Rabu, 28 Desember 2016

Qiyas



BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Qiyas merupakan sumber hukum Islam setelah Ijma’ yang disepakati oleh Syafi’i. Qiyas merupakan analogi terhadap kasus-kasus hukum yang belum ada nashnya, sehingga dibutuhkan penalaran, rasio untuk menyamakan atau menyerupakan kasus/ perkara yang belum ada pada masa sebelumnya, namun memiliki kesamaan dalah sebab, manfaat, bahaya, dan berbagai aspek lain dengan perkara yang terdahulu sehingga dihukumi sama dengan hukum yang telah ada nashnya. Untuk menentukan qiyas terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi. Dalam Islam Ijma’ dan Qiyas sifatnya dharurat, mengingat berkembangnya zaman sehingga terdapat hal-hal yang ternyata belum ditetapkan pada masa-masa sebelumnya. Berikut penulis akan menjabarkan secara rinci mengenai Qiyas.

B.       Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang tercantum dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:
a.       Apa Makna Qiyas?
b.      Apa Dalil Kehujjahan Qiyas?
c.       Apa Rukun Qiyas?
d.      Apa Macam-macam Qiyas?
e.       Bagaimana Illat Hukum?
f.       Bagaimana Sejarah Tumbuh dan Berkembangnya Qiyas?
g.      Bagaimana Relevansi Qiyas Dalam Perkembangan Hukum Kontemporer?

C.      Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini sebagai berikut:
a.       Untuk Mengetahui Makna Qiyas.
b.      Untuk Mengetahui Dalil Kehujjahan Qiyas.
c.       Untuk mMengetahu Rukun Qiyas.
d.      Untuk Mengetahui Macam-Macam Qiyas
e.       Untuk Mengetahui Illat Hukum.
f.       Untuk Mengetahui Sejarah Tumbuh dan Berkembangnya Qiyas.
g.      Untuk Mengetahui Relevansi Qiyas Dalam Perkembangan Hukum Kontemporer.



BAB II
PEMBAHASAN

A.      Makna Qiyas
Secara harfiyah qiyas bermakna mengukur atau memastikan panjang, berat atau kualitas sesuatu. Itulah mengapa skala disebut dengan miqyas. Oleh sebab itu, ungkapan bahasa Arab qasat al-sawb bi’ l-zira bermakna ‘pakaian itu diukur dengan meteren’. Qiyas juga bermakna perbandingan, dalam rangka memberi kesan kesamaan atau kemiripan antara dua hal. Oleh karena itu, ungkapan Zayd yuqas ila Khalid fi aqlihi wa nasabihi bermakna ‘Zayd diperbandingkan dengan Khalid soal intelejensi dan keturunannya. Dengan demikian, qiyas memberi kesan kesamaan atau kemiripan antara dua hal, yang salah satunya dipakai sebagai kriteria untuk mengukur yang lain.
Dari segi teknis, qiyas merupakan perluasan nilai syari’ah yang terdapat dalam kasus asal, atau asl, kepada kasus baru karena yang disebut mempunyai kausa (‘illat) yang sama dengan disebut pertama. Kasus asal ditentukan oleh nas yang ada dan qiyas berusaha memperluas ketentuan tekstual tersebut kepada kasus yang baru. Dengan adanya kesaman kausa (‘illat) antara kasus asal dan kasus baru, maka penerapan qiyas mendapat justifikasi.
Pemakaian analogi hanya dibenarkan apabila jalan keluar dari kasus baru tidak ditemukan dalam al-Quran, sunnah, atau ijma’ yang tergolong qat’i. akan menjadi sia-sia untuk menggunakan qiyas apabila kasus yang baru dapat terjawab oleh ketentuan yang telah ada.[1]
Prof. Shacht menyakini bahwa Qiyas diturunkan dari Istilah tafsiran Yahudi biqqish, infinitifnya beqqes, dari akar kata bahasa Aramea nqsh, yang berarti “memukuli bersama-sama”. Lebih lanjut ia menyatakan: “kata ini dipergunakan: (a) dalam penjajaran dua pokok masalah dalam Bibel, dan menunjukkan bahwa keduanya harus diperlakukan dengan cara yag sama; (b) mengenai kegiatan penafsir yang membuat perbandingan dengan menggunakan teks yang tertulis; (c) untuk suatu kesimpulan dengan menggunakan analogi.[2]

B.       Dalil Kehujjahan Qiyas
Al-Qur’an
a.       QS. An-Nisa’: 59 sebagai berikut:
            يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ مِنكُمۡۖ فَإِن تَنَٰزَعۡتُمۡ فِي شَيۡء فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۚ ذَٰلِكَ خَيۡر وَأَحۡسَنُ تَأۡوِيلً٥٩
Dalam ayat tersebut Tuhan memerintahkan kepada orang-orang Mu’min, bila terjadi perselisihan terhadap perihal suatu hukum yang di dalam al-Qur’an, As-Sunnah dan putusan orang-orang yang diserahi kekuasaan tidak ada, maka hendaklah dikembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak ragu lagi bahwa menyamakan hukum suatu peristiwa tidak ada nashnya, lantaran adanya persamaan 'illat hukumnya adalah termasuk mengambalikan suatu peristiwa yang tidak ada nashnya, kepada Allah dan Rasul-Nya. Sebab yang demikian itu berarti mengikuti kepada hukum Allah dan Rasul-Nya.
b.      QS. An-Nisa’: 105 sebagai berikut:
إِنَّآ أَنزَلۡنَآ إِلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ بِٱلۡحَقِّ لِتَحۡكُمَ بَيۡنَ ٱلنَّاسِ بِمَآ أَرَىٰكَ ٱللَّهُۚ وَلَا تَكُن لِّلۡخَآئِنِينَ خَصِيما ١٠٥
Merupakan jalan penalaran yang sama dengan QS. An-Nisa’: 59 dalam QS. An-Nisa’: 105 dijelaskan bahwa pengadilan harus berpedoman pada tuntutan yang Allah berikan atau pada yang memiliki kemiripan dengannya.
Qur’an sering mengidentifikasikan alasan hukum-hukumnya baik secara eksplisit maupun implisit atau dengan merujuk kepada tujuan-tujuannya. Alasan hukum qishas, misalnya alaha melindungi nyawa orang, dan hal ini secara jelas ditetapkan dalam nash.
c.       QS. Al-Baqarah: 79
فَوَيۡل لِّلَّذِينَ يَكۡتُبُونَ ٱلۡكِتَٰبَ بِأَيۡدِيهِمۡ ثُمَّ يَقُولُونَ هَٰذَا مِنۡ عِندِ ٱللَّهِ لِيَشۡتَرُواْ بِهِۦ ثَمَنا قَلِيلاۖ فَوَيۡل لَّهُم مِّمَّا كَتَبَتۡ أَيۡدِيهِمۡ وَوَيۡل لَّهُم مِّمَّا يَكۡسِبُونَ٧٩
Demikan juga, alasan zakat adalah untuk mencegah bertumpunya kekayaan di tangan segelintir orang yang secara jelas ditetapkan dalam al-Qur’an.
d.      QS. Al-Hashr:7 sebagai berikut:
مَّآ أَفَآءَ ٱللَّهُ عَلَىٰ رَسُولِهِۦ مِنۡ أَهۡلِ ٱلۡقُرَىٰ فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡيَتَٰمَىٰ وَٱلۡمَسَٰكِينِ وَٱبۡنِ ٱلسَّبِيلِ كَيۡ لَا يَكُونَ دُولَةَۢ بَيۡنَ ٱلۡأَغۡنِيَآءِ مِنكُمۡۚ وَمَآ ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَىٰكُمۡ عَنۡهُ فَٱنتَهُواْۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلۡعِقَابِ٧
Pada bagian lain dalam al-Qur’an kita membaca ayat tentang kebolehan tayamum bahwa Allah tidak bermaksud memaksakan kesulitan bagi kamu.
e.       QS. Al-Maidah: 6 sebagai berikut:
       يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا قُمۡتُمۡ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغۡسِلُواْ وُجُوهَكُمۡ وَأَيۡدِيَكُمۡ إِلَى ٱلۡمَرَافِقِ وَٱمۡسَحُواْ بِرُءُوسِكُمۡ وَأَرۡجُلَكُمۡ إِلَى ٱلۡكَعۡبَيۡنِۚ وَإِن كُنتُمۡ جُنُبا فَٱطَّهَّرُواْۚ وَإِن كُنتُم مَّرۡضَىٰٓ أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوۡ جَآءَ أَحَد مِّنكُم مِّنَ ٱلۡغَآئِطِ أَوۡ لَٰمَسۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَلَمۡ تَجِدُواْ مَآء فَتَيَمَّمُواْ صَعِيدا طَيِّبا فَٱمۡسَحُواْ بِوُجُوهِكُمۡ وَأَيۡدِيكُم مِّنۡهُۚ مَا يُرِيدُ ٱللَّهُ لِيَجۡعَلَ عَلَيۡكُم مِّنۡ حَرَج وَلَٰكِن يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمۡ وَلِيُتِمَّ نِعۡمَتَهُۥ عَلَيۡكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ٦
       Pada semua contoh ini, Quran memberikan indikasi-indikasi yang jelas yang meminta digunakannya qiyas. Ketika tidak ada ketentuan yang jelas dalam nash, maka qiyas harus digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan umum dari Pemberi hukum. Karena itu dapatlah disimpulkan bahwa indikasi alasan-alasa, tujuan, kesamaan dan perbedaan-perbedaan adalah tidak berarti apabila hal itu tidak diteliti dan diikuti sebagai pedoman dalam menentukan ahkam.
       Pendukung-pendukung qiyas juga mengutip, untuk mendukung pendapat mereka sebagai berikut:
a.         QS. Al-Hasr: 2
     هُوَ ٱلَّذِيٓ أَخۡرَجَ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ مِنۡ أَهۡلِ ٱلۡكِتَٰبِ مِن دِيَٰرِهِمۡ لِأَوَّلِ ٱلۡحَشۡرِۚ مَا ظَنَنتُمۡ أَن يَخۡرُجُواْۖ وَظَنُّوٓاْ أَنَّهُم مَّانِعَتُهُمۡ حُصُونُهُم مِّنَ ٱللَّهِ فَأَتَىٰهُمُ ٱللَّهُ مِنۡ حَيۡثُ لَمۡ يَحۡتَسِبُواْۖ وَقَذَفَ فِي قُلُوبِهِمُ ٱلرُّعۡبَۚ يُخۡرِبُونَ بُيُوتَهُم بِأَيۡدِيهِمۡ وَأَيۡدِي ٱلۡمُؤۡمِنِينَ فَٱعۡتَبِرُواْ يَٰٓأُوْلِي ٱلۡأَبۡصَٰرِ٢
       Pemikiran dalam konteks ini bermakna memperhatikan kesamaan-kesamaan dan perbedaan antara dua hal yang serupa.
       Terdapat dua jenis indikasi dalam sunnah yang dirujuk oleh pendukung-pendukung qiyas:
a.       Qiyas adalah bentuk ijtihad.
b.      Sunnah memberikan bukti bahwa Nabi menggunakan nalar analogis pada kesempatan-kesempatan ketika dia tidak menerima wahyu tentang suatu persoalan.[3]

C.      Rukun Qiyas
Qiyas mempunyai 4 (empat) rukun sebagai berikut:
a.       Ashal (Pokok), yaitu suatu peristiwa yang sudah ada nashnya yang dijadikan tempat mengqiyaskan. Ashal itu juga disebut dengan maqish ‘alaih (yang dijadikan tempat mengqiyaskan) atau mahmul ‘alaih (tempat membandingkannya atau syabbah bih (tempat menyerupakannya).
b.      Far’u (Cabang), yaitu peristiwa yang tidak ada nashnya itulah yang dikehendaki untuk disamakan hukumnya dengan ashalny. Ia juga disebut maqish (diqiyaskan) dan musyabbah (yang diserupakan).
c.       Hukum Ashal, yaitu hukum syara’ yang ditetapkan oleh suatu nash dan dikehendaki untuk menetapkan hukum itu kepada cabangnya.
d.      Illat, yaitu suatu sifat yang terdapat pada peristiwa yang ashal. Karena adanya sifat itu, maka peristiwa ashal itu mempunyai suatu hukum dan oleh karena sifat itu terdapat pula pada cabang, maka disamakanlah hukum cabang itu dengan hukum peristiwa yang ashal.
Sebagai contoh misalnya mencari hukum nabidz tamar (perasan kurma) dengan mengqiyaskannya kepada khamr. Meminum khamar adalah Ashal yang sudah ada nash hukumnya. Sedangkan nabidz tamar adalah far’u (cabang) yang hendak dicari hukumnya, karena tidak ada nashnya. Dalam contoh tersebut ashal dan far’u mempunyai ‘illat yang sama, yakni sifat yang memabukkan. Oleh karena itu ‘illat yang terdapat pada nabidz tamar sama dengan ‘illat yang terdapat pada khamar. Maka disamakanlah hukum meminum nabidz tamar dengan meminum khamar yang dijadikan tempat mengqiyaskannya.
Mengenai rukun qiyas yang pertama dan kedua yakni ashal dan far’u, adalah dua hal (peristiwa) yang sudah ditunjuk hukumnya oleh nash.[4]
Mengenai rukun qiyas ketiga yakni hukum ashal maka untuk berlakunya hukum pokok pada cabang ada syarat-syaratnya. Setiap tidak setiap hukum syara’ yang ditetapkan nash untuk suatu masalah itu bisa diterapkan pada masalah lain engan jalan qiyas tetapi harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1.      Hukum syara’ pada pokok harus ditetapkan dengan nash al-Quran atau Sunnah.
2.      Hukum syara’ pada pokoknya harus bisa dijangkau oleh akal untuk memahami illatnya. Sebab jika tidak bisa menangkap illatnya, kita tidak bisa menggunakan qiyas, karena landasan qiyas adalah illat hukumnya yang bisa kita tangkap.
3.      Hukum syara’ pokok bersifat umum bukan merupakan hal yang kusus atau pengecualian. Misalnya larangan mengawini istri Nabi setelah Nabi wafat, dan kesaksian dalam peradilan yang cukup seorang saksi saja, yakni sahabat Khuzaimah bin Tsabit.
من شهد له خزيمة فهو حسبه
Barang siapa disaksikan oleh Khuzaimah, maka cukuplah
Jelaslah itu merupakan masalah khusus (pengecualian) sehingga tidak bisa diqiyaskan dengan kesaksian oranglain.[5]

D.      Macam-Macam Qiyas
Dari sudut kuat atau lemahnya ‘illah, fuqaha-fuqaha Syafi’i membagi qiyas ke dalam tiga jenis, yaitu:
a.       Qiyas al-Awla (Analogi yang lebih kuat).
‘Illah dari qiyas jenis ini lebih jelas dari kasus baru ketimbang kasus asal, itulah mengapa disebut Qiyas al-Awla Misalnya, kita dapat melihat kepada ayat al-Quran Surah al-Isra: 23 sebagai berikut:
وقضى ربك الا اياه وبالولدين احسنا قلى اما يبلغن عندك الكبر احد همآ او كلهما فلا تقل لهمآ اف ولا تنهر هما وقل لهما قولا كريما
“Janganlah berkata kepada mereka uff (sebuah kata penghinaan) atau jangan pula memukul mereka, tetapi berkatalah kepada mereka perkataan yang baik.
Dengan analogi bisa disimpulkan bahwa larangan memukul atau menghardik mereka adalah lebih jelas ketimbang hinaan lisan.
Demikian juga dengan denda (kaffarah) pembunuhan yang tidak disengaja, dengan jalan analogi, dapat diterapkan kepada pembunuhan yang disengaja karena pelanggaran yang menuntut kaffarah lebih jelas pada pembunuhan yang disengaja. Inilah pendapat ulama-ulama Syafi’i, tetapi ulama-ulama Hanafi tidak menganggap contoh yang pertama sebagai corak dari qiyas, namun hanya implikasi dari nash (dalalah al-nass) yang lebih tergolong sebagai interpretasi ketimbang analogi. Demikian juga, ulama-ulama Hanafi tidak mengharuskan kaffarah bagi pembunuhan yang lebih ditentukan atas dasar interpretasi ketimbang qiyas.
b.      Qiyas al-Musawi (Analogi Yang Sebanding).
‘Illah dari jenis qiyas ini berlaku sama baik dalam kasus asal, karena merupakan ketentuan yang dideduksi dengan analogi. Kami dapat mengilustrasikan hal ini dengan merujuk kepada QS. An-Nisa’: 2 sebagai berikut:
واتوايتمى اموالهم ولا تتبد لوالخبيث بالطيب صلى ولالا تأكلوآ اموالكم قلى انه كان حوبا كبيرا[6]
Dengan analogi, dapat disimpulkan bahwa semua bentuk perusakan dan kesalahan pengelolaan yang menyebabkan hilangnya harta tersebut juga dilarang. Tetapi hal ini pun dianggap oleh ulama-ulama Hanafi lebih tergolong ke dalam lingkup interpretasi ketimbang analogi. Contoh lain, menururut sebuah hadis, bejana yang dijilat oleh anjing harus di cuci tujuh kali.
            إذا ولغ الكلب في الا ناء فاغسلوه سبع مرات
Ulama-ulama syafi’i memperluas ketentuan ini dengan analogi kepada bejana yang dijilat babi. Namun demikian, ulama-ulama Hanafi sejak semula tidak menerima hadis ini.
c.       Qiyas al-Adna (Qiyas yang Lebih Rendah).
‘Illah bentuk qiyas ini kurang begitu jelaspada kasus baru ketimbang kasus asal. Oleh karena itu, tidak begitu jelas apakah kasus baru tergolong ke dalam ketentuan yang sama seperti yang diterapkan kepada kasus asal. Misalnya, ketentuan riba mengharamkan barter gandum dan komoditi lain yang ditentukan kecuali dengan takaran atau timbangan yang sama dan diserahkan langsung. Dengan analogi, ketentuan ini diperluas dengan apel, karena gandum dan apel sama-sama dimakan (menurut fuqaha syafi’i) dan ditakar (menurut fuqaha Hanafi). Tetapi ‘illah dari qiyas ini lebih lemah, karena apel berbeda dengan gandum, bukanlah makanan pokok.[7]
Qiyas di bagi lagi ke dalam dua jenis:
1.      Qiyas Jali (qiyas yang jelas)
Penyamaan antara asl dan far’ adalah jelas, dan ketidaksesuaiannya dihilangkan dengan dalil yang jelas. Contoh: penyamaan yang ditarik oleh ulama antara budak pria dan budak wanita mengenai ketentuan-ketentuan pembebasan. oleh karena itu, apabila ada dua orang bersama-sama memiliki seorang budak itu, maka kewajiban bagi Imam untuk membayar ganti rugi bagian dari pemilik lain dan memerdekakan budak itu. Ketentuan ini eksplisit mengenai budak pria, tetapi dengan ‘analogi yang jelas’ ketentuan yang sama diterapkan kepada budak wanita. Perbedaan jenis kelamin dalam kasus ini tidak memiliki konsekuensi dalam kaitan dengan pemerdekaan mereka.
2.      Qiyas Khafi (analog yang tersembunyi)
Berbeda dari corak analogi yang jelas, karena penghilangan ketidaksesuaian antara asl dan far’ hanya dengan dalil zanni. Syawkani mengilustrasikan hal ini dengan merujuk kepada dua jenis khamr, yaitu nabiz dan khamr. Yang pertama diperoleh dari kurma dan yang terakhir dari anggur. Ketentuan larangan secara analogis diperlas kepada nabiz meskipun beberapa perbedaan di antara keduanya. Contoh lain dari qiyas khafi adalah perluasan, oleh jumhur ulama (kecuali Hanafi), ketentuan hukuman zina kepada homoseksual, sekalipun ada perbedaan di antara kedua kasus ini. Dan akhirnya, analisis diatas menunjukkan bahwa qiyas khafi dan qiyas al-adna secara substansial adalah sama.[8]

E.       Illat Hukum
Sebagian ulama Ushul Fiqh menganggap sama pengertian Illat dan sebab adalah suatu sifat/ keadaan yang menjadi landasan alasan hukum adanya hukum. Tetapi menurut mayoritas ulama Ushul Fiqh, bahwa kalau hubungan penyebab dengan hukum ada relevansinya yang bisa dicapai oleh akal maka disebut sebab dan juga illat. Misalnya hukum boleh tidak berpuasa karena sakit atau berpergian. Dan kalau hubungan antara peyebab dengan hukumnya tidak bisa dijangkau oleh akal, maka disebut sebab bukan illat. Misalnya wajib berpuasa Ramadhan karena telah tiba bulan Ramadhan. Jelaslah bahwa semua illat bisa disebut sebab tetapi tidak semua sebab bisa disebut illat.[9]
a.         Syarat-Syarat Illat
Ada tiga syarat Illat yaitu sebagai berikut:
1.      Hendaknya Illat itu berturut-turut, artinya jika illat itu ada, maka dengan sendirinya hukumpun ada.
2.      Dan sebaliknya apabila hukum ada, illatpun ada.
3.      Illat jangan menyalahi nash, karena illat itu tidak dapat mengalahkannya, maka dengan demikian tentu nash lebih dulu mengalahkan illat.[10]
Contoh:
Sebagian ulama berpendapat bahwa perempuan dapat melakukan nikah tanpa izin walinya (tanpa wali, dengan alasan bahwa perempuan dapat memiliki dirinya diqiyaskan kepada kebolehan menjual harta bendanya sendiri. Qiyas tersebut tidak dapat diterima karena berlawanan dengan nash hadist Nabi SAW:
ايماامرأة نكحت بغير اذن وليها فنكا حهاباطل.
Barangsiapa perempuan menikah dengan tidak seizin walinya (tanpa wali), maka nikahnya batal”. (HR. Ibnu Hibban dan Hakim)[11]
b.        Cara mengetahui illat dalam Qiyas (masalik al-‘illat)
1.    Berdasarkan dengan nash sharih (nash yang tegas) Illat yang ditunjukan oleh nash adakalanya jelas (sharih), dan adakalanya dengan isyarat. Illat yang ditunjukan oleh nash itu sendiri.
2.    Dengan Ijma’ Apabila Ijma’ itu qath’i dan datangnya kepada kita juga qath’i, dan adanya illat itu dalam cabang juga demikian serta tidak ada dalil yang menentangnya, maka hukumnya qath’i.
3.    Dengan istinbath / penelitian dengan cara ini dapat ditempuh melalui beberapa bentuk:
a.    Al-Munasabah, yaitu mencari persesuaian antara suatu sifat dengan perintah atau larangan yang membawa kemanfaatan atau menolak kemadharatan bagi manusia.
b.    Al-Sabru wa al-Taqsim, yaitu dengan cara meneliti dan mencari illat, melalui menghitung-hitung dan memisah-misahkan sifat pada pokok, diambil illat hukumnya dan dipisahkan yang bukan illat hukumnya.
c.    Takhrijul Manath (menggali sifat yang menjadi sandaran hukum). Yaitu usaha menemukan sifat yang pantas menjadi ‘illat hukum atau mencari dan mengeluarkan illat sampai diketahui, apabila illatnya tidak diketahui baik dengan nash maupun dengan Ijma’. Hal ini dilakukan apabila nash hukum tidak menjelaskan ‘illat baik secara ungkapan langsung, isyarat atau tanda dan tidak ada kesepakatan para ulama tentang ‘illat itu. Sebagai contoh menetapkan pembunuhan yang diancam dengan hukuman qishash ialah pembunuhan yang dilakukan dengan alat atau senjata yang biasanya mematikan. Oleh sebab itu, hukuman qishash tetap diberlakukan pada setiap kasus pembunuhan yang menggunakan senjata, baik senjata selalu dipakai maupun sudah tidak pernah dipakai.
d.   Tanqihu Manath (menyeleksi sifat yang menjadi sandaran hukum).. Yaitu mengenali sifat-sifat yang terkandung dalam hukum, lalu memilih salah satu sifat yang paling tepat dan patut dijadikan ‘illat hukum, sementara sifat-sifat yang kurang korelatif dengan hukum disingkirkan. Dengan demikian mujtahid menetapkan satu sifat saja sebagai ‘illat hukum, contoh dari kasus seorang sahabat yang menggauli isterinya pada siang hari Ramadhan yang pernah ditetapkan oleh Rasulullah.
e.    Tahqiqul manath (mengukuhkan sifat yang menjadi sandaran hukum). Yaitu meneliti apakah sifat yang sudah diketahui unsur-unsurnya itu terdapat dalan kasus-kasus yang sesuai dan tercakup dalam keumuman pengertiannya . contoh sifat adil adalah syarat muutlak berhubungan langsung dengan sahnya menjadi saksi, akan tetapi untuk mengetahui adil atau tidaknya seseorang hanya dapat diketahui melalui pembuktian dalam ijtihad.

F.       Sejarah Tumbuh dan Berkembangnya Qiyas
Adapun terkait dengan sejarah kemunculan qiyas sebagai bentuk penalaran yang sstematis dalam hukum Islam. Berawal dari penggunaan pendapat pribadi (ra’yu) dalam kasus-kasus yang terunkap oleh nash yang jelas. Penggunaan ra’yu yang benar untuk menyelesaikan masalah-masalah penting. Sesungguhnya sudah umum di Arabia pra Islam orang-orang yang mempunyai pendapat (dzul ra’yu) dan orang-orang yang lemah fikiran (mufannad) merupakan dua kategori manusia yang berada dalam penalaran. Karena itu penggunaan ra’yu bukanlah sesuatu yang baru dalam Islam. Al-Quran tentu saja menyinggung penggunaannya oleh Nabi dan menunjukkan pentingnya qiyas dalam sejarah kuno. Al-Quran memberikan penekanan yang sangat besar pada penggunaan rasio. Penegasannya berulang-ulang tentang berfikir dan berefleksi dan penyebutan yang sporadic tentang ratio (illat, alasan) dan tujuan perintah-perintah mengharuskan penggunaan ra’yu.
Dugaaan J. Schacht, bahwa teori qiyas dalam hukum Islam dipengaruhi oleh logika Yunani dan hukum Romawi, mungkin benar. Tetapi ia tidak memberikan bukti positif yang menunjukkan bahwa fuqoha muslim telah meminjam ajaran ini, konsep dan metodenya Yahudi atau mereka dipengaruhi oleh ajaran retorika Romawi atau Yunani. Begitu juga ajaran konsep dan kesamaan dalam teknik pembahasan, tidak membuktikan bahwa ynag satu meminjam dari yang lain.[12]
Oleh karena itu, sejumlah contoh dari al-Quran dimana ketetapan-ketetapan yang didasarkan pada qiyas sangat jelas, dan bukti yang memadai untuk menunjukkan bahwa penggunaan ra’yu, pengambilan ketetapan hukum berdasarkan qiyas dan argumen diskursif telah menjadi bagian penting dalam penalaran hukum yang dilakukan oleh para sahabat dan fuqoha awal. Sejumlah bukti telah menunjukkan bahwa Nabi sendiri dalam ajaran-ajarannya menggunakan qiyas, meskipun tidak dalam pengertian teknis.
Nabi sendiri berperan sebagai otoritas hukum Madinah, diriwayatkan. Ia banyak menunjuk sejumlah sahabatnya sebagai hakim di Wilayah Arabia. Penyelesaian perselisihan secara alami menuntut penggunaan akal ra’yu.
Dalam catatan Fazlurrahman,[13] seiring dengan perkembangan zaman dan situasi, instrumen yang dipergunakan oleh generasi muslim di masa lampau, sehingga teladan Nabi dapat kian berkembang menjadi sebuah peraturan yang tegas dan khusus terhadap tingkah laku manusia, adalah aktivitas pemikiran bebas secara pribadi dan bertanggung jawab. Pemikiran rasional yang disebut ra’yu, ini banyak sekali menghasilkan ide-ide di bidang hukum, relegius dan moral kira-kira pada abad pertama dan penggal pertama abad kedua hijriyah. Tetapi disamping kelimpahan ide-ide tersebut, produk aktivitas ini menjadi kacau, yaitu sunnah di daerah-daerah yang berbeda: Hijaz, Irak, Mesir dan sebagainya menjadi berbeda hampir dalam semua detail-detailnya.
Karena menhadapi konflik pemikiran yang bebas yang tak berkesudahan ini, Ibn al-Muqaffa (140 H) mendeklarasikan bahwa Sunnah Nabi yang disepakati secara bersama tidak ada dan menyarankan agar khalifah harus melaksanakan ijtihadnya sendiri. Tetapi tokoh-tokoh intelektual dan agama di antara umat muslimin memiliki pendapat yang berbeda. Pemikiran bebas secara individual (ra’yu) telah memungkinkan pemikiran yang lebih sistematis terhadap al-Quran  dan terhadap Sunnah yang sudah ada. Pemikiran sistematis ini disebut qiyas.
Oleh karena itu, diantara al-Qur’an dan “Sunnah Ideal” di satu pihak dengan “Ijma’ atau Sunnah” dalam pengertian sebagai praktek yang disepakati bersama. Di pihak lain, tidak terdapat aktivitas qiyas atau ijtihad. Imam Malik dalam karyanya “Muwattha’” memenuhi paragraph-paragraph kitabnya dengan ijtihadnya sendiri. Walaupun ia tak henti-hentinya menyerukan “praktek yang dilakukan kaum muslimin di Madinah”. Ahmad Hasan menambahkan, nampaknya ra’yu merupakan istilah umum (generic) yang menggambarkan penalaran-penalaran yang sering digunakan oleh mazha-mazhab hukum awal sebelum as-Syafi’i (w.240 H). Selama fase-fase perkembangannya. Ra’yu berkembang menjadi beberapa nama, yakni qiyas (analogi), istihsan, istislah (kepentingan umum) dan istishab (mengambil keputusan berdasarkan kondisi yang menyertai). Dalam periode belakangan, penekanan diberikan pada penalaran yang didasarkan pada teks (nash). Gerakan ini meskipun muncul agak lebih awal, diluncurkan oleh Syafi’i, yang berpuncak pada munculnya mazhab-mazhab literalis (zahiriyah) Dawud dan Ibn Hazm. Ra’yu ditolak baik karena dikritik kaum tradisionalis (muhaddisin) yang tajam, maupun karena penalaran steroetipe fuqaha klasik. Prinsip qiyas pada akhirnya, menggantikan ra’yu dan menjadi diakui sebagai ijtihad.

G.      Relevansi Qiyas Dalam Perkembangan Hukum Kontemporer
Penggunaan Qiyas dalam perkembangan hukum kontemporer sangatlah berperan penting. Seperti yang dikutip penulis sebagai berikut:
“Sabda Nabi SAW ketika beliau mengutus Mu’adz ra. ke Yaman, maka Nabi bertanya kepadanya: ’’Dengan apa kamu menetapkan perkara yang datang kepadamu?‘’. Kata Mu’adz: “Saya memberi keputusan dengan Kitab Allah”. Nabi bersabda: “Kalau kamu tidak mendapat pada Kitab Allah”. Mu’adz menjawab: ’’Dengan Sunnah Rasul”. Nabi bertanya lagi: ’’Kalau pada Kitab Allah dan Sunnah Rasul tidak kau dapati?”. Mu’adz menjawab: “Saya berijtihad dengan pendapat saya dan saya tidak akan kembali”.
Kemudian Rasulullah menepuk dadanya (bergirang hati) sambil bersabda: “Alhamdulillah Allah telah memberi taufiq kepada pesuruh Rasulullah sesuai dengan keridhaan Rasulullah”. (HR. Ahmad, Abu Daud, at-Tirmidzi yang mereka menyatakan, bahwa qiyas itu masuk ijtihad ra’yu juga).
a.         Hukum Narkotika dan Sejenisnya
Hukum Narkotika tidak dibicarakan dalam al-Qur’an sebab Narkotika merupakan kasus yang baru sehingga dalam menetapkan hukumnya Narkotika diqiyaskan kepada Khamar yang hukumnya diharamkan dengan sebab dapat memabukkan, menghilangkan akal, kecanduan, sehingga lebih banyak mudharat nya terhadap diri sendiri daripada mafsadahnya.
QS. Al-Baqarah: 219
يسئلونك عن الخمر والميسر قلى قل فيهمآاثم كبير و منافع للناس واثمهمآ اكبر من نفعهما قلى
Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah: pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya.

QS. Al-Maidah: 90
يأايها الذين امنوآ انما الخمر والميسر والانصاب والازلام رجس من عمل الشيطن فاجتنبوه لعلكم تفلحون[14]
Wahai orang-orang yang beriman. Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkorban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung.
Riwayat dari Ibnu ‘Umar secara Marfu’:
كل مسكر حرام, وكل حمر حرام.
Semua yang memabukkan adalah Haram, dan semua Khamar adalah Haram”. (HR. Muslim III/1587 no.2003).
Diharamkannya الخمر والميسر والانصاب والازلام  dikarenakan menurut riwayat Ibnu Abbas ayat ini diturunkan berkenaan dengan peristiwa yang menimpa dua suku (kabilah) kaum Anshar yang hidup damai. Namun, jika mereka dalam keadaan mabuk karena minuman keras, mereka saling mengganggu dan berkelahi. Perasaan inilah yang memunculkan dendam kesumat mereka terhadap golongan lain. (HR. Nasai dan Baihaqi).
Begitu pula Narkoba, bagi pengguna Narkoba yang sudah menjadi pecandu berat tidak menutup kemungkinan kasus tindak pidana yang terjadi pada Negara kita dewasa ini kebanyakan karena pengguna Narkoba. Bahaya yang dapat terjadi bagi pengguna Narkoba merusak kesehatan dan bahaya yang paling kompleks sehingga mengganggu keamanan lingkungan bahwa pengguna Narkoba dapat melakukan pembunuhan, pemerkosaan dan tindak pidana lainnya sehingaa dalam hukum publik di Indonesia yaitu UU No.22 tahun 1997 tentang Narkotika telah diatur secara signifikan mengenai sanksi-sanksi para pengguna Narkotika. Oleh sebab itu Narkoba diqiyaskan kepada Khamr yang hukum nya Haram dengan sebab-sebab memabukkan, menjadikan kecanduan serta memiliki mudharat yang lebih besar.
Ashal
Far’u
Illat
Hukum
Khamar
Narkoba/ Narkotika
Memabukkan, Menghilangkan Akal serta lebih besar mudharatnya.
Haram

b.        Hukum Berobat Dengan Arak
Sesuai dengan sabda Rasulullah SAW:
إن الله أنزل الداء والدواء وجعل لكم داء دواء فتدا وواولا تدا ووا بحرام.
Sesungguhnya Allah telah menurunkan penyakit dan obat, dan menjadikan untuk kemu bahwa tiap penyakit ada obatnya, oleh karena itu berobatlah, tetapi jangan berobat dengan yang haram .(HR. Abu Daud)[15]
c.         Hukum Merokok
Merokok merupakan suatu yang menjadi kebiasaan bagi masyarakat Indonesia pada umumnya, tanpa menyadari bahaya yang akan timbul dari rokok tersebut. Sebagian ulama mengaharamkan, sebagian ulama membolehkan dan sebagian ulama membolehkan dengan syarat. Ikhtilaf ulama tersebut terjadi dikarenakan hukum merokok tidak terdapat dalam al-Qur’an.
Adapun Ulama mengeluarkan pendapat bahwa merokok haram secara mutlak, karena rokok diqiyaskan kepada sesuatu yang mubajir sebagaimana firman Allah SWT QS. al-Isra’: 26-27 sebagai berikut:
وَءَاتِ ذَا ٱلۡقُرۡبَىٰ حَقَّهُۥ وَٱلۡمِسۡكِينَ وَٱبۡنَ ٱلسَّبِيلِ وَلَا تُبَذِّرۡ تَبۡذِيرًا ٢٦ إِنَّ ٱلۡمُبَذِّرِينَ كَانُوٓاْ إِخۡوَٰنَ ٱلشَّيَٰطِينِۖ وَكَانَ ٱلشَّيۡطَٰنُ لِرَبِّهِۦ كَفُورا ٢٧
“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya”.
Rokok diqiyaskan dengan sesuatu yang khaba’is yang bermakna segala sesuatu yang buruk. Sebagaimana firman Allah dalam QS. al-A’raf: 157 sebagai berikut:
ٱلَّذِينَ يَتَّبِعُونَ ٱلرَّسُولَ ٱلنَّبِيَّ ٱلۡأُمِّيَّ ٱلَّذِي يَجِدُونَهُۥ مَكۡتُوبًا عِندَهُمۡ فِي ٱلتَّوۡرَىٰةِ وَٱلۡإِنجِيلِ يَأۡمُرُهُم بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَيَنۡهَىٰهُمۡ عَنِ ٱلۡمُنكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ ٱلطَّيِّبَٰتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيۡهِمُ ٱلۡخَبَٰٓئِثَ وَيَضَعُ عَنۡهُمۡ إِصۡرَهُمۡ وَٱلۡأَغۡلَٰلَ ٱلَّتِي كَانَتۡ عَلَيۡهِمۡۚ فَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ بِهِۦ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَٱتَّبَعُواْ ٱلنُّورَ ٱلَّذِيٓ أُنزِلَ مَعَهُۥٓ أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ ١٥٧
        (Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka itulah orang-orang yang beruntung”

BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat disimpulkan sebagai berikut:
Qiyas merupakan perluasan nilai syari’ah yang terdapat dalam kasus asal, atau asl, kepada kasus baru karena yang disebut mempunyai kausa (‘illat) yang sama dengan disebut pertama. Kasus asal ditentukan oleh nas yang ada dan qiyas berusaha memperluas ketentuan tekstual tersebut kepada kasus yang baru. Dengan adanya kesaman kausa (‘illat) antara kasus asal dan kasus baru, maka penerapan qiyas mendapat justifikasi. Diantara al-Qur’an dan “Sunnah Ideal” di satu pihak dengan “Ijma’ atau Sunnah” dalam pengertian sebagai praktek yang disepakati bersama. Di pihak lain, tidak terdapat aktivitas qiyas atau ijtihad sifatnya dharurat, sehingga memerlukan syarat-syarat dan metode untuk menyamakan dan menyerupakan hukum yang belum ada nashnya tersebut ke dalam hukum yang telah ada nashnya.

DAFTAR PUSTAKA

Kamali, Muhammad Hasyim, Prinsip Dan Teori-Teori Hukum Islam (Usul Al-Fiqh), terj. Noorhaidi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.

Hasan, Ahmad, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, terj. Agah Garnadi, Bandung: Pustaka, 1984.

Yahya, Mukhtar dan Fathur Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Islami, Bandung: PT Al-Ma’arif, 1986, Cet.ke-1.

Zuhdi, Masjfuk, Pengantar Hukum Syari’ah, Jakarta: Haji Masagung, 1990, Cet.ke-2.
Al-Mahalli, Imam Jalaluddin dan Imam Jalaluddi As-Suyuthi, Tafsir Jalalain Berikut Asbaabun Nuzuul Ayat Surat Al-Faatihah s.d. Surat Al-An’am, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1996, Jilid 4.

Fazlurrahman, Membuka Pintu Ijtihad, Bandung: PUSTAKA, 1984), Cet. Ke-2.
Agama RI,  Departemen, Al-Hidayah Al-Qur’an Tafsir Perkata Tajwid Kode Angka, Banten: PT Kalim, t.t.

Al-Ghazali, Imam, Benang Tipis Antara Halal dan Haram, Surabaya: Putra Pelajar, 2002.

Rifa’I, Moh., Ilmu Fiqih Islam Lengkap, Semarang: PT Karya Toha Putra, 1978.




[1] Muhammad Hasyim Kamali, Prinsip Dan Teori-Teori Hukum Islam (Usul Al-Fiqh), terj. Noorhaidi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 255.
[2] Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, terj. Agah Garnadi (Bandung: Pustaka, 1984), h. 125.
[3] Muhammad Hasyim Kamali, Prinsip Dan Teori-Teori Hukum Islam (Usul Al-Fiqh), terj. Noorhaidi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 280-282.
[4]Mukhtar Yahya dan Fathur Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Islami (Bandung: PT Al-Ma’arif, 1986), Cet.ke-1, h. 78-79.
[5] Masjfuk Zuhdi, Pengantar Hukum Syari’ah (Jakarta: Haji Masagung, 1990), Cet.ke-2, h. 77-79.
[6] Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddi As-Suyuthi, Tafsir Jalalain Berikut Asbaabun Nuzuul Ayat Surat Al-Faatihah s.d. Surat Al-An’am (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1996), Jilid 4, h. 323.
[7] Muhammad Hasyim Kamali, Prinsip Dan Teori-Teori Hukum Islam (Usul Al-Fiqh), h. 277-279.
[8] Muhammad Hasyim Kamali, Prinsip Dan Teori-Teori Hukum Islam (Usul Al-Fiqh), h. 279-280.
[9] Masjfuk Zuhdi, Pengantar Hukum Syari’ah, h. 79.
[10] Moh. Rifa’I, Ilmu Fiqih Islam Lengkap (Semarang: PT Karya Toha Putra, 1978), h.44.
[11] Moh. Rifa’I, Ilmu Fiqih Islam Lengkap, h. 44.
[12] Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, terj. Agah Garnadi, h. 126.
[13] Fazlurrahman, Membuka Pintu Ijtihad (Bandung: PUSTAKA, 1984), Cet. Ke-2, h. 20-21.
[14] Departemen Agama RI, Al-Hidayah Al-Qur’an Tafsir Perkata Tajwid Kode Angka (Banten: PT Kalim, t.t.), h. 124.
[15] Imam Al-Ghazali, Benang Tipis Antara Halal dan Haram ( Surabaya: Putra Pelajar, 2002), h. 127.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar