BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kaidah-kaidah
fiqhiyyah secara garis besar memiliki kegunaan yang salah satu kegunaan
tersebut untuk lebih mempermudah dalam menetapkan masalah-masalah yang dihadapi
dalam realita kehidupan yang semakin berkembang, sehingga lebih arif dalam
menerapkan fikih sesuai dengan waktu dan tempat yang berbeda untuk keadaan dan
adat kebiasaan yang berlainan. Kaidah fiqhiyyah juga memberikan jalan keluar
dari berbagai perbedaan pendapat di kalangan ulama atau setidak-tidaknya
menguatkan pendapat yang lebih mendekati kepada kaidah-kaidah fikih.
Jika
syari’at Islam mengajarkan sebuah prinsip menghilangkan kesukaran dari subjek
hukum dalam keseluruhan hukum syar’i, maka hal ini sesungguhnya kembali kepada
kenyataan bahwa prinsip di dalam syari’at diatur dengan kaidah-kaidah baku dan
dasar-dasar permanen yang dapat dijadikan sebagai media penyimpulan hukum (Istinbath)
ketika tidak ditemukan dalil syar’i atau ketika asy-syar’i (Pembuat
Hukum Syara’) berdiam mengenai status perkara tertentu.
Prinsip
atau kaidah-kaidah kemudahan merupakan prinsip-prinsip pokok (adh-dhawabith
al-ashliyyah), yaitu kaidah-kaidah yang tidak terlibat di dalamnya
alasan-alasan insidental (udzur) yang muncul pada manusia. Alasan-alasan ini
merupakan sebab syar’i yang melahirkan keringanan dalam penerapan syara’,
misalnya udzur sakit atau perjalanan (safar).
Prinsip-prinsip
kemudahan dalam diskursus pemikiran hukum Islam sangat banyak, sedangkan dalam
hal yang wajib seperti sholat bolehnya di jamak puasa di bulan ramdhan apabila
dalam keadaan sakit atau dalam perjalanan. Allah memberikan rukhshah (keringanan)
, Sebagaimana dalam Firman Allah SWT dalam QS. al-Maidah: 6 sebagai berikut:
وان كنتم مرضى او على سفر او جآء احد
منكم من الغآئط او لمستم النسآء فلم تجدوا مآء فتيمموا صعيدا طيبا فامسحوا بوجو
هكم وايديكم منه قلى
“Dan
jika kalian sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air
(kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kailan tidak memperoleh air, maka
berayamumlah dengan tanah yang baik (bersih), sapulah muka kalian dan tangan
kalian dengan tanah itu”
Dari
latar belakang diatas penulis akan membahas mengenai kesulitan mendatangkan
kemudahan pada bab selanjutnya.
B.
Rumusan Masalah
Penulis dapat
merumuskan masalah sebagai berikut:
a. Apa Makna المشقة تجلب التيسر
?
b.
Apa Dasar
Argumentatif Kaidah المشقة تجلب التيسر?
c.
Bagaimana Kriteria
Kesukaran Syar’i Dan Sebab-Sebab Keringanan?
d. Bagaimana Penerapan المشقة تجلب
التيسر ?
e. Apa Pengecualian Kaidah المشقة تجلب
التيسر?
C.
Tujuan
Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
a.
Untuk Mengetahui
Makna المشقة تجلب التيسر
b.
Untuk
Mengetahui Dasar Argumentatif Kaidah المشقة تجلب
التيسر
c.
Untuk
Mengetahui Kriteria Kesukaran Syar’i dan Sebab-Sebab Keringanan.
d.
Untuk
mengetahui Penerapan المشقة تجلب التيسر
e.
Untuk Mngetahui
Pengecualian
المشقة تجلب التيسر
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Makna المشقة تجلب التيسر
المشقة (Kesukaran)
menurut asal usul bahasanya berarti keletihan (al-juhd), kepayahan (al-ina’),
dan kesempitan (asy-syiddah). Misalnya apabila dikatakan شق عليه الأمر شقا و
مشقة apabila sesuatu tersebut
sangat melelahkan atau menyulitkan. Allah SWT berfirman: “Kamu tidak sanggup
sampai kepadanya, melainkan dengan kesukaran-kesukaran (yang memayahkan) diri”.
تجلب berarti
menggiring dan mendatangkan sesuatu dari satu tempat ke tempat lain.
التيسر berarti kemudahan dalam suatu pekerjaan, tidak memaksakan diri
dan tidak memberatkan fisik.
Makna
yang terbentuk dari makna dasar tersebut adalah bahwa jika ditemukan kesulitan
dalam sesuatu, maka ia akan menjadi penyebab syar’i yang dibenarkan untuk
mempermudah, meringankan dan menghapus kesukaran dan subjek hukum pada saat
melaksanakan aturan-aturan hukum dari segi apapun.[1]
B.
Dasar Argumentatif Kaidah المشقة
تجلب التيسر
Dasar
argumentatif kaidah ini adalah firman Allah SWT dalam QS. Al-Hajj: 78 sebagai
berikut:
وما جعل عليكم في الدين من حرج[2]
“Dan
dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan”
Dan firman
Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Baqarah: 185 sebagai beikut:
يريد
الله بكم اليسر ولا يريد بكم العسر[3]
“Allah menghendaki
kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”
Ayat
ini menjelaskan adanya keringanan dan kemudahan terhadap sesuatu beban hukum
yang dianggap sulit dilaksanakan karena adanya uzur tertentu. Al-qur’an dalam
menetapkan hukum tidak menyulitkan manusia dalam pelaksanaannya dan tidak
menetapkan hukum diluar kemampuan manusia. Para ahli hukum Islam berpendapat
bahwa kemudahan dan keringanan ini merupakan rahmat dari Allah SWT kepada
hamba-Nya.[4]
Serta
firman Allah SWT dalam QS. An-Nisa’: 28 sebagai berikut:
يريد الله أن يخفف
عنكم[5]
“Allah
hendak memberikan keringanan kepadamu” artinya memudahkan hukum-hukum
syara’.
Serta Nabi SAW bersabda:
بعثت بالحنفية السمحة[6]
“Aku
diutus dengan agama yang lurus dan penuh toleransi”
Hadist Nabi:
الدين يسر احب
الدين الى الله الحنيفية السمحة (اخرجه البخارى عن ابى هريرة)
“Agama
itu adalah mudah, agama yang disenangi Allah adalah agama yang benar dan mudah”
يسروا ولا
تعسروا (اخرجه
البخارى عن أنس)
“Mudahkanlah dan jangan mempersukar”
C.
Kriteria Kesukaran Syar’i Dan Sebab-Sebab Keringanan
Apabila
kesukaran dijadikan dasar hukum bagi dispensasi dan kemudahan syar’i, maka ia
mempunyai implikasi nyata dalam penetapan hukum dan fatwa. Sehingga penetuan
konsep “Kesukaran” dan kriteria yang ada di dalamnya merupakan suatu hal
penting yang tidak dapat diremehkan dan merupakan keniscayaan untuk dikaji.
1)
Kriteria
Kesukaran Menurut Al-Izz Abdussalam
1.
Kesukaran
tidak dapat lepas dari ibadah pada umumnya. Maksudnya pelaksanaan ibadah tidak
mungkin terjadi tanpa disertai dengan kesukaran tersebut.
2.
Kesukaran
yang secara umum terlepas dari ibadah, yaitu kondisi umum dimana ibadah dapat
dilakukan tanpa disertai faktor kesukaran tersebut.[7]
2)
Sebab-Sebab
Keringanan Di Dalam Ibadah Dan Lain-Lain
Adapun sebab-sebab keringanan di dalam ibadah dan lain-lain adalah:
1.
Berpergian,
dalam berpergian boleh mengqoshor dan menjamak sholat, boleh tidak berpuasa.
2.
Sakit,
dalam keadaan sakit orang boleh sembahyang dengan duduk atau berbaring, tayamum
sebagai ganti berwudhu’, tidak berpuasa dan sebagainya.
3.
Terpaksa,
dalam hal terpaksa orang boleh memakan makanan yang haram, bahkan boleh
mengucapkan kata-kata kekafiran atau berbuat perbuatan yang mengkafirkan.[8]
Sesuai
dengan ayat:
من كفر با الله من بعد ايما نه الا من
اكره وقلبه مطمئن بالايمان
“Barangsiapa
yang kafir terhadap Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan dari
Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir, padahal hatinya tetap tenang dalam
keimanan” (QS. An-Naml: 106)
4.
Lupa,
orang bebas dari dosa karena lupa, seperti makan pada waktu puasa Ramadhan atau
salam sebelum selesai sholat, kemudian dia berbicara sengaja karena menyangka
sholatnya sudah selesai, maka dia tidak batal sholatnya.
Hal ini sesuai dengan sabda Nabi:
وضع عن امتى الخطأ والنسيان وما
استكرهوا عليه (اخرجه البيهقى عن عمر)
“Diangkat dari ummatku (dosa) karena salah, lupa dan karena
terpaksa”
5.
Bodoh,
seperti berbicara di dalam/ di tengah shalat karena tidak mengerti, maka
sholatnya tidak batal.
6.
Kekurangan,
kekurangan adalah salah satu macam dari kesulitan, karena setiap orang mesti
senang pada kesempurnaan.
Kekurangan
menyebabkan keringanan, seperti anak-anak dan wanita diberi banyak kebebasan
dari kewajiban yang ada pada kaum laki-laki dewasa, misalnya: sholat jum’at,
membayar jizyah, berperang dan sebagainya.
7.
Kesulitan
dan ‘umumul balwa, seperti sholat dengan najis yang sukar dihindari.
Misalnya darah
dari kudis atau kotoran dari debu dan jalan. Demikian juga disyari’atkan
istinja’ dengan batu, diizinkan dengan buang air besar[9]
dengan menghadap dan membelakangi kiblat, memakai pakaian sutera bagi laki-laki
karena sakit, jual barang dengan salam, adanya khiyar di dalam jual beli dan
sebagainya.
Menurut
Syek Izzuddin bin Abdus Salam, macam-macam keringanan ada 6 (enam):
1.
Keringanan
dengan pengguguran kewajiban, seperti gugurnya kewajiban sholat jum’at karena
ada halangan.
2.
Keringanan
dengan pengurangan beban, seperti mengqoshor shalat empat rakaat menjadi dua
rakaat.
(ويجوزللمسافر) اى المتلبس بالسفر (قصرالصلاة
الرباعية) لا غيرها من ثنائية و ثلاثية.[10]
“Bagi orang yang berpergian yakni orang yang berpredikat
berpergian, maka boleh meringkas sholat 4 rakaat jumlahnya, tidak boleh
meringkas sholat selain yang empat rakaatnya, misalnya sholat yang terdiri dari
dua rakaat dan yang tiga rakaat”.
3.
Keringanan
dengan penukaran, seperti ditukarnya wudhu atau mandi dengan tayamum.
4.
Keringanan
dengan mendahulukan, seperti jama’ taqdim dalam sembahyang dan menyegerakan
zakat sebelum waktunya.
5.
Keringanan
dengan pengakhiran, seperti jama’ takhir dalam sholat dan penundaan pusa
ramadhan karena sakit atau berpergian.
6.
Keringanan
dengan kemurahan, seperti minum-minuman keras atau makan-makanan najis karena
untuk obat.
7.
Al-‘Alaai
menambah keringanan ke 7 (tujuh), yaitu:
Keringanan dengan
perubahan, seperti perubahan cara sembahyang dalam keadaan yang menakutkan
(tengah peperangan).
Adapun
Macam-macam hukum rukhshah (Keringanan), sebagai berikut:
1.
Rukhshah
yang wajib dikerjakan
Contoh: Memakan
bangkai (hewan yang tidak disembelih menurut syara’) bagi orang yang sedang
terpaksa sebab bila tidak, akan membahayakan keselamatan jiwanya.
2.
Rukhshah
yang sunat dikerjakan
Contoh:
Mengqashar shalat dalam berpergian, tidak berpuasa lantaran di dalam berpergian
dan melihat wanita yang akan menikahi.
3.
Rukhshah
yang boleh dikerjakan atau ditinggalkan[11]
Contoh:
Transaksi jual beli dengan sistem salam (membayar dulu, barang baru dikirim
kemudian sesuai dengan perjanjian)
4.
Rukhshah
yang lebih baik ditinggalkan
Contoh:
Menjama’ shalat, berlaku bagi yang tidak mengalami kesulitan. Tayamum bagi
orang yang mendapatkan air karena membeli dengan harga mahal sekalipun mampu
membelinya.
5.
Rukhshah
yang makruh dikerjakan
Contoh:
Mengqashar shalat dalam jarak tempuh kurang dari tiga marhalah (lebih kurang 84
km).
Seperti dengan kaidah di atas ialah
perkataan Imam Syafi’i:
اذا ضاق الامر
اتسع[12]
“Apabila
sesuatu itu sempit, maka hukumnya menjadi luas”
Imam
Syafi’i pernah ditanya dengan pertanyaan:
1.
Tentang
status hukum seorang wanita yang tidak mempunyai wali ketika berpergian di
antara seorang laki-laki yang bukan muhrimnya.
2.
Sebuah
bejana air terbuat dari tanah liat bercampur kotoran bolehkah dipakai untuk
berwudhu’.
3.
Seekor
lalat yang baru saja hinggap di kotoran, kemudian hinggap dipakaian, beliau
menjawab bila kakinya kering tidak masalah, tetapi apabila basah bagaimana?
Dalam ketiga-tiga soal ini beliau menjawab dengan kaidah diatas,
ialah:
اذا تسع الامرضاق
“Apabila
sesuatu itu luas (pelaksanaannya) mudah), maka menjadi sempit hukumnya”[13]
Contoh:
Orang dalam keadaan biasa (longgar/lapang), shalatnya harus dalam waktu dan
dengan menetapi semua syarat dan rukunnya.
Ibnu Abi Hurairah berkata: “Saya
meletakkan segala sesuatu kepada dasar:
اذا ضاقت
اتسعت و اذا تسعت ضاقت
“Bahwa segala sesuatu apabila sempit
(sulit dikerjakan) maka hukum pelaksanaannya menjadi longgar, dan apabila
longgar maka menjadi sempit pelaksanaan hukumnya”.
Kekurangan sempurnaan dalam mengerjakan
sholat karena adanya sesuatu yang memaksa bisa dimaklumi, sebagaimana halnya
berlebih-lebihan dalam sholat selagi tidak diperlukan tidak bisa dibenarkan.
Imam Ghazali mengumpulkan dua kaidah ini
dalam Ihya’ dengan kata-katanya:
كل ماتجاوزحده انعكس الى ضده
“Semua yang melampaui batas, maka
(hukumnya) berbalik kepada kebalikannya”[14]
Kaidah-kaidah fikih
yang dapat dijadikan dasar dalam menetapkan hukum yang berkenaan dengan masalah
ekonomi syari’ah, khususnya keuangan Islam antara lain sebagai berikut:
الأ صل فى المعاملات الإباحة إلا أن
يدل الدليل على تحريمها
“Pada
dasarnya semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang
mengharamkannya”.
الأًصل فى الأ
شياء الإباحة حتى يدل الدليل على التحريم
“Hukum dasar dari
segala sesuatu adalah boleh, sehingga terdapat dalil yang mengharamkannya”.
Kedua
kaidah yang telah disebutkan di atas dapat dijadikan dasar atau hujjah dalam
menetapkan hukum berbagai masalah berkenaan dengan keuangan syari’ah seperti
giro, tabungan, deposito, murabahah, jual beli salam, jual beli istishna’,
pembiayaan mudharabah dan lain-lain.[15]
D.
Penerapan
المشقة تجلب التيسر
a.
Adapun
penerapan Kaidah المشقة تجلب التيسر dalam Keuangan Islam sebagai berikut:
Dewan
Syari’ah Nasional dan MUI dalam menetapkan fatwa tentang keuangan syari’ah,
hampir semua fatwa berhujjah pada al-Qur’an dan Sunnah serta pendapat
ulama adalah berhujjah pada kaidah:
المشقة
تجلب التيسر
“Kesulitan
itu dapat menarik kemudahan”
Kaidah
fikih diatas digunakan dalam Lembaga Keuangan Syari’ah dalam akad jual beli Isthisna’.
Isthisna’ yang dilakukan LKS pada umumnya bersifat parallel, yaitu
sebuah bentuk akad istishna’ antara nasabah dengan LKS, kemudian untuk
memenuhi kewajibannya kepada nasabah, LKS memerlukan pihak lain sebagai shani’
(pembuat) pada objek yang sama, karena LKS sulit membuat atau menyiapkan
barang yang menjadi tanggung jawabnya kepada nasabah.[16]
b.
Adapun
penerapan Kaidah المشقة تجلب التيسر dalam Hukum Pidana Indonesia sebagai berikut:
Dalam
Hukum Pidana penerapan المشقة تجلب
التيسر dapat
dilihat pada Pasal 48 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berbunyi:
“Barang
siapa melakukan perbuatan karena terpaksa oleh sesuatu kekuasaan yang tak dapat
dihindarkan tidak boleh dihukum”
Kata
“Terpaksa” harus diartikan, baik paksaan bathin, maupun lahir,
rohani maupun jasmani.
“Kekuasaan
yang tidak dapat dihindarkan ialah sesuatu yang berlebih, kekuasaan yang pada
umumnya dianggap tidak dapat dilawan , suatu overmacht”[17]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari uraian diatas penulis dapat
menarik kesimpulan sebagai berikut:
1.
المشقة
تجلب التيسر yang
berarti kesulitan mendatangkan kemudahan. Allah SWT dalam menetapkan suatu
hukum Islam tidak menyulitkan bahkan tidak memberatkan hamba-Nya. Bahwa segala
sesuatu apabila sempit (sulit dikerjakan) maka hukum pelaksanaannya menjadi longgar,
dan apabila longgar maka menjadi sempit pelaksanaan hukumnya.
2.
Penerapan
المشقة تجلب التيسر dapat dilihat dalam Lembaga Keuangan Syari’ah dan Hukum Pidana
Indonesia yang terdapat dapat pasal 48 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengenai
overmacht.
DAFTAR
PUSTAKA
Farid
Muhammad Washil, Nasir dan Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawa’id Fiqhiyyah,
Jakarta: AMZAH, 2009.
Imam
Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi, Al-Asbah Wannadzho’ir, Cet.IV
(Darussalami, 2009.
Imam
Jalaluddi al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Tafsir Jalalain, Jilid
I, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1996.
Agil
Husain Al-Munawar, Said, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial , Cet.II,
Jakarta: Penamadani, 2005.
Mudjib,
Abdul, Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqih Al-Qowa’idul Fiqhiyyah, Jakarta: Kalam
Mulia, 2001.
Djamil,
Faturrahman, Hukum Ekonomi Islam Sejarah, Teori dan Konsep, Jakarta:
Sinar Grafika, 2013.
Soesilo,
R, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya
Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor: POLITEIA, 1995.
Mutawalli,
Muhammad Ali, Qawa’id Fiqhiyyah, Universitas Al-Azhar, 2013.
[1] Nasir Farid
Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawa’id Fiqhiyyah
(Jakarta: AMZAH, 2009), h. 57-58.
[2] Imam
Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi, Al-Asbah Wannadzho’ir, Cet.IV
(Darussalami, 2009), h.194.
[3] Imam Jalaluddi
al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Tafsir Jalalain, Jilid I
(Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1996), h. 97.
[4] Said Agil
Husain Al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial , Cet.II (Jakarta:
Penamadani, 2005), h. 38.
[5]
Imam Jalaluddi
al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Tafsir Jalalain, Jilid I, h.
342.
[6]
Imam Jalaluddin
Abdurrahman As-Suyuthi, Al-Asbah Wannadzho’ir, h. 194.
[7]
Nasir Farid
Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawa’id Fiqhiyyah, h. 59.
[8] Abdul Mudjib, Kaidah-Kaidah
Ilmu Fiqih Al-Qowa’idul Fiqhiyyah (Jakarta: Kalam Mulia, 2001), h. 29-30.
[9]
Abdul Mudjib, Kaidah-Kaidah
Ilmu Fiqih Al-Qowa’idul Fiqhiyyah, h. 31.
[10] Imron Abu
Amar, Fat-Hul Qarib, Jilid I (Kudus: Menara Kudus, 1982), h. 118.
[11]
Abdul Mudjib, Kaidah-Kaidah
Ilmu Fiqih Al-Qowa’idul Fiqhiyyah, h. 32.
[12] Muhammad Ali
Mutawalli, Qawa’id Fiqhiyyah (Universitas Al-Azhar, 2013), h. 93.
[13]
Abdul Mudjib, Kaidah-Kaidah
Ilmu Fiqih Al-Qowa’idul Fiqhiyyah, h. 33.
[14]
Abdul Mudjib, Kaidah-Kaidah
Ilmu Fiqih Al-Qowa’idul Fiqhiyyah, h. 34.
[15] Faturrahman
Djamil, Hukum Ekonomi Islam Sejarah, Teori dan Konsep (Jakarta: Sinar
Grafika, 2013), h. 127.
[16]
Faturrahman
Djamil, Hukum Ekonomi Islam Sejarah, Teori dan Konsep, h. 131.
[17] R. Soesilo, Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi
Pasal ( Bogor: POLITEIA, 1995), h. 63.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar