Pengadilan Agama merupakan pengadilan
tingkat pertama yang melaksanakan kekuasaan kehakiman. Pengadilan Agama di
bentuk dengan Keputusan Presiden. Namun seiring berjalannya waktu dan
perkembangan yang terjadi di era globalisasi ini menyebabkan banyak pemikiran-pemikiran
yang berkembang serta mengkonstruksi setiap perubahan sosial yang terjadi dalam
masyarakat. Mari kita simak perubahan yang terjadi dengan Peradilan Agama Menurut
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang
Peradilan Agama sebagai berikut:
UU Nomor 7
Tahun 1989
|
UU Nomor 3
Tahun 2006
|
UU Nomor
50 Tahun 2009
|
Pasal 2:
Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman
bagi
rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara
perdata tertentu yang
diatur dalam Undang-undang ini.
|
Pasal 2:
Peradilan Agama adalah salah satu
pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai
perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.
|
Tidak Ada Perubahan
|
Pasal 49 ayat 1:
Pengadilan Agama bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat
pertama antara orang-orang Islam di bidang:
a. Perkawinan
b. Kewarisan, wasiat, dan hibah yang
dilakukan berdasarkan hukum Islam
c. Wakaf dan shadaqah
|
Pasal 49:
Pengadilan Agama bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat
pertama antara orang-orang Islam di bidang:
a. Perkawinan;
b. Waris;
c. Wasiat;
d. Hibah;
e. Wakaf;
f.
Zakat;
g. Infaq;
h. Shadaqah, dan
i. Ekonomi
syari’ah.
|
Tidak Ada Perubahan
|
Dapat
disimpulkan bahwa dari kedua pasal yang berubah dan sangat menjadi perhatian
bahwa kekhususan Peradilan Agama yang diperuntukkan secara spesial bagi
orang-orang yang beragama Islam, menjadi bersifat universal dan dapat digaris
bawahi bahwa perubahan tersebut tidak menutup kemungkinan bagi orang yang bukan
beragama Islam dapat beracara di Pengadilan Agama, hal tersebut ditandai dengan
adanya penambahan perkara Ekonomi Syari’ah yang menjadi wewenang Pengadilan
Agama.
Adapun
kewenangan mengadili dalam Pengadilan Agama yaitu:
Wewenang
Mutlak (Kompetensi Absolute) dimana Kompetensi Absolute adalah tugas pokok dari
pengadilan, untuk menyelenggarakan kekuasaan kehakiman yaitu menerima,
memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan
kepadanya. Dapat dikatakan bahwa kompetensi absolute merupakan wewenang
pengadilan untuk mengadili jenis perkara, ada pun jenis perkara yang menjadi
wewenang Pengadilan Agama tercantum dalam pasal 49 UU Nomor 7 Tahun 1989 yang
kemudian di revisi menjadi UU Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama.
Misalnya: Perkara perceraian bagi orang-orang yang beragama Islam, maka yang
menjadi wewenang untuk mengadili, memeriksa serta memutus perkara tersebut
adalah Pengadilan Agama.
Wewenang
Nisbi (Kompetensi Relatif) dimana Kompetensi Relatif adalah wilayah hukum
pengadilan yang bergantung letak objek perkaranya atau tempat Tergugat tinggal
atau domisili yang berwenang memeriksa gugatan pihak yang berperkara. Misalnya:
Penggugat/ Termohon berdomisili di Kota Binjai, maka harus mengajukan perkara
di Pengadilan Agama Binjai atau Penggugat bertempat tinggal di Kota Binjai
namun Tergugat berdomisili di Kota Pematangsiantar maka Penggugat dapat
mengajukan perkara di Pengadilan Agama Binjai mohon bantuan panggilan Tergugat
kepada Pengadilan Agama Pematangsiantar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar