Rabu, 28 Desember 2016

Ushul Fiqh



BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Kaidah-kaidah fiqhiyyah secara garis besar memiliki kegunaan yang salah satu kegunaan tersebut untuk lebih mempermudah dalam menetapkan masalah-masalah yang dihadapi dalam realita kehidupan yang semakin berkembang, sehingga lebih arif dalam menerapkan fikih sesuai dengan waktu dan tempat yang berbeda untuk keadaan dan adat kebiasaan yang berlainan. Kaidah fiqhiyyah juga memberikan jalan keluar dari berbagai perbedaan pendapat di kalangan ulama atau setidak-tidaknya menguatkan pendapat yang lebih mendekati kepada kaidah-kaidah fikih.
Jika syari’at Islam mengajarkan sebuah prinsip menghilangkan kesukaran dari subjek hukum dalam keseluruhan hukum syar’i, maka hal ini sesungguhnya kembali kepada kenyataan bahwa prinsip di dalam syari’at diatur dengan kaidah-kaidah baku dan dasar-dasar permanen yang dapat dijadikan sebagai media penyimpulan hukum (Istinbath) ketika tidak ditemukan dalil syar’i atau ketika asy-syar’i (Pembuat Hukum Syara’) berdiam mengenai status perkara tertentu.
Prinsip atau kaidah-kaidah kemudahan merupakan prinsip-prinsip pokok (adh-dhawabith al-ashliyyah), yaitu kaidah-kaidah yang tidak terlibat di dalamnya alasan-alasan insidental (udzur) yang muncul pada manusia. Alasan-alasan ini merupakan sebab syar’i yang melahirkan keringanan dalam penerapan syara’, misalnya udzur sakit atau perjalanan (safar).
Prinsip-prinsip kemudahan dalam diskursus pemikiran hukum Islam sangat banyak, sedangkan dalam hal yang wajib seperti sholat bolehnya di jamak puasa di bulan ramdhan apabila dalam keadaan sakit atau dalam perjalanan. Allah memberikan rukhshah (keringanan) , Sebagaimana dalam Firman Allah SWT dalam QS. al-Maidah: 6 sebagai berikut:

وان كنتم مرضى او على سفر او جآء احد منكم من الغآئط او لمستم النسآء فلم تجدوا مآء فتيمموا صعيدا طيبا فامسحوا بوجو هكم وايديكم منه قلى
Dan jika kalian sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kailan tidak memperoleh air, maka berayamumlah dengan tanah yang baik (bersih), sapulah muka kalian dan tangan kalian dengan tanah itu
Dari latar belakang diatas penulis akan membahas mengenai kesulitan mendatangkan kemudahan pada bab selanjutnya.

B.       Rumusan Masalah
Penulis dapat merumuskan masalah sebagai berikut:
a.    Apa Makna المشقة تجلب التيسر ?
b.    Apa Dasar Argumentatif Kaidah المشقة تجلب التيسر?
c.    Bagaimana Kriteria Kesukaran Syar’i Dan Sebab-Sebab Keringanan?
d.   Bagaimana Penerapan المشقة تجلب التيسر ?
e.    Apa Pengecualian Kaidah المشقة تجلب التيسر?

C.      Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
a.       Untuk Mengetahui Makna المشقة تجلب التيسر
b.      Untuk Mengetahui Dasar Argumentatif Kaidah المشقة تجلب التيسر
c.       Untuk Mengetahui Kriteria Kesukaran Syar’i dan Sebab-Sebab Keringanan.
d.      Untuk mengetahui Penerapan المشقة تجلب التيسر
e.       Untuk Mngetahui Pengecualian المشقة تجلب التيسر


BAB II
PEMBAHASAN

A.      Makna المشقة تجلب التيسر
المشقة (Kesukaran) menurut asal usul bahasanya berarti keletihan (al-juhd), kepayahan (al-ina’), dan kesempitan (asy-syiddah). Misalnya apabila dikatakan  شق عليه الأمر شقا و مشقة  apabila sesuatu tersebut sangat melelahkan atau menyulitkan. Allah SWT berfirman: “Kamu tidak sanggup sampai kepadanya, melainkan dengan kesukaran-kesukaran (yang memayahkan) diri”.
  تجلب berarti menggiring dan mendatangkan sesuatu dari satu tempat ke tempat lain.
التيسر berarti kemudahan dalam suatu pekerjaan, tidak memaksakan diri dan tidak memberatkan fisik.
Makna yang terbentuk dari makna dasar tersebut adalah bahwa jika ditemukan kesulitan dalam sesuatu, maka ia akan menjadi penyebab syar’i yang dibenarkan untuk mempermudah, meringankan dan menghapus kesukaran dan subjek hukum pada saat melaksanakan aturan-aturan hukum dari segi apapun.[1]
B.       Dasar Argumentatif Kaidah المشقة تجلب التيسر
Dasar argumentatif kaidah ini adalah firman Allah SWT dalam QS. Al-Hajj: 78 sebagai berikut:
   وما جعل عليكم في الدين من حرج[2]      
Dan dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan
Dan firman Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Baqarah: 185 sebagai beikut:
يريد الله بكم اليسر ولا يريد بكم العسر[3]     
Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu
Ayat ini menjelaskan adanya keringanan dan kemudahan terhadap sesuatu beban hukum yang dianggap sulit dilaksanakan karena adanya uzur tertentu. Al-qur’an dalam menetapkan hukum tidak menyulitkan manusia dalam pelaksanaannya dan tidak menetapkan hukum diluar kemampuan manusia. Para ahli hukum Islam berpendapat bahwa kemudahan dan keringanan ini merupakan rahmat dari Allah SWT kepada hamba-Nya.[4]
Serta firman Allah SWT dalam QS. An-Nisa’: 28 sebagai berikut:
يريد الله أن يخفف عنكم[5]                                                                            
Allah hendak memberikan keringanan kepadamu” artinya memudahkan hukum-hukum syara’.
Serta Nabi SAW bersabda:
بعثت بالحنفية السمحة[6]  
Aku diutus dengan agama yang lurus dan penuh toleransi
Hadist Nabi:
الدين يسر احب الدين الى الله الحنيفية السمحة (اخرجه البخارى عن ابى هريرة)                            
Agama itu adalah mudah, agama yang disenangi Allah adalah agama yang benar dan mudah
يسروا ولا تعسروا (اخرجه البخارى عن أنس)                                                                
Mudahkanlah dan jangan mempersukar

C.      Kriteria Kesukaran Syar’i Dan Sebab-Sebab Keringanan
Apabila kesukaran dijadikan dasar hukum bagi dispensasi dan kemudahan syar’i, maka ia mempunyai implikasi nyata dalam penetapan hukum dan fatwa. Sehingga penetuan konsep “Kesukaran” dan kriteria yang ada di dalamnya merupakan suatu hal penting yang tidak dapat diremehkan dan merupakan keniscayaan untuk dikaji.
1)   Kriteria Kesukaran Menurut Al-Izz Abdussalam
1.    Kesukaran tidak dapat lepas dari ibadah pada umumnya. Maksudnya pelaksanaan ibadah tidak mungkin terjadi tanpa disertai dengan kesukaran tersebut.
2.    Kesukaran yang secara umum terlepas dari ibadah, yaitu kondisi umum dimana ibadah dapat dilakukan tanpa disertai faktor kesukaran tersebut.[7]
2)   Sebab-Sebab Keringanan Di Dalam Ibadah Dan Lain-Lain
Adapun sebab-sebab keringanan di dalam ibadah dan lain-lain adalah:
1.    Berpergian, dalam berpergian boleh mengqoshor dan menjamak sholat, boleh tidak berpuasa.
2.    Sakit, dalam keadaan sakit orang boleh sembahyang dengan duduk atau berbaring, tayamum sebagai ganti berwudhu’, tidak berpuasa dan sebagainya.
3.    Terpaksa, dalam hal terpaksa orang boleh memakan makanan yang haram, bahkan boleh mengucapkan kata-kata kekafiran atau berbuat perbuatan yang mengkafirkan.[8]
Sesuai dengan ayat:
من كفر با الله من بعد ايما نه الا من اكره وقلبه مطمئن بالايمان                                       
Barangsiapa yang kafir terhadap Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan dari Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir, padahal hatinya tetap tenang dalam keimanan” (QS. An-Naml: 106)
4.    Lupa, orang bebas dari dosa karena lupa, seperti makan pada waktu puasa Ramadhan atau salam sebelum selesai sholat, kemudian dia berbicara sengaja karena menyangka sholatnya sudah selesai, maka dia tidak batal sholatnya.
Hal ini sesuai dengan sabda Nabi:
وضع عن امتى الخطأ والنسيان وما استكرهوا عليه (اخرجه البيهقى عن عمر)                               
Diangkat dari ummatku (dosa) karena salah, lupa dan karena terpaksa
5.    Bodoh, seperti berbicara di dalam/ di tengah shalat karena tidak mengerti, maka sholatnya tidak batal.
6.    Kekurangan, kekurangan adalah salah satu macam dari kesulitan, karena setiap orang mesti senang pada kesempurnaan.
Kekurangan menyebabkan keringanan, seperti anak-anak dan wanita diberi banyak kebebasan dari kewajiban yang ada pada kaum laki-laki dewasa, misalnya: sholat jum’at, membayar jizyah, berperang dan sebagainya.
7.    Kesulitan dan ‘umumul balwa, seperti sholat dengan najis yang sukar dihindari.
Misalnya darah dari kudis atau kotoran dari debu dan jalan. Demikian juga disyari’atkan istinja’ dengan batu, diizinkan dengan buang air besar[9] dengan menghadap dan membelakangi kiblat, memakai pakaian sutera bagi laki-laki karena sakit, jual barang dengan salam, adanya khiyar di dalam jual beli dan sebagainya.
Menurut Syek Izzuddin bin Abdus Salam, macam-macam keringanan ada 6 (enam):
1.    Keringanan dengan pengguguran kewajiban, seperti gugurnya kewajiban sholat jum’at karena ada halangan.
2.    Keringanan dengan pengurangan beban, seperti mengqoshor shalat empat rakaat menjadi dua rakaat.
(ويجوزللمسافر) اى المتلبس بالسفر (قصرالصلاة الرباعية) لا غيرها من ثنائية و ثلاثية.[10]   
“Bagi orang yang berpergian yakni orang yang berpredikat berpergian, maka boleh meringkas sholat 4 rakaat jumlahnya, tidak boleh meringkas sholat selain yang empat rakaatnya, misalnya sholat yang terdiri dari dua rakaat dan yang tiga rakaat”.
3.    Keringanan dengan penukaran, seperti ditukarnya wudhu atau mandi dengan tayamum.
4.    Keringanan dengan mendahulukan, seperti jama’ taqdim dalam sembahyang dan menyegerakan zakat sebelum waktunya.
5.    Keringanan dengan pengakhiran, seperti jama’ takhir dalam sholat dan penundaan pusa ramadhan karena sakit atau berpergian.
6.    Keringanan dengan kemurahan, seperti minum-minuman keras atau makan-makanan najis karena untuk obat.
7.    Al-‘Alaai menambah keringanan ke 7 (tujuh), yaitu:
Keringanan dengan perubahan, seperti perubahan cara sembahyang dalam keadaan yang menakutkan (tengah peperangan).
Adapun Macam-macam hukum rukhshah (Keringanan), sebagai berikut:
1.    Rukhshah yang wajib dikerjakan
Contoh: Memakan bangkai (hewan yang tidak disembelih menurut syara’) bagi orang yang sedang terpaksa sebab bila tidak, akan membahayakan keselamatan jiwanya.
2.    Rukhshah yang sunat dikerjakan
Contoh: Mengqashar shalat dalam berpergian, tidak berpuasa lantaran di dalam berpergian dan melihat wanita yang akan menikahi.
3.    Rukhshah yang boleh dikerjakan atau ditinggalkan[11]
Contoh: Transaksi jual beli dengan sistem salam (membayar dulu, barang baru dikirim kemudian sesuai dengan perjanjian)
4.    Rukhshah yang lebih baik ditinggalkan
Contoh: Menjama’ shalat, berlaku bagi yang tidak mengalami kesulitan. Tayamum bagi orang yang mendapatkan air karena membeli dengan harga mahal sekalipun mampu membelinya.
5.    Rukhshah yang makruh dikerjakan
Contoh: Mengqashar shalat dalam jarak tempuh kurang dari tiga marhalah (lebih kurang 84 km).
Seperti dengan kaidah di atas ialah perkataan Imam Syafi’i:
اذا ضاق الامر اتسع[12]    
Apabila sesuatu itu sempit, maka hukumnya menjadi luas
Imam Syafi’i pernah ditanya dengan pertanyaan:
1.    Tentang status hukum seorang wanita yang tidak mempunyai wali ketika berpergian di antara seorang laki-laki yang bukan muhrimnya.
2.    Sebuah bejana air terbuat dari tanah liat bercampur kotoran bolehkah dipakai untuk berwudhu’.
3.    Seekor lalat yang baru saja hinggap di kotoran, kemudian hinggap dipakaian, beliau menjawab bila kakinya kering tidak masalah, tetapi apabila basah bagaimana?
Dalam ketiga-tiga soal ini beliau menjawab dengan kaidah diatas, ialah:
اذا تسع الامرضاق                                                                                    
Apabila sesuatu itu luas (pelaksanaannya) mudah), maka menjadi sempit hukumnya[13]
Contoh: Orang dalam keadaan biasa (longgar/lapang), shalatnya harus dalam waktu dan dengan menetapi semua syarat dan rukunnya.
       Ibnu Abi Hurairah berkata: “Saya meletakkan segala sesuatu kepada dasar:
اذا ضاقت اتسعت و اذا تسعت ضاقت     
       Bahwa segala sesuatu apabila sempit (sulit dikerjakan) maka hukum pelaksanaannya menjadi longgar, dan apabila longgar maka menjadi sempit pelaksanaan hukumnya”.
       Kekurangan sempurnaan dalam mengerjakan sholat karena adanya sesuatu yang memaksa bisa dimaklumi, sebagaimana halnya berlebih-lebihan dalam sholat selagi tidak diperlukan tidak bisa dibenarkan.
       Imam Ghazali mengumpulkan dua kaidah ini dalam Ihya’ dengan kata-katanya:
كل ماتجاوزحده انعكس الى ضده                                                                     
       Semua yang melampaui batas, maka (hukumnya) berbalik kepada kebalikannya[14]
       Kaidah-kaidah fikih yang dapat dijadikan dasar dalam menetapkan hukum yang berkenaan dengan masalah ekonomi syari’ah, khususnya keuangan Islam antara lain sebagai berikut:
الأ صل فى المعاملات الإباحة إلا أن يدل الدليل على تحريمها                                        
Pada dasarnya semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya”.
الأًصل فى الأ شياء الإباحة حتى يدل الدليل على التحريم       
Hukum dasar dari segala sesuatu adalah boleh, sehingga terdapat dalil yang mengharamkannya”.
Kedua kaidah yang telah disebutkan di atas dapat dijadikan dasar atau hujjah dalam menetapkan hukum berbagai masalah berkenaan dengan keuangan syari’ah seperti giro, tabungan, deposito, murabahah, jual beli salam, jual beli istishna’, pembiayaan mudharabah dan lain-lain.[15]

D.      Penerapan المشقة تجلب التيسر
a.       Adapun penerapan Kaidah المشقة تجلب التيسر dalam Keuangan Islam sebagai berikut:
Dewan Syari’ah Nasional dan MUI dalam menetapkan fatwa tentang keuangan syari’ah, hampir semua fatwa berhujjah pada al-Qur’an dan Sunnah serta pendapat ulama adalah berhujjah pada kaidah:
المشقة تجلب التيسر      
Kesulitan itu dapat menarik kemudahan
Kaidah fikih diatas digunakan dalam Lembaga Keuangan Syari’ah dalam akad jual beli Isthisna’. Isthisna’ yang dilakukan LKS pada umumnya bersifat parallel, yaitu sebuah bentuk akad istishna’ antara nasabah dengan LKS, kemudian untuk memenuhi kewajibannya kepada nasabah, LKS memerlukan pihak lain sebagai shani’ (pembuat) pada objek yang sama, karena LKS sulit membuat atau menyiapkan barang yang menjadi tanggung jawabnya kepada nasabah.[16]
b.      Adapun penerapan Kaidah المشقة تجلب التيسر dalam Hukum Pidana Indonesia  sebagai berikut:
Dalam Hukum Pidana penerapan المشقة تجلب التيسر dapat dilihat pada Pasal 48 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berbunyi:
Barang siapa melakukan perbuatan karena terpaksa oleh sesuatu kekuasaan yang tak dapat dihindarkan tidak boleh dihukum
Kata “Terpaksa” harus diartikan, baik paksaan bathin, maupun lahir, rohani maupun jasmani.
“Kekuasaan yang tidak dapat dihindarkan ialah sesuatu yang berlebih, kekuasaan yang pada umumnya dianggap tidak dapat dilawan , suatu overmacht[17]


BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Dari uraian diatas penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:
1.    المشقة تجلب التيسر yang berarti kesulitan mendatangkan kemudahan. Allah SWT dalam menetapkan suatu hukum Islam tidak menyulitkan bahkan tidak memberatkan hamba-Nya. Bahwa segala sesuatu apabila sempit (sulit dikerjakan) maka hukum pelaksanaannya menjadi longgar, dan apabila longgar maka menjadi sempit pelaksanaan hukumnya.
2.    Penerapan المشقة تجلب التيسر dapat dilihat dalam Lembaga Keuangan Syari’ah dan Hukum Pidana Indonesia yang terdapat dapat pasal 48 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengenai overmacht.


DAFTAR PUSTAKA

Farid Muhammad Washil, Nasir dan Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawa’id Fiqhiyyah, Jakarta: AMZAH, 2009.
Imam Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi, Al-Asbah Wannadzho’ir, Cet.IV (Darussalami, 2009.
Imam Jalaluddi al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Tafsir Jalalain, Jilid I, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1996.
Agil Husain Al-Munawar, Said, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial , Cet.II, Jakarta: Penamadani, 2005.
Mudjib, Abdul, Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqih Al-Qowa’idul Fiqhiyyah, Jakarta: Kalam Mulia, 2001.
Djamil, Faturrahman, Hukum Ekonomi Islam Sejarah, Teori dan Konsep, Jakarta: Sinar Grafika, 2013.
Soesilo, R, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor: POLITEIA, 1995.
Mutawalli, Muhammad Ali, Qawa’id Fiqhiyyah, Universitas Al-Azhar, 2013.



[1] Nasir Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawa’id Fiqhiyyah (Jakarta: AMZAH, 2009), h. 57-58.
[2] Imam Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi, Al-Asbah Wannadzho’ir, Cet.IV (Darussalami, 2009), h.194.
[3] Imam Jalaluddi al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Tafsir Jalalain, Jilid I (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1996), h. 97.
[4] Said Agil Husain Al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial , Cet.II (Jakarta: Penamadani, 2005), h. 38.
[5] Imam Jalaluddi al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Tafsir Jalalain, Jilid I, h. 342.
[6] Imam Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi, Al-Asbah Wannadzho’ir, h. 194.
[7] Nasir Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawa’id Fiqhiyyah, h. 59.
[8] Abdul Mudjib, Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqih Al-Qowa’idul Fiqhiyyah (Jakarta: Kalam Mulia, 2001),  h. 29-30.
[9] Abdul Mudjib, Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqih Al-Qowa’idul Fiqhiyyah, h. 31.
[10] Imron Abu Amar, Fat-Hul Qarib, Jilid I (Kudus: Menara Kudus, 1982), h. 118.
[11] Abdul Mudjib, Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqih Al-Qowa’idul Fiqhiyyah, h. 32.
[12] Muhammad Ali Mutawalli, Qawa’id Fiqhiyyah (Universitas Al-Azhar, 2013), h. 93.
[13] Abdul Mudjib, Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqih Al-Qowa’idul Fiqhiyyah, h. 33.
[14] Abdul Mudjib, Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqih Al-Qowa’idul Fiqhiyyah, h. 34.
[15] Faturrahman Djamil, Hukum Ekonomi Islam Sejarah, Teori dan Konsep (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 127.
[16] Faturrahman Djamil, Hukum Ekonomi Islam Sejarah, Teori dan Konsep, h. 131.
[17] R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal ( Bogor: POLITEIA, 1995), h. 63.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar