BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Qiyas
merupakan sumber hukum Islam setelah Ijma’ yang disepakati oleh Syafi’i. Qiyas
merupakan analogi terhadap kasus-kasus hukum yang belum ada nashnya, sehingga
dibutuhkan penalaran, rasio untuk menyamakan atau menyerupakan kasus/ perkara
yang belum ada pada masa sebelumnya, namun memiliki kesamaan dalah sebab,
manfaat, bahaya, dan berbagai aspek lain dengan perkara yang terdahulu sehingga
dihukumi sama dengan hukum yang telah ada nashnya. Untuk menentukan qiyas
terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi. Dalam Islam Ijma’ dan Qiyas
sifatnya dharurat, mengingat berkembangnya zaman sehingga terdapat hal-hal yang
ternyata belum ditetapkan pada masa-masa sebelumnya. Berikut penulis akan
menjabarkan secara rinci mengenai Qiyas.
B.
Rumusan Masalah
Adapun
rumusan masalah yang tercantum dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:
a.
Apa
Makna Qiyas?
b.
Apa
Dalil Kehujjahan Qiyas?
c.
Apa
Rukun Qiyas?
d.
Apa
Macam-macam Qiyas?
e.
Bagaimana
Illat Hukum?
f.
Bagaimana
Sejarah Tumbuh dan Berkembangnya Qiyas?
g.
Bagaimana
Relevansi Qiyas Dalam Perkembangan Hukum Kontemporer?
C.
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini
sebagai berikut:
a.
Untuk
Mengetahui Makna Qiyas.
b.
Untuk
Mengetahui Dalil Kehujjahan Qiyas.
c.
Untuk
mMengetahu Rukun Qiyas.
d.
Untuk
Mengetahui Macam-Macam Qiyas
e.
Untuk
Mengetahui Illat Hukum.
f.
Untuk
Mengetahui Sejarah Tumbuh dan Berkembangnya Qiyas.
g.
Untuk
Mengetahui Relevansi Qiyas Dalam Perkembangan Hukum Kontemporer.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Makna Qiyas
Secara
harfiyah qiyas bermakna mengukur atau memastikan panjang, berat atau kualitas
sesuatu. Itulah mengapa skala disebut dengan miqyas. Oleh sebab itu,
ungkapan bahasa Arab qasat al-sawb bi’ l-zira bermakna ‘pakaian itu
diukur dengan meteren’. Qiyas juga bermakna perbandingan, dalam rangka memberi
kesan kesamaan atau kemiripan antara dua hal. Oleh karena itu, ungkapan Zayd
yuqas ila Khalid fi aqlihi wa nasabihi bermakna ‘Zayd diperbandingkan dengan
Khalid soal intelejensi dan keturunannya. Dengan demikian, qiyas memberi kesan
kesamaan atau kemiripan antara dua hal, yang salah satunya dipakai sebagai
kriteria untuk mengukur yang lain.
Dari
segi teknis, qiyas merupakan perluasan nilai syari’ah yang terdapat dalam kasus
asal, atau asl, kepada kasus baru karena yang disebut mempunyai kausa (‘illat)
yang sama dengan disebut pertama. Kasus asal ditentukan oleh nas yang ada dan
qiyas berusaha memperluas ketentuan tekstual tersebut kepada kasus yang baru.
Dengan adanya kesaman kausa (‘illat) antara kasus asal dan kasus baru,
maka penerapan qiyas mendapat justifikasi.
Pemakaian
analogi hanya dibenarkan apabila jalan keluar dari kasus baru tidak ditemukan
dalam al-Quran, sunnah, atau ijma’ yang tergolong qat’i. akan menjadi sia-sia
untuk menggunakan qiyas apabila kasus yang baru dapat terjawab oleh ketentuan
yang telah ada.[1]
Prof.
Shacht menyakini bahwa Qiyas diturunkan dari Istilah tafsiran Yahudi biqqish,
infinitifnya beqqes, dari akar kata bahasa Aramea nqsh, yang
berarti “memukuli bersama-sama”. Lebih lanjut ia menyatakan: “kata ini
dipergunakan: (a) dalam penjajaran dua pokok masalah dalam Bibel, dan
menunjukkan bahwa keduanya harus diperlakukan dengan cara yag sama; (b) mengenai
kegiatan penafsir yang membuat perbandingan dengan menggunakan teks yang
tertulis; (c) untuk suatu kesimpulan dengan menggunakan analogi.[2]
B.
Dalil Kehujjahan Qiyas
Al-Qur’an
a.
QS.
An-Nisa’: 59 sebagai berikut:
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِي
ٱلۡأَمۡرِ مِنكُمۡۖ فَإِن تَنَٰزَعۡتُمۡ فِي شَيۡء فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ
وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۚ ذَٰلِكَ
خَيۡر وَأَحۡسَنُ تَأۡوِيلً٥٩
Dalam
ayat tersebut Tuhan memerintahkan kepada orang-orang Mu’min, bila terjadi
perselisihan terhadap perihal suatu hukum yang di dalam al-Qur’an, As-Sunnah
dan putusan orang-orang yang diserahi kekuasaan tidak ada, maka hendaklah
dikembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak ragu lagi bahwa menyamakan hukum
suatu peristiwa tidak ada nashnya, lantaran adanya persamaan 'illat hukumnya
adalah termasuk mengambalikan suatu peristiwa yang tidak ada nashnya, kepada
Allah dan Rasul-Nya. Sebab yang demikian itu berarti mengikuti kepada hukum
Allah dan Rasul-Nya.
b.
QS.
An-Nisa’: 105 sebagai berikut:
إِنَّآ أَنزَلۡنَآ
إِلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ بِٱلۡحَقِّ لِتَحۡكُمَ بَيۡنَ ٱلنَّاسِ بِمَآ أَرَىٰكَ
ٱللَّهُۚ وَلَا تَكُن لِّلۡخَآئِنِينَ خَصِيما
١٠٥
Merupakan
jalan penalaran yang sama dengan QS. An-Nisa’: 59 dalam QS. An-Nisa’: 105
dijelaskan bahwa pengadilan harus berpedoman pada tuntutan yang Allah berikan
atau pada yang memiliki kemiripan dengannya.
Qur’an
sering mengidentifikasikan alasan hukum-hukumnya baik secara eksplisit maupun
implisit atau dengan merujuk kepada tujuan-tujuannya. Alasan hukum qishas,
misalnya alaha melindungi nyawa orang, dan hal ini secara jelas ditetapkan
dalam nash.
c.
QS.
Al-Baqarah: 79
فَوَيۡل
لِّلَّذِينَ يَكۡتُبُونَ ٱلۡكِتَٰبَ بِأَيۡدِيهِمۡ ثُمَّ يَقُولُونَ هَٰذَا مِنۡ
عِندِ ٱللَّهِ لِيَشۡتَرُواْ بِهِۦ ثَمَنا قَلِيلاۖ فَوَيۡل لَّهُم مِّمَّا كَتَبَتۡ
أَيۡدِيهِمۡ وَوَيۡل لَّهُم مِّمَّا يَكۡسِبُونَ٧٩
Demikan
juga, alasan zakat adalah untuk mencegah bertumpunya kekayaan di tangan
segelintir orang yang secara jelas ditetapkan dalam al-Qur’an.
d.
QS.
Al-Hashr:7 sebagai berikut:
مَّآ
أَفَآءَ ٱللَّهُ عَلَىٰ رَسُولِهِۦ مِنۡ أَهۡلِ ٱلۡقُرَىٰ فَلِلَّهِ
وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡيَتَٰمَىٰ وَٱلۡمَسَٰكِينِ وَٱبۡنِ
ٱلسَّبِيلِ كَيۡ لَا يَكُونَ دُولَةَۢ بَيۡنَ ٱلۡأَغۡنِيَآءِ مِنكُمۡۚ وَمَآ
ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَىٰكُمۡ عَنۡهُ فَٱنتَهُواْۚ
وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلۡعِقَابِ٧
Pada
bagian lain dalam al-Qur’an kita membaca ayat tentang kebolehan tayamum bahwa
Allah tidak bermaksud memaksakan kesulitan bagi kamu.
e.
QS.
Al-Maidah: 6 sebagai berikut:
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا قُمۡتُمۡ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغۡسِلُواْ وُجُوهَكُمۡ
وَأَيۡدِيَكُمۡ إِلَى ٱلۡمَرَافِقِ وَٱمۡسَحُواْ بِرُءُوسِكُمۡ وَأَرۡجُلَكُمۡ
إِلَى ٱلۡكَعۡبَيۡنِۚ وَإِن كُنتُمۡ جُنُبا فَٱطَّهَّرُواْۚ وَإِن كُنتُم
مَّرۡضَىٰٓ أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوۡ جَآءَ أَحَد مِّنكُم مِّنَ ٱلۡغَآئِطِ أَوۡ
لَٰمَسۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَلَمۡ تَجِدُواْ مَآء فَتَيَمَّمُواْ صَعِيدا طَيِّبا فَٱمۡسَحُواْ
بِوُجُوهِكُمۡ وَأَيۡدِيكُم مِّنۡهُۚ مَا يُرِيدُ ٱللَّهُ لِيَجۡعَلَ عَلَيۡكُم
مِّنۡ حَرَج وَلَٰكِن يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمۡ وَلِيُتِمَّ نِعۡمَتَهُۥ عَلَيۡكُمۡ
لَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ٦
Pada semua contoh ini, Quran memberikan
indikasi-indikasi yang jelas yang meminta digunakannya qiyas. Ketika tidak ada
ketentuan yang jelas dalam nash, maka qiyas harus digunakan untuk mencapai
tujuan-tujuan umum dari Pemberi hukum. Karena itu dapatlah disimpulkan bahwa
indikasi alasan-alasa, tujuan, kesamaan dan perbedaan-perbedaan adalah tidak
berarti apabila hal itu tidak diteliti dan diikuti sebagai pedoman dalam
menentukan ahkam.
Pendukung-pendukung qiyas juga mengutip,
untuk mendukung pendapat mereka sebagai berikut:
a.
QS.
Al-Hasr: 2
هُوَ ٱلَّذِيٓ
أَخۡرَجَ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ مِنۡ أَهۡلِ ٱلۡكِتَٰبِ مِن دِيَٰرِهِمۡ لِأَوَّلِ
ٱلۡحَشۡرِۚ مَا ظَنَنتُمۡ أَن يَخۡرُجُواْۖ وَظَنُّوٓاْ أَنَّهُم مَّانِعَتُهُمۡ
حُصُونُهُم مِّنَ ٱللَّهِ فَأَتَىٰهُمُ ٱللَّهُ مِنۡ حَيۡثُ لَمۡ يَحۡتَسِبُواْۖ
وَقَذَفَ فِي قُلُوبِهِمُ ٱلرُّعۡبَۚ يُخۡرِبُونَ بُيُوتَهُم بِأَيۡدِيهِمۡ
وَأَيۡدِي ٱلۡمُؤۡمِنِينَ فَٱعۡتَبِرُواْ يَٰٓأُوْلِي ٱلۡأَبۡصَٰرِ٢
Pemikiran dalam konteks ini bermakna
memperhatikan kesamaan-kesamaan dan perbedaan antara dua hal yang serupa.
Terdapat dua jenis indikasi dalam sunnah
yang dirujuk oleh pendukung-pendukung qiyas:
a.
Qiyas
adalah bentuk ijtihad.
b.
Sunnah
memberikan bukti bahwa Nabi menggunakan nalar analogis pada
kesempatan-kesempatan ketika dia tidak menerima wahyu tentang suatu persoalan.[3]
C.
Rukun Qiyas
Qiyas mempunyai
4 (empat) rukun sebagai berikut:
a.
Ashal
(Pokok), yaitu suatu peristiwa yang sudah
ada nashnya yang dijadikan tempat mengqiyaskan. Ashal itu juga disebut dengan maqish
‘alaih (yang dijadikan tempat mengqiyaskan) atau mahmul ‘alaih
(tempat membandingkannya atau syabbah bih (tempat menyerupakannya).
b.
Far’u
(Cabang), yaitu peristiwa yang tidak ada
nashnya itulah yang dikehendaki untuk disamakan hukumnya dengan ashalny. Ia
juga disebut maqish (diqiyaskan) dan musyabbah (yang
diserupakan).
c.
Hukum
Ashal, yaitu hukum syara’ yang ditetapkan
oleh suatu nash dan dikehendaki untuk menetapkan hukum itu kepada cabangnya.
d.
Illat, yaitu suatu sifat yang terdapat pada peristiwa yang ashal. Karena
adanya sifat itu, maka peristiwa ashal itu mempunyai suatu hukum dan oleh
karena sifat itu terdapat pula pada cabang, maka disamakanlah hukum cabang itu
dengan hukum peristiwa yang ashal.
Sebagai
contoh misalnya mencari hukum nabidz tamar (perasan kurma) dengan
mengqiyaskannya kepada khamr. Meminum khamar adalah Ashal yang sudah ada
nash hukumnya. Sedangkan nabidz tamar adalah far’u (cabang) yang hendak
dicari hukumnya, karena tidak ada nashnya. Dalam contoh tersebut ashal dan
far’u mempunyai ‘illat yang sama, yakni sifat yang memabukkan. Oleh
karena itu ‘illat yang terdapat pada nabidz tamar sama dengan ‘illat yang
terdapat pada khamar. Maka disamakanlah hukum meminum nabidz tamar dengan
meminum khamar yang dijadikan tempat mengqiyaskannya.
Mengenai
rukun qiyas yang pertama dan kedua yakni ashal dan far’u, adalah dua hal
(peristiwa) yang sudah ditunjuk hukumnya oleh nash.[4]
Mengenai
rukun qiyas ketiga yakni hukum ashal maka untuk berlakunya hukum pokok pada
cabang ada syarat-syaratnya. Setiap tidak setiap hukum syara’ yang ditetapkan
nash untuk suatu masalah itu bisa diterapkan pada masalah lain engan jalan
qiyas tetapi harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1.
Hukum
syara’ pada pokok harus ditetapkan dengan nash al-Quran atau Sunnah.
2.
Hukum
syara’ pada pokoknya harus bisa dijangkau oleh akal untuk memahami illatnya. Sebab
jika tidak bisa menangkap illatnya, kita tidak bisa menggunakan qiyas, karena
landasan qiyas adalah illat hukumnya yang bisa kita tangkap.
3.
Hukum
syara’ pokok bersifat umum bukan merupakan hal yang kusus atau pengecualian.
Misalnya larangan mengawini istri Nabi setelah Nabi wafat, dan kesaksian dalam
peradilan yang cukup seorang saksi saja, yakni sahabat Khuzaimah bin Tsabit.
من
شهد له خزيمة فهو حسبه
“Barang
siapa disaksikan oleh Khuzaimah, maka cukuplah”
Jelaslah
itu merupakan masalah khusus (pengecualian) sehingga tidak bisa diqiyaskan
dengan kesaksian oranglain.[5]
D.
Macam-Macam Qiyas
Dari
sudut kuat atau lemahnya ‘illah, fuqaha-fuqaha Syafi’i membagi qiyas ke dalam
tiga jenis, yaitu:
a.
Qiyas
al-Awla (Analogi yang lebih kuat).
‘Illah dari
qiyas jenis ini lebih jelas dari kasus baru ketimbang kasus asal, itulah
mengapa disebut Qiyas al-Awla Misalnya, kita dapat melihat kepada ayat
al-Quran Surah al-Isra: 23 sebagai berikut:
وقضى
ربك الا اياه وبالولدين احسنا قلى
اما يبلغن عندك الكبر احد همآ او كلهما فلا تقل لهمآ اف ولا تنهر هما وقل لهما
قولا كريما
“Janganlah berkata kepada mereka uff (sebuah kata penghinaan)
atau jangan pula memukul mereka, tetapi berkatalah kepada mereka perkataan yang
baik.
Dengan analogi bisa disimpulkan bahwa larangan memukul atau
menghardik mereka adalah lebih jelas ketimbang hinaan lisan.
Demikian juga dengan denda (kaffarah) pembunuhan yang tidak
disengaja, dengan jalan analogi, dapat diterapkan kepada pembunuhan yang
disengaja karena pelanggaran yang menuntut kaffarah lebih jelas pada
pembunuhan yang disengaja. Inilah pendapat ulama-ulama Syafi’i, tetapi
ulama-ulama Hanafi tidak menganggap contoh yang pertama sebagai corak dari qiyas,
namun hanya implikasi dari nash (dalalah al-nass) yang lebih tergolong
sebagai interpretasi ketimbang analogi. Demikian juga, ulama-ulama Hanafi tidak
mengharuskan kaffarah bagi pembunuhan yang lebih ditentukan atas dasar
interpretasi ketimbang qiyas.
b.
Qiyas
al-Musawi (Analogi Yang Sebanding).
‘Illah dari
jenis qiyas ini berlaku sama baik dalam kasus asal, karena merupakan ketentuan
yang dideduksi dengan analogi. Kami dapat mengilustrasikan hal ini dengan
merujuk kepada QS. An-Nisa’: 2 sebagai berikut:
Dengan analogi, dapat disimpulkan bahwa semua bentuk perusakan dan
kesalahan pengelolaan yang menyebabkan hilangnya harta tersebut juga dilarang.
Tetapi hal ini pun dianggap oleh ulama-ulama Hanafi lebih tergolong ke dalam
lingkup interpretasi ketimbang analogi. Contoh lain, menururut sebuah hadis,
bejana yang dijilat oleh anjing harus di cuci tujuh kali.
إذا
ولغ الكلب في الا ناء فاغسلوه سبع مرات
Ulama-ulama syafi’i memperluas ketentuan ini dengan analogi kepada
bejana yang dijilat babi. Namun demikian, ulama-ulama Hanafi sejak semula tidak
menerima hadis ini.
c.
Qiyas
al-Adna (Qiyas yang Lebih Rendah).
‘Illah bentuk
qiyas ini kurang begitu jelaspada kasus baru ketimbang kasus asal. Oleh karena
itu, tidak begitu jelas apakah kasus baru tergolong ke dalam ketentuan yang
sama seperti yang diterapkan kepada kasus asal. Misalnya, ketentuan riba
mengharamkan barter gandum dan komoditi lain yang ditentukan kecuali dengan
takaran atau timbangan yang sama dan diserahkan langsung. Dengan analogi,
ketentuan ini diperluas dengan apel, karena gandum dan apel sama-sama dimakan
(menurut fuqaha syafi’i) dan ditakar (menurut fuqaha Hanafi). Tetapi ‘illah
dari qiyas ini lebih lemah, karena apel berbeda dengan gandum, bukanlah makanan
pokok.[7]
Qiyas di bagi lagi ke dalam dua jenis:
1.
Qiyas
Jali (qiyas yang jelas)
Penyamaan
antara asl dan far’ adalah jelas, dan ketidaksesuaiannya
dihilangkan dengan dalil yang jelas. Contoh: penyamaan yang ditarik oleh ulama
antara budak pria dan budak wanita mengenai ketentuan-ketentuan pembebasan.
oleh karena itu, apabila ada dua orang bersama-sama memiliki seorang budak itu,
maka kewajiban bagi Imam untuk membayar ganti rugi bagian dari pemilik lain dan
memerdekakan budak itu. Ketentuan ini eksplisit mengenai budak pria, tetapi
dengan ‘analogi yang jelas’ ketentuan yang sama diterapkan kepada budak wanita.
Perbedaan jenis kelamin dalam kasus ini tidak memiliki konsekuensi dalam kaitan
dengan pemerdekaan mereka.
2.
Qiyas
Khafi (analog yang tersembunyi)
Berbeda dari
corak analogi yang jelas, karena penghilangan ketidaksesuaian antara asl
dan far’ hanya dengan dalil zanni. Syawkani mengilustrasikan hal
ini dengan merujuk kepada dua jenis khamr, yaitu nabiz dan khamr.
Yang pertama diperoleh dari kurma dan yang terakhir dari anggur. Ketentuan
larangan secara analogis diperlas kepada nabiz meskipun beberapa perbedaan di
antara keduanya. Contoh lain dari qiyas khafi adalah perluasan, oleh jumhur
ulama (kecuali Hanafi), ketentuan hukuman zina kepada homoseksual, sekalipun
ada perbedaan di antara kedua kasus ini. Dan akhirnya, analisis diatas
menunjukkan bahwa qiyas khafi dan qiyas al-adna secara
substansial adalah sama.[8]
E.
Illat Hukum
Sebagian
ulama Ushul Fiqh menganggap sama pengertian Illat dan sebab adalah suatu sifat/
keadaan yang menjadi landasan alasan hukum adanya hukum. Tetapi menurut
mayoritas ulama Ushul Fiqh, bahwa kalau hubungan penyebab dengan hukum ada
relevansinya yang bisa dicapai oleh akal maka disebut sebab dan juga illat.
Misalnya hukum boleh tidak berpuasa karena sakit atau berpergian. Dan kalau
hubungan antara peyebab dengan hukumnya tidak bisa dijangkau oleh akal, maka
disebut sebab bukan illat. Misalnya wajib berpuasa Ramadhan karena telah tiba
bulan Ramadhan. Jelaslah bahwa semua illat bisa disebut sebab tetapi tidak
semua sebab bisa disebut illat.[9]
a.
Syarat-Syarat
Illat
Ada tiga syarat
Illat yaitu sebagai berikut:
1.
Hendaknya
Illat itu berturut-turut, artinya jika illat itu ada, maka dengan sendirinya
hukumpun ada.
2.
Dan
sebaliknya apabila hukum ada, illatpun ada.
3.
Illat
jangan menyalahi nash, karena illat itu tidak dapat mengalahkannya, maka dengan
demikian tentu nash lebih dulu mengalahkan illat.[10]
Contoh:
Sebagian
ulama berpendapat bahwa perempuan dapat melakukan nikah tanpa izin walinya
(tanpa wali, dengan alasan bahwa perempuan dapat memiliki dirinya diqiyaskan
kepada kebolehan menjual harta bendanya sendiri. Qiyas tersebut tidak dapat
diterima karena berlawanan dengan nash hadist Nabi SAW:
ايماامرأة نكحت بغير اذن وليها فنكا
حهاباطل.
“Barangsiapa perempuan
menikah dengan tidak seizin walinya (tanpa wali), maka nikahnya batal”.
(HR. Ibnu Hibban dan Hakim)[11]
b.
Cara mengetahui illat dalam Qiyas (masalik
al-‘illat)
1. Berdasarkan
dengan nash sharih (nash yang tegas) Illat yang
ditunjukan oleh nash adakalanya jelas (sharih), dan adakalanya dengan
isyarat. Illat yang ditunjukan oleh nash itu sendiri.
2. Dengan
Ijma’ Apabila Ijma’ itu qath’i dan datangnya kepada kita juga qath’i, dan
adanya illat itu dalam cabang juga demikian serta tidak ada dalil yang
menentangnya, maka hukumnya qath’i.
3. Dengan istinbath / penelitian
dengan cara ini dapat ditempuh melalui beberapa bentuk:
a.
Al-Munasabah, yaitu mencari persesuaian antara suatu sifat
dengan perintah atau larangan yang membawa kemanfaatan atau menolak
kemadharatan bagi manusia.
b.
Al-Sabru wa al-Taqsim, yaitu dengan cara
meneliti dan mencari illat, melalui menghitung-hitung dan
memisah-misahkan sifat pada pokok, diambil illat hukumnya dan
dipisahkan yang bukan illat hukumnya.
c.
Takhrijul Manath (menggali sifat yang
menjadi sandaran hukum). Yaitu usaha menemukan sifat yang pantas menjadi ‘illat hukum
atau mencari dan mengeluarkan illat sampai diketahui, apabila illatnya tidak
diketahui baik dengan nash maupun dengan Ijma’. Hal ini dilakukan apabila nash
hukum tidak menjelaskan ‘illat baik secara ungkapan langsung, isyarat atau
tanda dan tidak ada kesepakatan para ulama tentang ‘illat itu. Sebagai contoh
menetapkan pembunuhan yang diancam dengan hukuman qishash ialah pembunuhan yang
dilakukan dengan alat atau senjata yang biasanya mematikan. Oleh sebab itu,
hukuman qishash tetap diberlakukan pada setiap kasus pembunuhan yang
menggunakan senjata, baik senjata selalu dipakai maupun sudah tidak pernah
dipakai.
d.
Tanqihu Manath (menyeleksi sifat yang
menjadi sandaran hukum).. Yaitu mengenali sifat-sifat yang terkandung dalam hukum, lalu
memilih salah satu sifat yang paling tepat dan patut dijadikan ‘illat hukum,
sementara sifat-sifat yang kurang korelatif dengan hukum disingkirkan. Dengan
demikian mujtahid menetapkan satu sifat saja sebagai ‘illat hukum, contoh dari
kasus seorang sahabat yang menggauli isterinya pada siang hari Ramadhan yang
pernah ditetapkan oleh Rasulullah.
e.
Tahqiqul manath (mengukuhkan sifat yang
menjadi sandaran hukum). Yaitu meneliti apakah sifat yang sudah diketahui
unsur-unsurnya itu terdapat dalan kasus-kasus yang sesuai dan tercakup dalam
keumuman pengertiannya . contoh sifat adil adalah syarat muutlak berhubungan
langsung dengan sahnya menjadi saksi, akan tetapi untuk mengetahui adil atau
tidaknya seseorang hanya dapat diketahui melalui pembuktian dalam ijtihad.
F.
Sejarah Tumbuh dan Berkembangnya Qiyas
Adapun
terkait dengan sejarah kemunculan qiyas sebagai bentuk penalaran yang sstematis
dalam hukum Islam. Berawal dari penggunaan pendapat pribadi (ra’yu)
dalam kasus-kasus yang terunkap oleh nash yang jelas. Penggunaan ra’yu
yang benar untuk menyelesaikan masalah-masalah penting. Sesungguhnya sudah umum
di Arabia pra Islam orang-orang yang mempunyai pendapat (dzul ra’yu) dan
orang-orang yang lemah fikiran (mufannad) merupakan dua kategori manusia
yang berada dalam penalaran. Karena itu penggunaan ra’yu bukanlah
sesuatu yang baru dalam Islam. Al-Quran tentu saja menyinggung penggunaannya
oleh Nabi dan menunjukkan pentingnya qiyas dalam sejarah kuno. Al-Quran
memberikan penekanan yang sangat besar pada penggunaan rasio. Penegasannya
berulang-ulang tentang berfikir dan berefleksi dan penyebutan yang sporadic
tentang ratio (illat, alasan) dan tujuan perintah-perintah mengharuskan
penggunaan ra’yu.
Dugaaan
J. Schacht, bahwa teori qiyas dalam hukum Islam dipengaruhi oleh logika Yunani
dan hukum Romawi, mungkin benar. Tetapi ia tidak memberikan bukti positif yang
menunjukkan bahwa fuqoha muslim telah meminjam ajaran ini, konsep dan metodenya
Yahudi atau mereka dipengaruhi oleh ajaran retorika Romawi atau Yunani. Begitu
juga ajaran konsep dan kesamaan dalam teknik pembahasan, tidak membuktikan
bahwa ynag satu meminjam dari yang lain.[12]
Oleh
karena itu, sejumlah contoh dari al-Quran dimana ketetapan-ketetapan yang
didasarkan pada qiyas sangat jelas, dan bukti yang memadai untuk menunjukkan
bahwa penggunaan ra’yu, pengambilan ketetapan hukum berdasarkan qiyas dan
argumen diskursif telah menjadi bagian penting dalam penalaran hukum yang
dilakukan oleh para sahabat dan fuqoha awal. Sejumlah bukti telah menunjukkan
bahwa Nabi sendiri dalam ajaran-ajarannya menggunakan qiyas, meskipun tidak
dalam pengertian teknis.
Nabi
sendiri berperan sebagai otoritas hukum Madinah, diriwayatkan. Ia banyak
menunjuk sejumlah sahabatnya sebagai hakim di Wilayah Arabia. Penyelesaian
perselisihan secara alami menuntut penggunaan akal ra’yu.
Dalam
catatan Fazlurrahman,[13]
seiring dengan perkembangan zaman dan situasi, instrumen yang dipergunakan oleh
generasi muslim di masa lampau, sehingga teladan Nabi dapat kian berkembang
menjadi sebuah peraturan yang tegas dan khusus terhadap tingkah laku manusia,
adalah aktivitas pemikiran bebas secara pribadi dan bertanggung jawab.
Pemikiran rasional yang disebut ra’yu, ini banyak sekali menghasilkan ide-ide
di bidang hukum, relegius dan moral kira-kira pada abad pertama dan penggal
pertama abad kedua hijriyah. Tetapi disamping kelimpahan ide-ide tersebut,
produk aktivitas ini menjadi kacau, yaitu sunnah di daerah-daerah yang berbeda:
Hijaz, Irak, Mesir dan sebagainya menjadi berbeda hampir dalam semua
detail-detailnya.
Karena
menhadapi konflik pemikiran yang bebas yang tak berkesudahan ini, Ibn
al-Muqaffa (140 H) mendeklarasikan bahwa Sunnah Nabi yang disepakati
secara bersama tidak ada dan menyarankan agar khalifah harus melaksanakan
ijtihadnya sendiri. Tetapi tokoh-tokoh intelektual dan agama di antara umat
muslimin memiliki pendapat yang berbeda. Pemikiran bebas secara individual
(ra’yu) telah memungkinkan pemikiran yang lebih sistematis terhadap
al-Quran dan terhadap Sunnah yang sudah
ada. Pemikiran sistematis ini disebut qiyas.
Oleh
karena itu, diantara al-Qur’an dan “Sunnah Ideal” di satu pihak dengan “Ijma’
atau Sunnah” dalam pengertian sebagai praktek yang disepakati bersama. Di
pihak lain, tidak terdapat aktivitas qiyas atau ijtihad. Imam Malik dalam
karyanya “Muwattha’” memenuhi paragraph-paragraph kitabnya dengan
ijtihadnya sendiri. Walaupun ia tak henti-hentinya menyerukan “praktek yang
dilakukan kaum muslimin di Madinah”. Ahmad Hasan menambahkan, nampaknya ra’yu
merupakan istilah umum (generic) yang menggambarkan penalaran-penalaran
yang sering digunakan oleh mazha-mazhab hukum awal sebelum as-Syafi’i (w.240
H). Selama fase-fase perkembangannya. Ra’yu berkembang menjadi beberapa nama,
yakni qiyas (analogi), istihsan, istislah (kepentingan umum) dan istishab
(mengambil keputusan berdasarkan kondisi yang menyertai). Dalam periode
belakangan, penekanan diberikan pada penalaran yang didasarkan pada teks
(nash). Gerakan ini meskipun muncul agak lebih awal, diluncurkan oleh Syafi’i,
yang berpuncak pada munculnya mazhab-mazhab literalis (zahiriyah) Dawud
dan Ibn Hazm. Ra’yu ditolak baik karena dikritik kaum tradisionalis (muhaddisin)
yang tajam, maupun karena penalaran steroetipe fuqaha klasik. Prinsip qiyas
pada akhirnya, menggantikan ra’yu dan menjadi diakui sebagai ijtihad.
G.
Relevansi Qiyas Dalam Perkembangan Hukum Kontemporer
Penggunaan
Qiyas dalam perkembangan hukum kontemporer sangatlah berperan penting. Seperti yang
dikutip penulis sebagai berikut:
“Sabda
Nabi SAW ketika beliau mengutus Mu’adz ra. ke Yaman, maka Nabi bertanya
kepadanya: ’’Dengan apa kamu menetapkan perkara yang datang kepadamu?‘’. Kata
Mu’adz: “Saya memberi keputusan dengan Kitab Allah”. Nabi bersabda: “Kalau kamu
tidak mendapat pada Kitab Allah”. Mu’adz menjawab: ’’Dengan Sunnah Rasul”. Nabi
bertanya lagi: ’’Kalau pada Kitab Allah dan Sunnah Rasul tidak kau dapati?”. Mu’adz
menjawab: “Saya berijtihad dengan pendapat saya dan saya tidak akan kembali”.
Kemudian
Rasulullah menepuk dadanya (bergirang hati) sambil bersabda: “Alhamdulillah
Allah telah memberi taufiq kepada pesuruh Rasulullah sesuai dengan keridhaan
Rasulullah”. (HR. Ahmad, Abu Daud, at-Tirmidzi yang mereka menyatakan, bahwa
qiyas itu masuk ijtihad ra’yu juga).
a.
Hukum
Narkotika dan Sejenisnya
Hukum
Narkotika tidak dibicarakan dalam al-Qur’an sebab Narkotika merupakan kasus
yang baru sehingga dalam menetapkan hukumnya Narkotika diqiyaskan kepada Khamar
yang hukumnya diharamkan dengan sebab dapat memabukkan, menghilangkan akal,
kecanduan, sehingga lebih banyak mudharat nya terhadap diri sendiri daripada
mafsadahnya.
QS.
Al-Baqarah: 219
يسئلونك عن الخمر والميسر قلى
قل فيهمآاثم كبير و منافع للناس واثمهمآ اكبر من نفعهما قلى
Mereka
bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah: pada keduanya itu
terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya
lebih besar dari manfaatnya.
QS.
Al-Maidah: 90
يأايها الذين امنوآ انما الخمر والميسر
والانصاب والازلام رجس من عمل الشيطن فاجتنبوه لعلكم تفلحون[14]
Wahai
orang-orang yang beriman. Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkorban
untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan
termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu
beruntung.
Riwayat
dari Ibnu ‘Umar secara Marfu’:
كل مسكر حرام, وكل حمر حرام.
“Semua
yang memabukkan adalah Haram, dan semua Khamar adalah Haram”. (HR. Muslim
III/1587 no.2003).
Diharamkannya
الخمر والميسر والانصاب والازلام dikarenakan menurut riwayat Ibnu Abbas ayat ini diturunkan
berkenaan dengan peristiwa yang menimpa dua suku (kabilah) kaum Anshar yang
hidup damai. Namun, jika mereka dalam keadaan mabuk karena minuman keras,
mereka saling mengganggu dan berkelahi. Perasaan inilah yang memunculkan dendam
kesumat mereka terhadap golongan lain. (HR. Nasai dan Baihaqi).
Begitu
pula Narkoba, bagi pengguna Narkoba yang sudah menjadi pecandu berat tidak
menutup kemungkinan kasus tindak pidana yang terjadi pada Negara kita dewasa
ini kebanyakan karena pengguna Narkoba. Bahaya yang dapat terjadi bagi pengguna
Narkoba merusak kesehatan dan bahaya yang paling kompleks sehingga mengganggu
keamanan lingkungan bahwa pengguna Narkoba dapat melakukan pembunuhan,
pemerkosaan dan tindak pidana lainnya sehingaa dalam hukum publik di Indonesia
yaitu UU No.22 tahun 1997 tentang Narkotika telah diatur secara signifikan
mengenai sanksi-sanksi para pengguna Narkotika. Oleh sebab itu Narkoba
diqiyaskan kepada Khamr yang hukum nya Haram dengan sebab-sebab memabukkan,
menjadikan kecanduan serta memiliki mudharat yang lebih besar.
Ashal
|
Far’u
|
Illat
|
Hukum
|
Khamar
|
Narkoba/
Narkotika
|
Memabukkan, Menghilangkan Akal serta lebih besar mudharatnya.
|
Haram
|
b.
Hukum
Berobat Dengan Arak
Sesuai dengan
sabda Rasulullah SAW:
إن
الله أنزل الداء والدواء وجعل لكم داء دواء فتدا وواولا تدا ووا بحرام.
Sesungguhnya
Allah telah menurunkan penyakit dan obat, dan menjadikan untuk kemu bahwa tiap
penyakit ada obatnya, oleh karena itu berobatlah, tetapi jangan berobat dengan
yang haram .(HR. Abu Daud)[15]
c.
Hukum
Merokok
Merokok
merupakan suatu yang menjadi kebiasaan bagi masyarakat Indonesia pada umumnya,
tanpa menyadari bahaya yang akan timbul dari rokok tersebut. Sebagian ulama
mengaharamkan, sebagian ulama membolehkan dan sebagian ulama membolehkan dengan
syarat. Ikhtilaf ulama tersebut terjadi dikarenakan hukum merokok tidak
terdapat dalam al-Qur’an.
Adapun
Ulama mengeluarkan pendapat bahwa merokok haram secara mutlak, karena rokok
diqiyaskan kepada sesuatu yang mubajir sebagaimana firman Allah SWT QS.
al-Isra’: 26-27 sebagai berikut:
وَءَاتِ ذَا ٱلۡقُرۡبَىٰ حَقَّهُۥ وَٱلۡمِسۡكِينَ
وَٱبۡنَ ٱلسَّبِيلِ وَلَا تُبَذِّرۡ تَبۡذِيرًا ٢٦ إِنَّ ٱلۡمُبَذِّرِينَ كَانُوٓاْ
إِخۡوَٰنَ ٱلشَّيَٰطِينِۖ وَكَانَ ٱلشَّيۡطَٰنُ لِرَبِّهِۦ كَفُورا ٢٧
“Dan
berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin
dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan
(hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah
saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya”.
Rokok
diqiyaskan dengan sesuatu yang khaba’is yang bermakna segala sesuatu yang
buruk. Sebagaimana firman Allah dalam QS. al-A’raf: 157 sebagai berikut:
ٱلَّذِينَ يَتَّبِعُونَ ٱلرَّسُولَ
ٱلنَّبِيَّ ٱلۡأُمِّيَّ ٱلَّذِي يَجِدُونَهُۥ مَكۡتُوبًا عِندَهُمۡ فِي
ٱلتَّوۡرَىٰةِ وَٱلۡإِنجِيلِ يَأۡمُرُهُم بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَيَنۡهَىٰهُمۡ عَنِ
ٱلۡمُنكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ ٱلطَّيِّبَٰتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيۡهِمُ ٱلۡخَبَٰٓئِثَ
وَيَضَعُ عَنۡهُمۡ إِصۡرَهُمۡ وَٱلۡأَغۡلَٰلَ ٱلَّتِي كَانَتۡ عَلَيۡهِمۡۚ
فَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ بِهِۦ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَٱتَّبَعُواْ ٱلنُّورَ
ٱلَّذِيٓ أُنزِلَ مَعَهُۥٓ أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ ١٥٧
“(Yaitu)
orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati
tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh
mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang
mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi
mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan
belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman
kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang
diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka itulah orang-orang yang beruntung”
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat disimpulkan
sebagai berikut:
Qiyas
merupakan perluasan nilai syari’ah yang terdapat dalam kasus asal, atau asl,
kepada kasus baru karena yang disebut mempunyai kausa (‘illat) yang sama
dengan disebut pertama. Kasus asal ditentukan oleh nas yang ada dan qiyas
berusaha memperluas ketentuan tekstual tersebut kepada kasus yang baru. Dengan
adanya kesaman kausa (‘illat) antara kasus asal dan kasus baru, maka
penerapan qiyas mendapat justifikasi. Diantara al-Qur’an dan “Sunnah Ideal”
di satu pihak dengan “Ijma’ atau Sunnah” dalam pengertian sebagai
praktek yang disepakati bersama. Di pihak lain, tidak terdapat aktivitas qiyas
atau ijtihad sifatnya dharurat, sehingga memerlukan syarat-syarat dan metode
untuk menyamakan dan menyerupakan hukum yang belum ada nashnya tersebut ke
dalam hukum yang telah ada nashnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Kamali, Muhammad Hasyim, Prinsip Dan Teori-Teori Hukum Islam
(Usul Al-Fiqh), terj. Noorhaidi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Hasan, Ahmad, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, terj. Agah
Garnadi, Bandung: Pustaka, 1984.
Yahya, Mukhtar dan Fathur Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum
Islami, Bandung: PT Al-Ma’arif, 1986, Cet.ke-1.
Zuhdi, Masjfuk,
Pengantar Hukum Syari’ah, Jakarta: Haji Masagung, 1990, Cet.ke-2.
Al-Mahalli, Imam Jalaluddin dan Imam Jalaluddi As-Suyuthi, Tafsir
Jalalain Berikut Asbaabun Nuzuul Ayat Surat Al-Faatihah s.d. Surat Al-An’am,
Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1996, Jilid 4.
Fazlurrahman, Membuka
Pintu Ijtihad, Bandung: PUSTAKA, 1984), Cet. Ke-2.
Agama RI, Departemen, Al-Hidayah
Al-Qur’an Tafsir Perkata Tajwid Kode Angka, Banten: PT Kalim, t.t.
Al-Ghazali, Imam, Benang Tipis Antara Halal dan Haram, Surabaya:
Putra Pelajar, 2002.
Rifa’I, Moh., Ilmu Fiqih Islam Lengkap, Semarang: PT Karya
Toha Putra, 1978.
[1]
Muhammad Hasyim
Kamali, Prinsip Dan Teori-Teori Hukum Islam (Usul Al-Fiqh), terj.
Noorhaidi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 255.
[2] Ahmad Hasan, Pintu
Ijtihad Sebelum Tertutup, terj. Agah Garnadi (Bandung: Pustaka, 1984), h.
125.
[3]
Muhammad Hasyim
Kamali, Prinsip Dan Teori-Teori Hukum Islam (Usul Al-Fiqh), terj.
Noorhaidi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 280-282.
[4]Mukhtar Yahya
dan Fathur Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Islami (Bandung: PT
Al-Ma’arif, 1986), Cet.ke-1, h. 78-79.
[5] Masjfuk Zuhdi,
Pengantar Hukum Syari’ah (Jakarta: Haji Masagung, 1990), Cet.ke-2, h.
77-79.
[6]
Imam Jalaluddin
Al-Mahalli dan Imam Jalaluddi As-Suyuthi, Tafsir Jalalain Berikut Asbaabun
Nuzuul Ayat Surat Al-Faatihah s.d. Surat Al-An’am (Bandung: Sinar Baru
Algensindo, 1996), Jilid 4, h. 323.
[7]
Muhammad Hasyim
Kamali, Prinsip Dan Teori-Teori Hukum Islam (Usul Al-Fiqh), h. 277-279.
[8] Muhammad
Hasyim Kamali, Prinsip Dan Teori-Teori Hukum Islam (Usul Al-Fiqh), h.
279-280.
[9]
Masjfuk Zuhdi, Pengantar
Hukum Syari’ah, h. 79.
[10] Moh. Rifa’I, Ilmu
Fiqih Islam Lengkap (Semarang: PT Karya Toha Putra, 1978), h.44.
[11] Moh. Rifa’I, Ilmu
Fiqih Islam Lengkap, h. 44.
[12]
Ahmad Hasan, Pintu
Ijtihad Sebelum Tertutup, terj. Agah Garnadi, h. 126.
[13] Fazlurrahman, Membuka
Pintu Ijtihad (Bandung: PUSTAKA, 1984), Cet. Ke-2, h. 20-21.
[14] Departemen
Agama RI, Al-Hidayah Al-Qur’an Tafsir Perkata Tajwid Kode Angka (Banten:
PT Kalim, t.t.), h. 124.
[15] Imam
Al-Ghazali, Benang Tipis Antara Halal dan Haram ( Surabaya: Putra
Pelajar, 2002), h. 127.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar