapat disebut mushaf karena baru beberapa lembaran-lembaran kertas kulit
yang ukurannya pun tidak sama, Cuma ditumbuk, diikat belum dijilid dan tidak
tersusun rapi. Namun, sudah lengkap dan susunan ayat dan surahnya sudah seperti
yang ditunjukkan oleh Rasulullah SAW. Sebelum meninggal Abu Bakar berpesan dan
mmepercayakan mushaf al-Qur’an yang disimpan sebagai arsip kenegaraan kepada
Umar bin Khattab, yang kemudian menggantikannya menjadi khalifah.[13]Zaid
ibn Tsabit menyempurnakan pentajwidan shuhuf dimasa Abu Bakar.
Lembaran-lembaran
yang dikumpulkan dalam satu mushaf pada masa Abu Bakar memililki beberapa
keistimewaan yang terpenting:
1.
Diperoleh
dari hasil penelitian yang sangat mendetail dan kemantapan yang sempurna.
2.
Yang
tercatat dalam mushaf hanyalah bacaan yang pasti, tidak ada nasakh bacaannya.
3.
Ijma’
umat terhadap mushaf tersebut secara mutawatir bahwa yang tercatat adalah
ayat-ayat Al-Qur’an.
4.
Mushaf
mencakup qiraat sab’ah yang dinukil berdasarkan riwayat yang benar-benar sahih.
Ali berkata, “Orang
yang paling berjasa dalam hal Al-Qur’an ialah Abu Bakar r.a. Ia adalah orang
yang pertama kali mengumpulkan Al-Qur’an”.[14]
Setelah Abu
Bakar wafat, shuhuf-shuhuf tesebut dipegang oleh Khalifah Umar dan dia
menyuruh menyalin al-Qur’an dari shuhuf-shuhuf itu pada suatu shahifah
(lembaran). Umar bukan hanya menyimpan dan menjaga dengan baik naskah al-Qur’an
yang dipercayakan kepadanya, tetapi juga menggiatkan pengajaran al-Qur’an,
hingga melewati batas jazirah ke negeri-negeri sekitar yang telah beriman, mengikuti
ajaran Rasulullah. Beliau mengutus 10 orang ke Basra untuk mengajarkan
al-Qur’an. Begitu juga Ibnu Mas’ud seorang sahabat yang hafal al-Qur’an untuk
mengajar ke Kufah. Para sahabat yang diutus ini diberi pesan agar mengajarkan
al-Qur’an bukan berdasarkan hafalan, tetaoi berdasar teks-teks tertulis agar terhindar dari
kealpaan terhadap hafalan.
Pada kesempatan
berikutnya khalifah Umar bin Khattab juga mengirim sejumlah sahabat untuk
mengajarkan al-Qur’an ke Suriah, Palestina, dan Damaskus. Di tempat-tempat ini
orang mengikuti pengajaran mencapai jumlah ribuan orang. Demikian juga di
tempat-tempat lain tempat-tempat yang baru dikuasai pada zaman itu.
Di ibu kota
sendiri, Madinah, Umar bin Khattab menugasi beberapa sahabat untuk mengajarkan
al-Qur’an kepada anak-anak. Para guru ini diberi gaji perbulan 15 dirham.
Kiranya inilah juga salah satu upaya khalifah Umar bin Khattab untuk menjaga
keaslian al-Qur’an.
Setelah Umar
wafat, karena ditikam oleh seorang budak Kristen dari Persia pada akhir 23 H,
naskah al-Qur’an disimpan pada Hafsah. Setidaknya ada dua alasan mengapa naskah
itu tidak diserahkan kepada Usman Khalifah ketiga, yaitu pertama karena
Hafsah putri Umar dan kedua karena hafsah adalah juga istri Rasulullah
saw.[15]
b.
Masa Usman bin Affan
Selanjutnya
pada masa khalifah Utsman ibn Affan, yaitu setelah beberapa tahun berjalannya
pemerintahan dilakukan usaha untuk menggerakkan para sahabat guna peninjauan
kembali shuhuf-shuhuf yang ditulis oleh Zaid ibn Tsabit. Ide ini timbul karena
melihat hebatnya perselisihan masalah qira’at pada daerah-daerah Islam yang
baru dapat dikuasai. Ummat Islam perlu diselamatkan sebelum mereka berselisih
dalam al-Qur’an.
Kemudian
Utsman ibn Affan segera meminta kepada Hafsah istri Nabi agar dapat memberikan shuhuf-shuhuf
yang ada padanya untuk disalin ke dalam beberapa mushaf dan setelah itu
akan dikembalikan lagi shuhuf-shuhuf itu kepada hafsah. Khalifah Utsman
bin Affan menyuruh Zaid bin Tsabit, Abdullah Ibn Zubair, Zaid Ibn Ash dan
Abdurrahman Ibn Haris Ibn Hisyam menyalin dari shuhuf-shuhuf itu
beberapa mushaf. Tindakan Utsman mengumpulkan kembali mushaf
adalah atas usul Ali bin Abi Thalib. Selanjutnya Utsman menyampaikan bahwa
apabila terjadi perselisihan qira’at antara mereka, hendaklah ditulis
menurut qira’at orang Quraisy kerena al-Qur’an diturunkan dengan bahasa
mereka.
Setelah
mereka selesai melaksanakan pekerjaan tersebut, shuhuf-shuhuf Hafsah pun
dikembalikan oleh Utsman kepada Hafsah dan selain mushaf yang telah ditulis
oleh badan yang terdiri dari dari empat orang itu yaitu Zaid bin Tsabit,
Abdullah bin Zubair, Sa’id bin Ash dan Abdurrahman bin Harits bin Hisyam,
diperintahkan oleh Utsman supaya dibakar. Di masa Abu Bakar dan Umar
masing-masing penulis mushaf memegang tulisannya.
Tujuan
Khalifah Utsman dari penulisan kembali ke dalam mushaf serta membakar
yang lain-lain hanyalah untuk menyatukan umat terhadap qira’at-qira’at
yang diterima dari Nabi SAW serta membatalkan yang lainnya. Kecuali itu, Utsman
juga bermaksud supaya umat memegangi mushaf yang telah tersusun sempurna
buat menolak kerusuhan-kerusuhan yang timbul diakibatkan karena perbedaan qira’at.[16]
Khalifah
Usman menetapkan bila terjadi perbedaan pendapat di antara lajnah (qira’at),
maka yang dipedomani adalah pendapat anggota yang berasal dari suku Quraisy.
Menurut sejarah mereka tidak ada berbeda pendapat kecuali hanya pada satu kata التا بوت
وقال لهم نبيهم إن ءاية ملكم أن يأ
تيكم التا بوت[17]
“Sesungguhnya
tanda ia akan menjadi raja, ialah datangnya tabut kepadamu”
c.
Penulisan/ Pembukuan Al-Qur’an Pada Masa Setelah Sahabat
Mushaf
Usmani yang tidak dilengkapi dengan tanda harakat dan titik untuk membedakan
bunyi konsonan yang hurufnya sama, pada mulanya tidak bermasalah. Namun,
setelah banyaknya orang ajam (bukan orang Arab) dan tidak berbahasa Arab
yang memeluk agama Islam, maslah kesalahan dan kesulitan membacatimbul kembali
karena mereka tidak memahami makna kata dan kalimat dalam al-Qur’an itu. Hal
ini berlangsung hampir 40 tahun lamanya, sampai pada suatu saaat Khalifah
Muawiyah bin Abu Sofyan terkejut mengetahui Ubaidillah (putra Ziyad bin Abihi,
gubernur Basrah) yang banyak sekali melakukan kesalahan dalam membaca. Maka
khalifah meminta kepada Ziyad untuk menugasi Abul Aswad Ad-Duali (w. 69 H),
seorang pakar tata bahasa Arab untuk mengatasi masalah ini. Ziyad langsung
menyurati Abul Aswad Ad-Duali dan mengatakan: “Orang-orang muslim non-Arab
telah semakin banyak dan telah merusak bahasa Arab, maka cobalah anda
menuliskan sesuatu yang dapat memperbaiki bahasa orang-orang itu, dan dapat membuat
mereka membaca al-Qur’an dengan benar”.
Abul
Aswad Ad-Duali sendiri pada mulanya tidak mau melakukan tugas itu karena
terpengaruh oleh fatwa “Abdullah bin Mas’ud, sahabat Rasulullah saw, dan
sekaligus pakar terkemuka al-Qur’anyang mengatakan: “Murnikan al-Qur’an,
jangan dicampuri sesuatu apapun”. Sampai pada suatu waktu Abul Aswad
Ad-Duali mendengar seorang melafalkan kata rosuluhu dengan lafal rosulihi yang
terdapat pada ayat 3 surat at-Taubah (9):
“……Annallaha
bari-un minal musyrikin wa rosuluhu……”
Abul
Aswad Ad-Duali sangat terkejut kalau kata rosuluhu pada ayat itu di baca
rosulihi makna ayat itu menjadi:
“Sesungguhnya
Allah berlepas diri dari orang-orang musyrik dan rasulnya”.
Padahal
kalau kata itu dibaca dengan benar yaitu rosuluhi, maka makna ayat itu
adalah:
“Bahwa
sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas dari orang-orang musyrikin”.
Bacaan
yang salah membuat Abul Aswad Ad-Duali merasa kaget dan terpukul dan berseru: “Maha
Mulia Allah tidak mungkin berlepas diri dari Rasul-Nya”.
Dengan
kejadian itu Abul Aswad Ad-Duali membunyikan huruf-huruf itu dengan memberi
tanda dengan satu titik (.) diatas untuk bunyi vocal (a), satu titik dibawah
untuk vocal (i) dan satu titik di depan untuk vocal (u) dan dua titik untuk (tasydid).
Yang
di buat Abul Aswad Ad-Duali ini belumlah selesai karena orang belum dapat
membedakan huruf ب ت ث dan ن juga tidak
dapat membedakan ج ح خ atau huruf ص
ض
Masalah
ini kemudian di tangani oleh Khalifah Abdul Malik bin Marwan (65-86 H) oleh
Yahya bin Ya’mar dan Nashu bin ‘Ashim al-Laitsi, murid Abul Aswad sendiri,
yaitu dengan memberi tanda titik pada huruf-huruf itu agar bisa dibedakan oleh
orang non-Arab.
Selanjutnya
tahun 162 H Imam al-Halil bin Ahmad al-Farhadi memperbaiki tanda yang sudah ada
pada mushaf yang direvisi oleh Abul Aswad Ad-Duali dan Yahya bin Ya’mar dengan
cara mengganti titik satu untuk bunyi (a) menjadi alif telentang diatas huruf.
1)
Pencetakan
Al-Qur’an
Pada
Tahun 1440 M Johannes Gutenberg di Mainz, Jerman menemukan dan membuat mesin
cetak. Dan al-Qur’an pertama kali di cetak di Hanburg, Jerman pada abad 17 M.[18]
Penyalinan
secara rasional di Indonesi berlangsung sampai akhir abad ke 19 atau awal abad
ke-20 di segala tempat di seluruh Indonesia. Lalu sejak permulaan abad ke-20
rintisan usaha pencetakan al-Qur’an sudah dimulai. Namun, pencetakan al-Qur’an
di Indonesia dimulai sekitar tahun 1950 M. sejak saat itu banyak al-Qur’an di
cetak di Indonesia baik oleh pemerintah maupun swasta.
Dalam
hal ini yang mengawasi pencetakan al-Qur’an di Indonesia adalah Lajnah
Pantashih Al-Qur’an yang dibentuk berdasarkan surat keputusan Menteri Agama
RI nomor 1 Tahun 1957 tanggal 5 Februari 1957.[19]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
uraian-uraian di atas maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:
Ayat-ayat
al-Qur’an diturunkan kepada Nabi, kemudian beliau menghafalnya dan
membacakannya kepada sahabat serta menyuruh mereka menghafalnya dan menyuruh
para penulis wahyu untuk dapat menuliskannya. Pada masa sahabat, Abu Bakar
mengumpulkan al-Qur’an kembali dengan menyeru kepada siapa saja yang menulis
al-Qur’an di hadapan Nabi untuk segera mengantarkan tulisannya ke mesjid dengan
didampingi oleh 2 orang saksi. Usaha Abu Bakar ini dibant oleh Umar bin Khattab
dan Zaid bin Tsabit dengan alasan banyaknya para penghafal al-Qur’an yang mati
syahid dalam peperangan Yamamah. Kemudian di Masa Usman bin Affan al-Qur’an di
bukukan dan al-Qur’an di Indonesia adalah Lajnah Pantashih Al-Qur’an
yang dibentuk berdasarkan surat keputusan Menteri Agama RI nomor 1 Tahun 1957
tanggal 5 Februari 1957.
DAFTAR PUSTAKA
Mansur Nasution, Hasan, Lebih Dekat Al-Qur’an, Bandung:
Citapustaka Media Perintis, 2009.
Muhammad Amin
Suma, Muhammad, Ulumul Qur’an, Jakarta: Rajawali Pers, 2013.
Rosihan Anwar, Rosihan, Ulum Al-Qur’an, Bandung: Pustaka Setia, 2010.
Jami’ Daulay, Nasrun,
Ulum Al-Qur’an (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2010.
Abu Anwar, Abu,
Ulumul Qur’an Sebuah Pengantar, Pekanbaru:
Amzah, 2002.
Nawir Yuslem, Nawir, Ulumul Qur’an, Bandung: Cipta Pustaka
Media Perintis, 2011.
Abdul Chaer, Abdul,
Perkenalan Awal Dengan Al-Qur’an, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2014.
Adnan Amal, Taufik, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, Yogyakarta: Forum Kajian
Budaya dan Agama, 2001.
Muhammmad Ali Ash-Shabuni, Muhammad, terj. Aminuddin, Studi Ilmu
Al-Qur’an, Bandung: Pustaka
Setia, 1998.
Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Tafsir
Jalalain, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1996.
[1] Hasan Mansur
Nasution, Lebih Dekat Al-Qur’an (Bandung: Citapustaka Media Perintis,
2009), h. 9.
[2] Hasan Mansur
Nasution, Lebih Dekat Al-Qur’an, h. 10.
[3] Hasan Mansur
Nasution, Lebih Dekat Al-Qur’an, h. 12.
[4] Muhammad Amin
Suma, Ulumul Qur’an (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h. 46-47.
[5]
Hasan Mansur
Nasution, Lebih Dekat Al-Qur’an, h. 13.
[7] Nasrun Jami’
Daulay, Ulum Al-Qur’an (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2010), h.
45-46.
[9] Nawir Yuslem, Ulumul
Qur’an (Bandung: Cipta Pustaka Media Perintis, 2011), h. 10.
[10] Abdul Chaer, Perkenalan
Awal Dengan Al-Qur’an (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2014), h. 99.
[11]
Rosihan Anwar, Ulum Al-Qur’an, h. 41.
[12]
Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, (Yogyakarta:
Forum Kajian Budaya dan Agama, 2001), h. 45.
[13]
Abdul Chaer, Perkenalan
Awal Dengan Al-Qur’an, h. 100.
[14] Muhammmad Ali
Ash-Shabuni, terj. Aminuddin, Studi Ilmu Al-Qur’an (Bandung: Pustaka Setia, 1998), h. 105.
[15] Abdul Chaer, Perkenalan
Awal Dengan Al-Qur’an, h. 101.
[16] Hasan Mansur
Nasution, Lebih Dekat Al-Qur’an, h. 13-16
[17] Imam
Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Tafsir Jalalain (Bandung:
Sinar Baru Algensindo, 1996), h. 140.
[18]Muhammad Amin
Suma, Ulumul Qur’an, h. 56.
[19]
Abdul Chaer, Perkenalan
Awal Dengan Al-Qur’an, h. 112.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar